Vera berbaring dengan mata tertutup, tetapi dia sudah terjaga. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Dia ingat tidak sadarkan diri kemarin malam, lalu dia juga ingat tentang Daniel sudah mengetahui identitas aslinya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Vera tanpa membuka mata.
"Jam tiga sore," jawab Crow yang sedang duduk bersandar ke tembok. Dia sama sekali tidak terkejut mengetahui Vera sudah terbangun. "Istirahat saja lagi."
"Tidak," jawab Vera singkat seraya membuka kedua matanya. "Sebentar lagi Festival Darah, Master membutuhkan banyak stok jiwa."
"Kenapa kamu masih memikirkan Master di saat seperti ini?"
"Cemburu?"
Vera mengerling, melihat Crow tersenyum.
"Bagiku, dia satu-satunya sosok orangtua yang bisa kukenal," ucap Vera.
"Meskipun dia membuatmu memotong daging manusia?"
"Sejak awal, aku bukanlah seseorang yang pantas berada di tengah-tengah manusia," jawab Vera. "Master mempedulikan aku lebih daripada orangtua kandungku."
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu, menyela obrolan mereka berdua. Daniel memasuki ruangan dengan rambut berantakan, tampak baru bangun tidur.
"Kakak sudah bangun?" ujarnya. Vera menoleh, menatap Daniel. Anak lelaki itu berjalan mendekati Vera, lalu berlutut di sampingnya. Bibirnya terkatup, tak tahu ingin mengatakan apa. Dia hanya terdiam menatap gadis yang jelas-jelas kakak kandungnya itu dalam bisu. Selama ini, Daniel percaya jika kakaknya sudah tiada. Kini, dia masih hidup, dan Daniel berjanji tidak akan pernah mengkhianatinya lagi.
Akan tetapi, anak itu tidak tahu apakah 'isi' dari gadis yang berbaring di hadapannya ini masih kakaknya.
Dia tidak tahu, dan sama sekali tidak memikirkannya.
"Sepertinya banyak yang ingin kamu bicarakan," gumam Vera dengan mulut yang kering.
"Iya," jawab Daniel bergetar. "Tapi, kita akan membicarakannya setelah pulang ke rumah."
"Rumah..." ulang Vera. Vera memejamkan matanya, mencoba menarik ingatan yang sudah tidak lagi berwujud di dalam benaknya. "Apakah aku memiliki rumah di dunia manusia?"
"Apa maksud Kakak?" sergah Daniel. "Papa dan Mama merindukan Kakak setiap harinya."
"Bohong," ujar Vera cepat, dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya kosong dan kehilangan cahaya. Dia tidak lagi sakit hati jika kedua orang tua itu tidak merindukannya.
Daniel mengerutkan bibir, mengetahui jika tidak ada lagi perkataan manis yang bisa membohongi kakaknya. Betul, kedua orangtua Daniel memang syok berat setelah mendengar kabar putrinya meninggal, tetapi setelah itu mereka sama sekali tidak membahasnya lagi.
Seolah-olah mereka tidak pernah memiliki anak perempuan.
"Aku," ujar Daniel tegas. Daniel menatap lurus pada mata Vera, menunjukkan cahaya di dalam jiwa Daniel. "Aku yang rindu."
Vera balas menatap mata Daniel yang bercahaya dan penuh jiwa itu dengan tatapan kosong. Tatapan itu begitu menyilaukan bagi Vera. Gadis itu merasa bola matanya menjadi kering dan dia pun menutup kedua matanya. "Keluarlah."
"Kenapa, Kak?" tanya Daniel khawatir telah menyinggung Vera.
Vera perlahan bangkit dari tidurnya tanpa membuka mata. Daniel mencoba membantu Vera, tetapi Vera menolak bantuan Daniel dengan menampik tangannya. "Aku mau ganti baju."
"Bukannya Kakak masih sakit?"
Crow bangkit berdiri dari duduknya. Dia tampak lelah dan sangat kesakitan, tetapi dia berhasil berdiri dengan stabil. "Kurasa aku juga harus segera pergi sebelum pria tua itu bangun."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Soul
Fantasi***Mengandung gore dan sadisme*** Update setiap Jumat, pk. 17.00 (Di Karyakarsa sudah sampai Chapter 30) Daniel, seorang manusia biasa, tahu-tahu saja terjebak di dunia yang aneh. Para makhluk penghuni dunia itu menyebut dunia mereka Hueca. Daniel t...