22. Kepanikan Ameena

61 3 0
                                    

22. Kepanikan Ameena

TIDUR NYENYAK Ameena sungguh-sungguh terganggu. Masih dengan ditemani cahaya temaram, tiba-tiba Ameena sudah didekap Ashraff dari belakang. Tadi, sebelum terlelap, Ameena berusaha untuk meminimalisir kontak fisik antara mereka berdua. Tapi, kenapa Ashraff malah dekat-dekat?

"Maafin aku, Am. Aku bener-bener nyesel."

Meski kedua mata Ashraff masih terkatup, entah mengapa bibir Ashraff bisa tergerak untuk meracau. Mata Ameena sudah terbuka secara menyeluruh selama sedang mengupayakan untuk dapat lolos dari kepungan salah satu lengan Ashraff.

"Iiih, Ashraff!"

"Lepasin aku."

"Aku ngga bisa napas."

Di depan dada, keberadaan salah satu lengan sungguh membuat Ameena merasa tidak nyaman hingga mengakibatkan Ameena bisa tergugah untuk meronta-ronta. Yang menjadi masalah, usaha Ameena ternyata tidak membuahkan hasil berarti. 

Muka Ameena terus ditekuk. Di dalam batin, Ameena sampai menggerutu dengan dibaluri kekesalan. "Jika terus begini, lama-lama badanku bisa kebas. Mana dekapan Ashraff malah bikin aku gerah banget."

Memegang lengan Ashraff dengan menggunakan satu tangan, Ameena bisa merasakan hawa hangat. Lalu, tidak sampai berselang lama, Ameena sudah sekalian menyadari bahwa tubuh Ashraff sedang bergetar seperti orang meriang. Pada saat sekarang, kondisi Ashraff sungguh-sungguh mendatangkan kepanikan untuk Ameena. Malah, Ameena sampai tidak tahan untuk bertanya-tanya, "Astaga. Apakah Ashraff demam?"

Memutar badan ke arah Ashraff, telapak tangan Ameena terulur sebelah untuk memeriksa suhu dari kening Ashraff. Mengetahui Ashraff benar-benar demam, kedua mata Ameena langsung terbelalak. Lalu, secara refleks, Ameena tahu-tahu sudah mendesah dengan resah, "Ya, Tuhan."

Di dalam hati, Ameena sampai tidak sabar untuk melanjutkan dengan dibersamai dada berdendang, "Aduh, ngga bisa dibiarin, nih. Ashraff belum boleh mati. Aku 'kan belum selesai bales dendam."

Maksud Ameena adalah menempuh langkah terbaik, Ameena memutuskan untuk bangkit dari situasi tiduran. Pipi Ashraff ditepuk-tepuk kemudian. "Shraff, bangunlah sekarang. Aku belum ngizinin kamu untuk bertemu dengan Malaikat Izrail," ucap Ameena dengan suara mantap karena sudah tidak memiliki kantuk akibat terlalu mencemaskan Ashraff.

"Ayo, kuantar kamu ke rumah sakit. Jika demammu ngga segera ditangani, bisa-bisa keadaanmu malah semakin memburuk."

Membuka mata singkat untuk menatap Ameena, merespons sebentar sudah dipilih Ashraff. "Aku ngga akan ke rumah sakit, Am," kata Ashraff dengan karakter suara cenderung sumbang dan lemas.

Mata dipejamkan ulang, sisa tenaga Ashraff malah digunakan Ashraff untuk mengucurkan keterangan berkenaan dengan mengapa laki-laki tersebut bisa menolak untuk dibawa ke rumah sakit. "Aku udah pernah bikin kamu menderita. Agar kita impas, biarin aku untuk nikmatin demamku."

Apakah Ashraff sudah menggila?

Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kesehatan Ashraff bisa dipastikan terus menurun, alangkah rasional apabila Ameena bisa sampai kelimpungan. "Tapi, kalau kamu malah sampai meregang nyawa, gimana? Mending kamu berhenti untuk bersikap sok-sokan karena kamu belum tentu bisa setangguh aku."

"Shraff."

Meski tubuh Ashraff sudah digoyang-goyangkan Ameena, Ashraff tetap tidak goyah. Masih tidak bergerak secara signifikan. Atas dasar kekesalan, Ameena sampai memukul salah satu lengan Ashraff dengan menggunakan telapak tangan terbuka.

"Iiih, Ashraff!"

Ashraff masih enggan untuk mendengarkan omongan Ameena. Malah merapatkan selimut dengan kedua manik mata masih dibiarkan tertutup, tetapi Ashraff sempat berseru dengan nada lemah, "Aku ngga akan kenapa-napa. Jadi, tidurlah lagi, Am."

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang