24. Antara Ashraff dan Mirza

63 3 0
                                    

24. Antara Ashraff dan Mirza

"Am."

"Shraff."

Meski sudah masuk kamar dengan nyaris secara bebarengan, Ameena dan Ashraff masih ditakdirkan untuk berucap bebarengan. Aneh memang, entah mengapa kebetulan antara mereka berdua bisa sangat unik dan tidak tertebak. 

"Baiklah," ucap Ashraff berusaha untuk bersikap dewasa, "kamu duluan, Am."

Menghela napas, keputusan Ashraff adalah mempersilakan Ameena untuk bicara duluan. Ketika Ashraff menduduki sofa, Ameena memilih untuk menempati ujung ranjang. Di atas kasur, Ameena duduk dengan kedua kaki disilangkan dan kedua tangan dilipat, menghadap ke arah Ashraff.

"Aku kepengen minta sama kamu untuk naikin uang bulananku," ucap Ameena tanpa harus merasa takut maupun malu.

Perkataan Ameena membuat Ashraff terdiam. Yah, bagaimana tidak? Pada awal tahun, Ashraff masih memiliki tabungan bernilai besar dan akan digunakan untuk berangkat ke tanah suci, tetapi malah harus dialihkan terlebih dahulu untuk biaya nikah Ashraff dan Ameena. 

Meski masih ragu-ragu apakah Ashraff bisa merealisasikan keinginan Ameena barusan atau tidak, kedua kornea mata Ashraff tetap difungsikan untuk menargetkan sepasang netra beriris cokelat milik Ameena selama sedang berpikir singkat. Mungkin, Ashraff bisa meladeni kehendak Ameena, tetapi Ashraff akan mensyaratkan sesuatu. Yang terbaik untuk Ameena sedang diharapkan Ashraff.

"Aku akan ngusahain, Am. Asalkan kamu bersedia mendaftar ujian keseteraan untuk tahun depan," ucap Ashraff dengan sedikit dibumbui senyuman tipis-tipis.

Ameena menyipitkan mata. Andai Ashraff tidak memasang mimik muka tidak berdosa. Pasti Ameena tidak akan dirundung kekesalan seperti sekarang. "Aduh, Shraff. Aku udah bilang berapa kali, sih? Aku tuh udah ngga tertarik untuk ngelanjutin sekolahku," ucap Ameena dengan tulang hidung berubah menegas dan seolah-olah memang bukan tersusun dari tulang lunak.

Menghadapi Ameena sedang komplain, Ashraff masih bisa mempertahankan kekaleman. Dia tidak akan terpengaruh dengan emosi Ameena. Yang dilakukan laki-laki berkaus krem tersebut adalah memastikan kebulatan dari keputusan Ameena untuk tidak meneruskan sekolah.

"Yakin ngga mau, Am?"

"Mn."

Ameena menggangguk dengan diselingi gumaman bernada tidak ramah, tetapi Ashraff menolak untuk mengalah. Malah langsung melantunkan kalimat tambahan dengan irama santai. "Ya, udah, kalau begitu, aku ngga bisa menjamin untuk nambahin uang bulananmu."

Pikiran Ameena sudah berkelana kepada April. Dia sedang merasa bimbang. Apakah Ameena sungguh-sungguh harus memenuhi syarat dari Ashraff? Yah. Agar dapat mengamankan nyawa April, mau tidak mau, sesekali Ameena memang harus takluk kepada Ashraff.

"Iya, deh. Iya," kata Ameena dengan nada tidak terdapat unsur keikhlasan dan kedua lengan sekalian diluruskan.

Muka Ashraff langsung bersinar hingga bagaikan sedang memantulkan cahaya dari lentera malam. "Nah, kalau begini 'kan kita sama-sama enak."

"Iiiish."

Ameena mendesis dengan bibir atas sebelah kanan diangkat sekilas. Karena Ameena sudah tidak memiliki urusan individual dengan Ashraff, Ameena langsung menagih Ashraff untuk berganti bicara. "Tadi, kamu mau ngomong apa?" tanya Ameena dengan masih tidak tahu untuk bersikap ramah.

Bibir Ashraff melengkung dengan indah. "Udah, kok, barusan."

"Astaga, aku kira apaan," ucap Ameena dengan rahang berakhir digertakkan. Kenapa? Karena Ashraff sampai kelihatan serius sekali hingga mampu membawa otak Ameena untuk terbang ke mana-mana. Membuat Ameena sempat overthinking.

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang