6. Keputusan Ameena

78 1 0
                                    

6. Keputusan Ameena

MASIH menduduki sofa bercorak hijau army dengan badan belakang ditempelkan ke bagian sandaran dan sebelah tangan ditekuk untuk menyangga salah satu sudut kepala, Ameena harus menghadapi seruan bernada persuasif dari Bu Layla. "Ibu ngga bermaksud untuk memaksamu, Am. Tapi, setelah dipikir-pikir, mungkin ... menikah dengan Ashraff emang merupakan solusi terbaik untuk kamu."

Perkataan Bu Layla sungguh membuat kepala Ameena berputar-putar. Menjadikan wanita berkaus ungu dan celana warna tulang sebatas lutut tersebut merasa dianaktirikan. Mendapati Bu Layla terus mempromosikan Ashraff, bagaimana Ameena bisa tidak cemburu? Yang merupakan anak kandung dari Bu Layla siapa, sih? Ameena atau Ashraff?

"Aku ngga cinta sama Ashraff, Bu," ucap Ameena dengan suara mantap. Malah, ketegasan Ameena seakan-akan mampu menyebabkan segala makhluk di ruang tamu untuk berakhir membeku.

Di samping Ameena, Bu Layla meraih bahu kanan Ameena dengan memanfaatkan salah satu telapak tangan seraya berkata dengan menggunakan irama memaklumi, "Iya, Am. Ibu bisa ngerti."

Apakah sudah cukup selesai di situ? Tidak.

Bu Layla tahu-tahu meluruskan kepala dengan tangan sekalian ditarik. "Tapi, kalau kamu menikah sama Ashraff, minimal kamu ngga akan tersandung banyak masalah. Di sisi lain, setiap kamu butuh uang, kamu ngga harus morotin laki-laki beristri karena kamu tinggal morotin suamimu," ucap Bu Layla dengan susunan kalimat entah mengapa bisa mulus sekali.

Pemikiran Bu Layla merupakan alasan terampuh Ameena untuk meremehkan Ashraff. Akar dari suara dengusan dan cibiran berikutnya. "Alah, Bu. Ashraff mana bisa diporotin. Dia ngga cukup berduit."

Menoleh dan memancarkan tatapan heran kepada Ameena sedang direalisasikan Bu Layla dengan tanpa mengenal istilah pamrih. "Kata siapa?"

Ameena tidak menyahut, tetapi sebatas melirik ke arah Bu Layla. Memang sudah menjadi risiko Ameena karena berbicara secara ngasal hingga bisa mengantarkan Bu Layla untuk mendominasi. "Asal kamu tahu, Am. Ashraff ngga cuma dapet duit dari ngajar doang, loh. Dia masih memiliki usaha minimarket. Meski cuma satu, denger-denger cukup besar dan menjanjikan, kok," kata Bu Layla dengan kukuh karena memiliki dasar.

"Aduh, Bu. Aku emang matre. Tapi, aku tetep harus pilih-pilihlah. Masa aku malah menikah sama tukang fitnah, sih? Mau ditaruh di mana harkatku, Bu?"

"Maksud Ashraff 'kan semata-mata untuk kebaikanmu, Am."

Menurut Ameena, Bu Layla terlalu sembrono. Masa Bu Layla bisa mudah sekali berkata begitu? Apakah karena disogok Ashraff dengan sesuatu bernilai mahal?

"Ayolah, Bu, di mana-mana, korban dan tersangka dari suatu kasus kriminalitas ngga untuk disatuin. Menyuruh korban untuk hidup bersama tersangka sama artinya dengan menendang korban ke neraka," ucap Ameena enggan selaras dengan Bu Layla.

Bu Layla tidak banyak berkilah atas kalimat hiperbolis Ameena. Memilih untuk membebaskan Ameena dalam menentukan masa depan. Mirip seperti tengah mengikuti arus, bibir Bu Layla tergerak untuk melantunkan, "Iya, deh. Iya."

Apakah sekarang Ameena sudah mengunduh kelegaan? Masih belum. Dia sedang termenung. Menikah dengan Ashraff? Apakah bermanfaat untuk Ameena?

Ketika Bu Layla sudah akan berlalu ke kamar karena masih memiliki urusan lain, Ameena berusaha untuk menahan wanita tersebut dengan menyertakan gerakan tangan. Alhasil, bokong Bu Layla refleks diturunkan lagi. 

Perlahan, Bu Layla mengembuskan napas sebentar. Lalu, tidak sampai berselisih lama, sebaris pertanyaan bertajuk heran diuraikan kemudian. "Kenapa, Am? Mau berubah pikiran?"

"Iya, Bu. Yang Ibu katakan tepat sekali," balas Ameena dengan dilengkapi senyuman ambigu karena diam-diam sudah memiliki rencana tertentu. Maksud terselubung Ameena adalah menggunakan ikatan perkawinan untuk membalas dendam kepada Ashraff. Kenapa Ameena bisa licik sekali? Karena Ameena belum bisa memaafkan Ashraff. Masih teramat meradang.

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang