20. Pengakuan Ashraff
MENGHADAP kepada Pak Azizul untuk memenuhi undangan laki-laki berusia 54 tahun tersebut, Ashraff langsung disuguhi dengan basa-basi ringan berbau kepedulian. Di dalam ruangan Pak Azizul, suasana akrab antara mereka sampai membuat mereka bagaikan bapak dan anak. "Alhamdulillah, Pak. Ibu saya udah membaik dan sekarang udah bisa beraktivitas normal seperti semula," kata Ashraff dengan bibir dilengkungkan tipis serta ditemani hati menghangat karena merasa terenyuh.
"Alhamdulillah, kalau begitu, Nak."
Pak Azizul menanggapi Ashraff dengan mimik muka ikutan menggambarkan kesukacitaan. Agar waktu mereka tidak terbuang dengan mubazir, Pak Azizul memutuskan untuk memulai obrolan. "Nak Ashraff, saya memanggil kamu ke sini untuk nyampein sesuatu mengenai anak saya."
Alis Ashraff berkerut untuk isyarat bingung. Yah, bagaimana tidak? Ashraff tidak mengenal anak dari Pak Azizul. Jadi, bukankah logis sekali apabila Ashraff bisa langsung memamerkan tampang bertanya-tanya?
"Anak Pak Azizul?"
Menyikapi reaksi Ashraff, kedua sudut bibir Pak Azizul ditarik tipis. Masih meluncurkan tatapan ramah, laki-laki berbusana senada dengan Ashraff tersebut lantas membenarkan dengan berseru, "Iya. Auliah."
Di atas meja, Pak Azizul habis menaruh kedua lengan dengan kedua tangan sudah sekaligus dilekatkan. Melihat Ashraff memerlukan keterangan tambahan, Pak Azizul memilih untuk tidak berdiam lama-lama. "Begini, Nak Ashraff. Mulai bulan depan, anak saya akan praktik mengajar di sini. Jadi, saya mau meminta bantuan kepada Nak Ashraff untuk mendampingi dan membimbing anak saya karena kebetulan bidang kuliah dari anak saya sesuai dengan bidang mengajar dari Nak Ashraff," ungkap Pak Azizul dengan serinci mungkin.
Perkataan Pak Azizul membuat Ashraff terperangah. Mungkinkah Pak Azizul sudah salah bicara? Masa Ashraff? Yang lebih senior dari Ashraff, bukankah banyak?
"Maaf, Pak, bukan maksud saya untuk menolak. Tapi, apakah Pak Azizul yakin? Yah ... Pak Azizul tahu sendiri, dalam urusan mengajar ... bisa dikatakan saya masih belum terlalu berpengalaman," ucap Ashraff terdengar logis. Di SMP Islam Al-Mustaqim, Ashraff baru mengajar selama 2 tahunan. Karena Ashraff memikirkan anak dari Pak Azizul, Ashraff sampai tergugah untuk menyarankan, "Apakah ngga lebih baik kalau Auliah diserahkan kepada Pak Prada dan Bu Atikoh mengingat mereka 'kan sama-sama lebih senior daripada saya?"
Pak Azizul manggut-manggut dengan kedua sudut bibir ditarik untuk tersenyum lebar. Menatap Ashraff, latar belakang sehingga Pak Azizul bisa memutuskan untuk memilih Ashraff daripada Pak Prada dan Bu Atikoh segera dibeberkan. "Pikiran Nak Ashraff masih fresh karena Nak Ashraff baru lulus kuliah sekitar tiga tahun lalu. Jadi, saya ngga salah memilih karena terus terang saya berniat untuk merepotkan Nak Ashraff. Di sini, saya mengharapkan Nak Ashraff untuk bisa sekalian membantu anak saya dalam menyusun tugas akhir. Maaf, Nak Ashraff, kalau saya terkesan memaksa. Tapi, saya khawatir sekali apabila anak saya sampai stres dan depresi gara-gara dipusingkan dengan masalah skripsi doang."
Melihat cinta tulus dari sosok ayah kepada anak tersayang, Ashraff tahu-tahu sudah berkaca ke masa-masa dimana Ashraff sedang mengerjakan tugas akhir. Dulu, Ashraff tidak sempat membanggakan ayahnya karena ayahnya sudah keburu meninggal dunia. Agar anak dari Pak Azizul tidak bernasib naas seperti Ashraff, keputusan Ashraff sungguh-sungguh menggembirakan untuk orang nomor satu di SMP Islam Al-Mustaqim tersebut.
"Baiklah, Pak, kalau begitu, saya bersedia," kata Ashraff, "dan insyaAllah, saya akan berusaha untuk membantu Auliah dengan semaksimal mungkin."
Agak mencondongkan tubuh ke depan, Pak Azizul menepuk salah satu sudut bahu Ashraff dengan akrab seakan-akan hubungan antara mereka berdua memang bukan sebatas rekan kerja, tetapi benar-benar mirip seperti ayah dan anak. "Nak Ashraff, terima kasih banyak, loh," ucap Pak Azizul, "setelah saya mendapatkan kepastian dari Nak Ashraff, sekarang saya bisa bernapas dengan tenang."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus Dikembalikan
Romance"Yang membuatku menjadi murahan begini, bukankah kamu?" (AMEENA) "Maafin aku, Am. Aku bener-bener nyesel." (ASHRAFF) *** Ketika SMA, Ashraff dan Ameena saling bersaing untuk meraih rangking satu. Di belakang Ameena, Ashraff menyuruh sosok ratu sekol...