17. Yang Terlarang untuk Ashraff

53 0 0
                                    

17. Yang Terlarang untuk Ashraff

DI MEJA MAKAN, Bu Tsania sedang mengeluhkan kelakuan Ameena. Pada hari kesatu Ameena tinggal bersama Bu Tsania dan Ashraff, Ameena tidak memperlihatkan sifat bagus apa pun. Di mata Bu Tsania, manusia berkulit kuning langsat alami tersebut benar-benar bukanlah sosok menantu idaman. "Aduh, Am, Am, sebagai wanita, kamu tuh harus ngerti kerjaan rumah, bukan cuma ngerti main handphone sama joget-joget ngga jelas."

Atas sindiran terang-terangan dari Tsania, Ameena tidak langsung menanggapi. Lalu, dengan memanfaatkan sebelah tangan, sebuah benda berbentuk silinder dengan bagian atas terbuka habis diraih Ameena. Ketika minuman berwarna bening sudah dipastikan terteguk sampai tandas, sekarang tenggorokan Ameena bisa memetik kelegaan.

Muka Ameena beralih diangkat untuk menatap ke arah Bu Tsania dengan sinar mata berkilat tajam. "Ibu mah ngga ngikutin perkembangan zaman. Alias kudet. Jadi, Ibu ngga bakalan ngerti," ucap Ameena tanpa harus merasa ngeri apabila sampai melukai sanubari dari Bu Tsania.

"Ya, Allah. Ya, Rabb."

Mata Bu Tsania menghangat seketika. Pun dengan dadanya. Di sini, Bu Tsania sungguh tidak mengerti mengapa Bu Tsania bisa ditakdirkan untuk memiliki menantu berkarakter langka seperti Ameena. "Ibu ngasih tahu kamu dengan halus, loh, Am. Tapi, kok kamu malah langsung ngata-ngatain," kata Bu Tsania dengan nada tidak terima.

Mendapati Bu Tsania bisa tersinggung untuk sesuatu bernilai sepele, daripada mengampuni, Ameena malah semakin tidak terkendali. Memilih untuk bertambah mencemooh Bu Tsania. "Iiih. Yang ngatain siapa, sih? Aku 'kan cuma ngomongin fakta. Ibu ngga usah lebay, deh," kata Ameena dengan irama sewot.

"Astaghfirullahaladzim."

Bu Tsania langsung beristighfar. Perkataan Ameena sungguh menyayat. Membuat Bu Tsania sampai harus mengelus dada untuk memupuk kesabaran. Lalu, tidak lama kemudian, kedatangan Ashraff lantas membelah suasana disharmonis antara mereka berdua. Melihat Bu Tsania dan Ameena seperti habis berperang mengingat tatapan antara mereka masih menggambarkan keributan, mulut Ashraff benar-benar tidak mampu untuk menganggur semata. 

"Ibu dan Ameena kenapa diem-dieman?" 

Mengamati Bu Tsania dan Ameena secara bergantian, Ashraff beralih menarik sebuah kursi untuk diduduki. Di arah sudut kanan dan sudut kiri, hawa semrawut masih beterbangan. Melirik Ameena dengan ogah-ogahan, mengadu kepada Ashraff lantas dipilih Bu Tsania. "Ibu habis nasehatin Ameena, Shraff. Tapi, Ameena ngga mau dengerin." 

Mana bersedia Ameena mengalah. Malah, Ameena sudah menantang Bu Tsania dengan melirik sinis ke arah wanita berbadan sedikit gemuk tersebut dan berucap, "Aku dan Ibu ngga sefrekuensi, Shraff."

Alasan Ameena tidak bisa mengindahkan omongan Bu Tsania tidak akan disimpan doang. Jadi, Ameena memutar kepala dan memandang ke arah Ashraff dengan bibir dibuka untuk melontarkan kata-kata angkuh, "Yah .... kamu tahu sendiri 'kan, zaman aku sama zaman Ibu tuh udah beda banget dan aku akan ngejalanin hidupku sesuai dengan zamanku."

Menghadapi kesombongan Ameena, Bu Tsania menarik napas dalam-dalam untuk diembuskan melalui satu dorongan. Masih harus melapangkan dada dengan tetap berpetuah. Agar Ameena tidak semakin besar kepala. "Mengurus rumah adalah salah satu bentuk bakti istri kepada suami dan bakti tersebut ngga akan pernah lekang sama zaman, Ameena. Jika kamu ngerjain segala amalan tersebut dengan hati ikhlas, insyaAllah akan berbuah pahala untukmu."

"Iiishh!"

Ameena mendesis sebal. Lalu, singkat cerita, tahu-tahu muka dari wanita bermata sipit tersebut sudah berubah masam. "Aku udah lapar, Bu. Mending ceramah Ibu disimpan untuk besok-besok saja," ucap Ameena dengan ketus selepas memutuskan untuk mengambil nasi duluan sehingga Ameena bisa segera makan malam.

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang