Chapter 10: The Neighbour, Envy

14 5 0
                                    


Suatu hari, Master pergi keluar di pagi hari menjelang siang. Dia mengenakan setelan jas berekor berwarna hitam dengan rompi kelabu di dalamnya. Dia memakai topi tingginya dan membawa tongkat berwarna hitam dengan gagang berwarna perak. Dia keluar diam-diam tanpa membangunkan Daniel maupun Vera.

Pergi ke mana, tidak seorang pun yang tahu.

#

Pria bercaping itu mengintip dari balik pintu kedainya. Dia dapat melihat pemilik bar tetangga sekaligus pesaing bisnisnya itu pergi meninggalkan pondok.

Lelaki itu segera berlari ke belakang pondoknya sendiri, lalu berpijak pada rakit bambu miliknya. Dia mendayung rakitnya itu dengan suara sekecil mungkin dan berhenti tepat di belakang pondok milik Master, di sebelah perahu Vera.

Pria itu bernama Caping. Dia bertelanjang dada dan kaki. Caping hanya memakai celana pendek berwarna hitam. Tubuhnya kurus kering dengan kulit yang cokelat karena terbakar matahari.

Caping berjalan mengendap-endap memasuki pondok rivalnya itu. Dia sangat yakin kalau Master menyembunyikan jiwa yang langka dan lezat di dalam pondoknya.

Baru saja menginjakkan satu kaki ke bagian dalam pondok, Caping langsung terlonjak kaget dan menunduk cepat ketika mendengar suara dengkuran yang keras. Caping merangkak pelan ke belakang sofa yang kosong, lalu mengintip sofa di seberangnya. Seorang lelaki tertidur di atas sofa itu, tertutup selimut dari kepala hingga kaki. Caping hanya dapat melihat ujung rambut pria itu.

Pria kurus itu terheran-heran. Siapakah gerangan pria yang sedang tertidur ini? Caping tidak tahu jika Master juga memiliki seorang anak laki-laki.

Pandangan Caping bergeser pada sangkar burung besi di atas meja. Caping mendekati sangkar besi itu dan meneliti isinya. Terdapat beberapa jiwa manusia di dalamnya. Jiwa-jiwa yang ada di sana sangat biasa. Jiwa-jiwa itu kotor dan kusam, seperti jiwa-jiwa yang berhasil ia pancing sendiri.

Dia cukup kecewa dengan apa yang dilihatnya.

Tidak.

Pasti ada di suatu tempat yang tersembunyi. Jika jiwa itu berharga, maka tidak mungkin ditempatkan di tempat yang terbuka seperti ini.

Caping kembali menundukkan tubuhnya dan merangkak. Dia merangkak ke arah pintu terdekatnya. Kamar itu kosong. Dia pun menegakkan tubuhnya dan menggeledah tempat itu. Kamar itu tidak menyembunyikan apa pun yang berharga. Caping benar-benar merasa kecewa.

Benarkah pria tua tidak memiliki jiwa berharga yang disembunyikan?

Caping merendahkan tubuhnya lagi untuk merangkak keluar dari kamar Master. Ia sekali lagi menelisik sangkar besi itu, lalu menyerah setelah menyadari tidak menemukan jiwa yang unik.

Lelaki itu kembali terlonjak ketika mendengar suara dengkuran yang keras. Caping melirik lelaki yang sedang tertidur itu. Lelaki itu bergerak-gerak, kemudian menurunkan selimutnya dari kepala hingga wajahnya nampak dengan jelas.

Seketika, Caping dapat mencium bau manusia.

Caping mendekati anak lelaki itu. Untuk apa Master membiarkan seorang manusia hidup? Kedua mata Caping melebar ketika menyadari apa maksud dari keberadaan manusia ini.

Ternyata, di sinilah pria itu menyembunyikan jiwa berharganya!

Tubuh Caping gemetar karena tidak bisa menahan semangat yang meluap-luap, merasa sudah berhasil mendapat jackpot. Caping melebarkan jari-jari tangan kanannya yang panjang dan ramping itu. Dia menggoyang-goyangkan jarinya terlebih dulu sebelum berhenti beberapa sentimeter di atas mulut Daniel.

The Black SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang