Vera meraba besi berwarna perunggu yang dingin itu dengan jemarinya. Kompas itu tidak berkilau dengan indah, dan juga banyak codet di luarnya.
Gadis itu tengah berbaring di ranjang dan meneliti kompas yang baru saja dia curi. Dia menekan ujung tutup kompasnya, lalu membukanya. Isinya sangatlah aneh dan asing bagi Vera. Sebuah kompas tanpa arah mata angin, dan jarumnya yang dicat merah bergetar menunjuk ke satu arah.
Laut.
Vera melompat turun dari ranjang, lalu bersiap dengan jubah dan riasannya. Dia membawa kapak dan menyelipkannya di balik jubah sebagai perlindungan diri. Gadis itu melangkah keluar dari kamar, langsung memandang lautan biru di belakang pondok.
Pagi itu adalah pagi sebelum Festival Darah. Master terlelap di kamarnya, dan Vera merasa tidak perlu mengkhawatirkan pria itu. Seandainya Vera tidak menemukan apa pun, Vera berencana untuk kembali ke pondok sebelum matahari tenggelam.
Vera mendayung perahunya mengikuti arah kompas. Dia merasa perjalanan yang ia lalui memakan waktu yang sangat lama. Walau Vera merasa sudah mendayung jauh, tetapi ketika dia menoleh, dia melihat pondoknya masih belum terlalu jauh. Mungkin hal ini terjadi karena dia belum terbiasa mengendarai perahu.
Vera mendayung sejauh yang ia bisa, dan akhirnya menyerah ketika matahari sudah membumbung tinggi di langit. Panasnya matahari menyerap energi Vera. Dia berbaring di atas perahu, menatap langit yang menyilaukan. Vera mengangkat salah satu tangannya ke langit, menghalangi cahaya menembus matanya. Tangannya itu gemetaran karena kelelahan mendayung. Saat itu Vera merasa kalau mendayung selama setengah hari penuh di bawah teriknya matahari adalah hal yang mustahil.
Sebuah bayangan lewat dengan cepat di atas Vera. Vera segera bangun, mencari apa wujud sesungguhnya dari bayangan itu.
Tampak seperti seekor burung besar berwarna hitam. Terbangnya tidak beraturan. Terjatuh kemudian segera melambung tinggi lagi, terus seperti itu menuju kota.
Vera yang penasaran tidak berpikir apa-apa lagi dan langsung mendayung menuju arah terbang burung besar itu. Dia sama sekali tidak melepaskan pandangan terhadap burung itu.
Ketika burung besar itu terjatuh ke tengah-tengah kota, Vera langsung mempercepat dayungannya. Vera membawa perahunya ke pesisir daratan, menambatkannya di sana. Dia segera berlari menuju kota melewati gang-gang sempit.
Dia berlari menuju tengah kota, hingga akhirnya tiba di jalan yang cukup luas. Vera menengok ke kanan dan kiri, lalu ia dapat melihat bercak darah besar di tanah, cukup jauh darinya.
Vera berlari mengarah pada bercak yang dia lihat itu. Bercak itu menyambung pada garis panjang darah, menuju gang gelap di antara rumah-rumah.
Tanpa rasa takut, gadis itu berjalan menelusuri garis darah tersebut. Setelah tiba di hadapan gang yang tertutup bayangan bangunan itu, Vera terhenti. Vera menyentuh batu pada dinding rumah yang kering karena terjemur matahari, lalu melongok ke dalam gang tanpa memajukan langkahnya sesenti pun.
Samar, Vera dapat mendengar suara napas yang berat. Vera memicingkan kedua matanya. Walau gelap, sekilas Vera dapat melihat sesuatu bergerak. Sebuah gumpalan besar yang meringkuk di tanah, menyandar pada dinding rumah.
"Siapa di sana?" tanya Vera.
Makhluk itu tampak tersentak. Dia bergerak-gerak, lalu Vera dapat melihat bulu-bulu dan kilatan sebelah mata makhluk itu. Mata itu menatap Vera kosong. Tidak lama, Vera dapat mendengar suara geraman.
"Apakah kamu terluka?" tanya Vera lagi. Vera tidak mendapatkan jawaban. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya Vera melangkah masuk ke dalam kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Soul
Fantasia***Mengandung gore dan sadisme*** Update setiap Jumat, pk. 17.00 (Di Karyakarsa sudah sampai Chapter 30) Daniel, seorang manusia biasa, tahu-tahu saja terjebak di dunia yang aneh. Para makhluk penghuni dunia itu menyebut dunia mereka Hueca. Daniel t...