Matahari bersinar sangat terik di langit tanpa awan, udaranya begitu lembap dan panas di tengah-tengah lautan. Sejauh mata memandang, hanya ada air yang menyilaukan dengan pantulan cahaya matahari. Pemandangan itu sudah biasa dilihat olehnya. Aroma lautan yang asin dan amis menguar di udara, terasa menyegarkan sekaligus memuakkan.
Meskipun udaranya sangat panas, Vera tetap tidak melepas riasan wajahnya.
Sebuah kompas perunggu di tangan Vera menjadi pemandu bagi gadis itu. Vera mendayung dengan mata yang tidak pernah lepas dari kompasnya. Kompas itu memiliki banyak codet pada sisi-sisinya. Entah berapa usia kompas perunggu itu, karena sejatinya kompas itu bukanlah milik Vera.
Kompas itu tidak memiliki arah mata angin, hanya memiliki sebuah jarum dua arah dengan salah satu arahnya dicat merah. Jarum berwarna merah itu bergetar menunjuk ke satu arah, arah yang dituju oleh Vera.
Setelah mendayung beberapa lama, Vera merasakan ombak di bawahnya meninggi. Guncangan yang diterima perahu lebih besar daripada sebelumnya. Udara pun terasa lebih sejuk dan mencekam, jauh berbeda dengan udara beberapa menit yang lalu.
Vera berhenti mendayung, lalu merendahkan tubuhnya. Dia berjongkok di buritan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Tanpa menghilangkan kewaspadaan, dia berjalan pelan ke tengah perahu sesenyap mungkin, menyembunyikan dirinya dari pandangan siapa pun yang ada di tengah lautan sana. Dia mendayung perahunya sedikit lagi, lalu berhenti setelah beberapa dayungan.
Vera memasang kuda-kuda, menguatkan pijakannya pada dasar perahu. Kaki telanjangnya itu memijak kuat seolah-olah ada pasak antara kaki dan perahunya. Ombak yang semakin tinggi sama sekali tidak menggoyahkan dirinya.
Perempuan itu meletakkan dayungnya tanpa suara, lalu memasukkan tangannya ke dalam jubah secara perlahan. Ketika ia mengeluarkan tangannya lagi, dia sudah memegang sebuah kapak dengan gagang yang panjang, sekitar dua setengah kali panjang gagang kapak pada umumnya.
Lautan di bawahnya sangat gelap. Meskipun matahari bersinar terang, tetapi cahayanya sama sekali tidak dapat menembus dinding air laut itu.
Vera tak dapat melihatnya, tapi dia dapat merasakannya.
Ada sesuatu di bawah kakinya—di bawah perahunya. Jumlahnya sangat banyak.
Ketika Vera mendengar suara laut memecah, Vera tahu jika mereka sudah menyadari kehadiran Vera, makhluk yang tidak diundang di tempat itu.
Dengan menajamkan seluruh inderanya, Vera dapat bereaksi dengan sangat cepat. Dia segera berbalik dan memenggal kepala 'itu' sebelum 'itu' berhasil memanjat masuk ke dalam perahu.
Mereka adalah mayat hidup.
Mereka adalah bangkai manusia yang tidak diambil setelah jiwanya disedot. Mereka haus dan lapar. Mereka masih ingin hidup. Mayat-mayat itu berkumpul di tengah-tengah lautan, di tempat yang dicari Vera dengan kompas itu.
Mereka menyadari keberadaan Vera dengan cepat, menyadari adanya sosok tak diundang yang tidak seharusnya berada di tempat itu.
Mayat-mayat hidup itu satu per satu bermunculan ke permukaan air, mencoba menenggelamkan Vera. Vera dengan gesit memotong tangan, kaki, leher, atau apa pun yang mencoba menaiki perahunya. Dia memotong daging dan tulang manusia dengan mudah seperti memotong ranting pohon. Darah bercipratan, tetapi itu sama sekali tidak membuatnya gentar.
Dia terus melakukan itu hingga mayat-mayat itu berhenti menyerang, tetapi pada kenyataannya mereka sama sekali tidak berhenti.
Vera sendiri berpikiran untuk memaksakan dirinya lebih jauh lagi daripada hari-hari sebelumnya. Wanita itu pikir, dia pasti bisa melakukannya kali ini. Apa pun yang terjadi, dia akan terus bergerak ke depan, semakin jauh ke tengah lautan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Soul
Fantasía***Mengandung gore dan sadisme*** Update setiap Jumat, pk. 17.00 (Di Karyakarsa sudah sampai Chapter 30) Daniel, seorang manusia biasa, tahu-tahu saja terjebak di dunia yang aneh. Para makhluk penghuni dunia itu menyebut dunia mereka Hueca. Daniel t...