14. Mirza Lagi?

35 0 0
                                    

14. Mirza Lagi?

DI DALAM sebuah ruangan berdinding cerah, Ashraff dan Ameena sedang menunggui Bu Tsania. Jika tidak salah hitung, Bu Tsania sudah siuman selama lima sampai delapan menitan. Meski kesadaran dari Bu Tsania sudah terpulihkan, ibunda dari Ashraff tersebut masih merasa lemas sehingga harus terus berbaring, entah suka atau tidak suka.

Menatap Ameena, Ashraf malah bergeming. Apakah Ashraff benar-benar sudah menikahi Ameena? Masih tidak mengirakah Ashraff? Pastilah. Meski sudah berusia matang dan mapan, Ashraff terus terang belum kepikiran untuk menikah. Jika bukan untuk menyelamatkan Ameena, kemungkinan masa single Ashraff beluma akan diakhiri.

"Aku mau ngurus administrasi dulu, Am. Aku titip Ibu sebentar, ya?" ucap Ashraff dengan kedua kornea mata semakin mantap selama dikerahkan untuk menatap Ameena. Di samping brankar, Ameena masih menduduki sebuah kursi bercorak hitam dengan kedua tangan memegang handphone untuk asyik dimainkan.

"Mm."

Meski cukup ragu-ragu dengan balasan dari bibir Ameena karena diucapkan secara tidak serius, Ashraff tidak memiliki solusi mutakhir selain memupuk kenekatan. Mulai bangkit dari tepian brankar, berarti keputusan Ashraff adalah meninggalkan Bu Tsania bersama Ameena.

Ketika Ashraff sudah keluar dari ruangan, entah mengapa menit seperti berlalu dengan cepat. Di tengah kecuekan Ameena, kondisi tenggorokan Bu Tsania malah mengering. Membuat Bu Tsania merasa membutuhkan Ameena. Jadi, Bu Tsania berusaha untuk mengemis empati Ameena dengan berseru, "Ibu haus, Am, apakah kamu bisa ambilkan minuman untuk Ibu?"

"Males, ah, Bu. Aku belum selesai selfie," kata Ameena dengan acuh tidak acuh. Masih sibuk bermain telepon cerdas. Lalu, tidak sampai lama berselang, Ameena malah sudah berpose cantik secara bertubi-tubi untuk memotret wajah sendiri dengan menggunakan kamera depan. 

"Tapi, Am."

Meski Bu Tsania sudah bertutur kata dengan lembut, Ameena masih memelihara keegoisan. Mungkinkah nurani Ameena memang sudah lama mati? Yah. Jika tidak, kedua lensa mata Ameena tidak akan mengeluarkan sorot menusuk untuk diarahkan ke kedua netra Bu Tsania. "Ibu masih bisa minum nanti, 'kan?" ucap Ameena dengan ketus.

Ameena benar-benar seperti sedang mengintimidasi Bu Tsania. Membuat Bu Tsania semakin lemas hingga berakhir bungkam. "Paling ngga, Ibu harus bisa bersabar sampai Ashraff balik ke sini lagi."

Mata Bu Tsania berubah setengah menyipit selama berusaha berpaling untuk memutus tatapan dengan Ameena. Tapi, kenapa Ameena malah belum berhenti menyerang mental Bu Tsania?

"Asal Ibu tahu. Aku ngga suka diperlakukan seperti babu," ucap Ameena dengan intonasi semakin bertambah nyelekit.

Andai tubuh Bu Tsania sedang bugar. Pasti Bu Tsania tidak akan sampai dipecundangi Ameena. Tapi, nyatanya? Bu Tsania masih merasa tidak berdaya. Jadi, Bu Tsania tidak bisa berperang secara verbal dengan Ameena. "Ibu ngga berniat begitu, Am. Ibu 'kan cuma minta tolong," kata Bu Tsania dengan volume suara rendah.

"Alah! Alasan."

Membalas Bu Tsania dengan teknik menghakimi, Ameena benar-benar layak untuk menyandang sebutan manusia tidak beradab karena sudah menuding Bu Tsania dengan ngawur. "Maksud Ibu tuh udah ketebak banget. Mau ngejadiin aku babu dengan berkedok minta tolong, 'kan?"

"Astaghfirullah, Am, kamu tuh apa-apaan, sih."

Perkataan dengan irama tersentak barusan bukan terucap dari bibir Bu Tsania. Menoleh untuk menatap ke sumber suara, Ameena mendapati Ashraff sudah bertolak ke ruangan Bu Tsania. Lalu, secara mendadak, Ameena malah terhasut untuk mendengus. "Yang apa-apaan tuh ibumu. Masa belum sehari aku menikah denganmu, aku malah udah disuruh-suruh sama ibumu?"

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang