Tidak terasa sudah satu bulan berlalu sejak terakhir Daniel bertemu dengan Gourmet. Daniel masih belum menemukan petunjuk apa pun tentang jiwa hitam. Lama kelamaan, Daniel semakin terbiasa hidup di Hueca.
"Dan, beristirahatlah yang cukup agar besok malam kamu bisa tampil prima di depan Madame Gourmet," suruh Master setelah selesai menutup bar malam itu.
"Baik, Master," ucap Daniel tersenyum. Daniel sangat merasa senang karena bisa bekerja bersama pria ini. Bagi Daniel, Master adalah sosok 'gentleman' yang sempurna, sesuai dengan gambaran yang dipercayai orang-orang. Pria itu lembut dan ramah, memiliki kebaikan hati, dan segala gerak-geriknya juga meneriakkan keanggunan. Daniel sangat mengaguminya dan berharap bisa menjadi seperti Master ketika tua nanti.
Sayangnya, jika benar Master memiliki dan menyembunyikan jiwa hitam, Daniel harus mengkhianati lelaki itu dengan merampasnya.
Daniel dan Master kembali ke dalam pondok untuk beristirahat. Tidak butuh waktu lama sampai keduanya mendengkur. Beberapa jam kemudian, Vera mengendap-endap keluar, tidak disadari oleh para lelaki di pondok itu.
Vera berjalan cepat dan tanpa suara di balik jubah hitam lusuhnya. Langkahnya sama sekali tidak menimbulkan derit di atas kayu seolah dia melayang. Tidak biasanya, Vera tidak pergi ke tengah lautan di hari itu, melainkan ke arah kota.
Vera melewati selasar kayu seperti terbang dengan jubahnya mengibas ke belakang. Seluruh toko di sepanjang jalan gelap dan tutup, semua sedang tertidur. Apa pun yang hendak dilakukan orang pada waktu seperti ini, semuanya akan terhindar dari pengawasan mata penghuni Hueca.
Setibanya di kota, Vera menoleh ke kanan dan ke kiri. Di ujung pandangannya, dia melihat sebuah tangan yang mengibas, memberikan isyarat untuk menghampirinya dari balik sebuah gang.
Vera menghampiri tangan itu, kemudian tangan itu menarik lengan Vera ke dalam bayangan.
Di tengah hari yang panas, Vera dan orang itu berdiri di tempat yang teduh dan sejuk, di sela-sela gang sempit yang hampir tidak terkena cahaya matahari sama sekali.
Sehari sebelumnya, seekor gagak terbang dan hinggap di jendela kamar Vera yang mengarah ke lautan. Gagak itu meninggalkan sepucuk surat yang berisikan panggilan terhadap Vera. Setelah tugasnya selesai, gagak itu berubah menjadi sehelai bulu hitam.
"Apa yang mau kau bicarakan, Crow?" tanya Vera dalam bisikan.
Pria itu memakai pakaian serba hitam yang panjang, menutup seluruh kulit di tubuhnya, sama sekali tidak terganggu dengan suhu panas. Crow mengambil sesuatu dari balik jas panjangnya, lalu mengeluarkan sebuah buku merah yang tidak memiliki judul di sampulnya. "Aku sudah tahu apa yang kurang dari cara bagaimana pergi ke tempat itu," ujar Crow segera. "Semuanya tertulis di buku ini."
Mata Vera melebar untuk sesaat. "Buku apa itu?"
"Buku yang kucuri dari perpustakaan," jawab Crow tanpa berniat menceritakan detailnya. "Bukunya ditulis dalam bahasa kuno, sehingga membutuhkan waktu cukup lama buatku menerjemahkannya."
"Kalau begitu, coba jelaskan!" desis Vera tidak sabar.
"Pertama-tama, kau membutuhkan Kompas Darah untuk pergi ke tempat itu; dan kamu sudah mempunyainya," papar Crow. "Kemudian kamu membutuhkan Lentera Jiwa sebagai kunci."
"Itu saja?"
"Ada lagi," bisik Crow. "Pintu itu hanya terbuka saat Festival Darah."
"Festival Darah?" ulang Vera. Festival Darah adalah acara yang dilangsungkan setiap satu tahun sekali di Hueca, ketika bulan di malam hari berubah menjadi merah seperti darah. Pada hari itu, kekuatan para penghuni Hueca akan melimpah dan indera-indera mereka juga menjadi lebih tajam. Semua orang akan keluar saat Festival Darah. Ada arak-arakan dan stan-stan makanan ringan di jalanan sehingga festival itu akan menjadi sangat ramai. "Bukankah Festival Darah sebentar lagi?"
"Seminggu lagi," jawab Crow. Tentu saja Festival Darah adalah hari yang sangat penting bagi seluruh penghuni Hueca. Tidak ada yang tidak tahu hari apa festival itu dilaksanakan.
"Artinya aku harus bergerak cepat," ucap Vera kepada dirinya sendiri. Crow menggenggam tangan Vera dan menatap mata wanita itu dalam-dalam melalui topengnya.
"Tidak usah terburu-buru, jika gagal sekalipun kau tetap bisa mencobanya lagi tahun depan," gumam Crow lembut.
"Aku tidak yakin aku punya waktu sebanyak itu," ucap Vera. "Begitu juga denganmu."
"Kamu mengkhawatirkanku?" goda Crow. Meski tidak terlihat, tetapi Vera tahu kalau lelaki itu sedang tersenyum. "Seandainya penyakit ini membunuhku nantinya, akankah kamu merindukanku?"
Vera menghentakkan tangannya, melepaskan genggaman tangan Crow. "Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan jika harus menunggu satu tahun lagi tanpamu."
"Jika untukmu, satu tahun pun aku akan bertahan."
"Dengan menahan rasa sakit setiap harinya?"
Crow bergeming. Dia menerawang menatap wanita di hadapannya itu. Vera mendorong tubuhnya ke depan, menempelkan keningnya pada dada Crow, lalu memejamkan mata.
"Akan lebih baik jika aku pergi agar kamu bisa beristirahat dengan tenang."
Crow memeluk Vera dengan lembut dan mengusap punggung wanita itu pelan. "Apa pun yang ingin kaulakukan, apa pun keputusanmu, aku tetap akan mendukungnya."
Vera terdiam selama beberapa lama, kemudian mendorong Crow perlahan. "Apakah kau akan memberitahu cara pergi ke dunia manusia pada Dan?"
Crow menatap Vera dengan tenang, lalu tersenyum kecil. "Tidak."
"Kenapa?"
"Dia pernah mengkhianati saudara sedarahnya sendiri. Bagaimana aku bisa yakin kalau dia tidak akan berkhianat lagi?"
Vera terdiam. Dia menatap Crow dengan tatapan yang kosong. Crow tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Vera, tetapi dia dapat menebaknya. Crow pun menghela nafas di balik topengnya.
"Vera, kamu akan membawa anak manusia itu? Kamu akan mempercayainya?"
Vera menggeleng. "Aku belum memutuskan."
Crow dan Vera saling terdiam selama beberapa saat. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
"Aku akan mengambil Lentera Jiwa itu," ujar Vera tiba-tiba. "Di mana lentera itu disimpan?"
"Di perpustakaan," jawab Crow tanpa basa-basi. "Aku akan ikut denganmu."
"Tidak perlu. Dulu pun aku mencuri Kompas Darah itu sendirian."
"Kalau begitu, aku akan berjaga-jaga di luar perpustakaan," ucap Crow tanpa menyembunyikan nada kekhawatiran dalam suaranya.
"Ya. Terserah saja."
#
Matahari masih jauh dari terbenam. Vera mengendap-endap di sekitar perpustakaan, mencari celah untuk masuk.
Vera dapat melihat ada tambalan kayu yang dipaku pada pintu depan. Entah apa yang menyebabkan lubang pada pintu tebal itu, tetapi ini adalah keberuntungan bagi Vera. Vera melubangi papan tipis yang menjadi tambalan itu dengan kapaknya, lalu melangkah masuk ke dalam perpustakaan.
Perpustakaan itu agak gelap dibanding saat sedang sibuk-sibuknya di malam hari karena hanya bergantung pada penerangan dari cahaya matahari yang menyeruak melalui jendela.
Vera berjalan cepat memasuki labirin rak buku. Sebentar saja, dia sudah tiba di depan area gelap. Tempat itu memiliki kegelapan pekat, bahkan cahaya matahari juga tidak tembus. Auranya sangat mencekam, tidak berbeda dengan yang dulu Vera rasakan.
Sekarang ini, matahari masih jauh dari terbenam. Si Penjaga juga pasti sedang terlelap tidur, sama seperti penghuni Hueca lainnya.
Setidaknya itulah yang Vera kira.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Soul
Fantastik***Mengandung gore dan sadisme*** Update setiap Jumat, pk. 17.00 (Di Karyakarsa sudah sampai Chapter 30) Daniel, seorang manusia biasa, tahu-tahu saja terjebak di dunia yang aneh. Para makhluk penghuni dunia itu menyebut dunia mereka Hueca. Daniel t...