“Iya Mom.” Jawabku pada Mom Mike. Mom menginginkanku berkunjung kekediamannya setelah jam kantorku selesai.
“Pokoknya Lana, Mom gak akan makan kalau tidak masakanmu.” Rengek Mom ditelfon. Saat ini Mom sedang kambuh maagnya. Bukannya aku tidak mau menjenguknya, hanya saja pekerjaanku sedang gila-gilanya. “Baiklah Mom, nanti Lana kesana. Mom mau Lana bawain apa?” tanyaku
“Mom Cuma mau masakan kamu. Titik!” suaranya manja. Lalu memutuskan sambungan telfon. Untunglah bunda tidak semanja Mom, memikirkan Bunda membuatku teringat perkataan dokter saat aku mengantar Bunda check up tempo hari. Bunda terlalu capek dengan kegiatan amalnya dan menyebabkan jantungnya terlalu lelah bekerja. Namun dengan keras kepalanya bunda tidak mau berdiam diri, Bunda tetap pada kegiatan amal-amalnya dan membuatku khawatir. Akhirnya kuputuskan merelakan mobilku untuk bunda dan memperkerjakan supir mengantar bunda kemanapun. Karena sebelumnya bunda selalu suka menggunakan kendaraan umum membuatku mengkhawatirkannya.
Beda dengan Mom yang manja padaku, Bunda sangat menuruti apa perkataan Mike. Kadang aku berfikir mungkin aku dan Mike adalah anak yang tertukar.Aku turun dari taksi yang membawaku kerumah Mom, menenteng brownis kesukaan Mom dan memasuki Mansion yang sialan besar keluarga Midelton masih membuatku terkagum-kagum setiap memasukinya.
Aku menuju ke dapur menyiapkan brownies dan meminta tolong pelayan Mom untuk mengantarkannya ke kamar Mom. Sedangkan aku membuat bubur ayam yang cukup cepat untuk Mom, aku tidak mau Mom lebih lama menunggu masakanku untuk makan.“Mom, ayo dimakan dulu buburnya.” Aku membangunkan Mom.
“Lana, kamu memang menantu kesayangan Mom. Terima kasih sayang.” Rajuk Mom mengambil alih nampan makanan dari tanganku. Dengan lahap Mom memakan habis bubur buatanku. Aku hanya menggeleng dan tersenyum geli melihat tingkah lucu Mom.
“Nah sekarang Mom minum obatnya dan istirahat.” Aku mengambilkan obat Mom. “Lana pamit dulu ya Mom, kasihan Bunda dirumah sendiri.”
“Kamu sama Mike kan? Jangan pulang dengan taksi konyol itu Lana, ini sudah malam.” Kata Mom tegas.
“Get well soon Mom. Love you.” Aku tahu Mom menghawatirkanku, tapi aku akan baik-baik saja, aku bahkan tidak memberi kabar pada Mike bahwa aku mengunjungi Mom karena aku tahu Mike sedang banyak pekerjaan. Aku mencium kedua pipi Mom dan keluar membiarkan Mom istirahat.Dalam perjalanan pulang aku mmeriksa handphone yang tadi aku silent. Ada pesan dari Mike yang menanyakan keberadaanku, namun aku tidak membalasnya. Aku tidak mau bergantung pada Mike, kebutuhan akan dirinya membuatku ketakutan. Dua panggilan tak terjawab dari nomor telfon rumahku. Kenapa bunda menelfon dengan telfon rumah? Tidak biasanya. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak. Aku menghubungi kembali rumah, hingga dua kali sambungan tidak ada jawaban. Aku semakin khawatir. Saat aku akan menghubungi handphone bunda ada panggilan masuk untukku. Nomornya asing, dengan ragu aku menerima panggilan ini.
“hallo.” Sapaku
“Benar ini dengan saudari Lana Rahardian?” suara perempuan diseberang telfon.
“I.. Iya. Saya sendiri.”
“Kami dari RS. Internasional Citra. Memberikan kabar jika ibu anda sedang dalam perawatan di Rumah Sakit kami. Kami diminta oleh ibu Oti untuk menghubungi anda dan memberitakan kepada anda tentang perawatan ibu anda.” Tubuhku bagaikan dilempar kedasar jurang yang sangat dalam. Hatiku mencelos mendengar berita ini,
“Bun.. Bundaa.” Aku tercekat membayangkan bunda yang sedang sakit. Sekuat tenaga aku membuang pemikiran terburuk yang akan terjadi. Menguatkan hati mengatakan jika aku segera menuju rumah sakit secepat yang aku bisa.
Untunglah jarakku dengan rumah sakit tidak terlalu jauh. Sesampainya dirumah sakit aku langsung menanyakan Bunda pada informasi rumah sakit. Bunda masih di UGD. Aku berlari menuju ruang UGD secepat yang aku bisa. Aku bahkan melepas heelsku untuk dapat berlari secepatnya. Air mataku sudah memenuhi wajahku. Aku tidak peduli jika wajahku sekarang bagai monter yang menakutkan.
“Bi Oti, dimana Bunda?” Tanyaku pada bi Oti yang sedang duduk didepan ruang UGD dengan air mata yang tak kalah membajiri wajah setengah baya nya.
“Non Lana. Maafkan bibi non. Bibi kurang cepat memanggil ambulan. Bibi kalut non.” Kata di Oti dengan menangis.
“Kita berdoa saja bi. Dimana bund sekarang bi?”
“Masih ditangani dokter non. Sungguh maafin bibi non.” Kata bi Oti bergetar. Aku memeluk bi Oti untuk menenangkannya dan menenangkanku sendiri.
Dokter yang sepertinya menangani bunda keluar dan aku segera menghampiri disusul bi Oti. “bagaimana keadaan Bunda saya Dok?” tanyaku.
“Saat ini keadaanya stabil. Tapi kami menyarankan untuk pasien melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Karena serangan jantung ini sepertinya bukan yang pertama pasien alami. Untuk lebih lanjut bisa dijelaskan diruangan saya. Saat ini pasien akan dipindah pada ruang inap dahulu. Permisi.” Kata dokter telaten menjelaskan.
Seketika lemas sudah kakiku. Bunda serangan jantung. Bunda pernah kena serangan jantung sebelumnya? Apa maksudnya bunda harus diperiksa lebih lanjut? Ya Tuhan, sembuhkan bundaku.
Setelah bunda dipindahkan diruang inap, aku menemui dokter yang menangani bunda.
“Silahkan duduk.” Dokter mempersilahkanku duduk. “Maaf dengan mbak..”
“Lana.” Jawabku singkat. “Tolong dokter jelaskan keadaan bunda saya saat ini.” Pintaku.
“Begini mbak Lana, diagnosa awal kami ibu anda memiliki penyumbatan pembuluh darah di jantung.” Jelas dokter membuatku menutup mulutku yang terbuka terkejut. “Namun itu bukan bagian terburuknya, diduga ibu anda sedang terkena penyakit kanker otak stadium akhir. Namun ini perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui pastinya.”
Kalian pernah merasa ingin memukul dan mengahajar seseorang? Iya aku mengalaminya sekarang. Aku ingin menonjok dokter yang mungkin usianya tidak terlalu jauh dariku ini.
“BAGAIMANA ANDA BISA MENJADI SEORANG DOKTER JIKA ANDA HANYA MENGATAKAN KEBOHONGAN? TIDAK MUNGKIN BUNDA SAYA MEMPUNYAI PENYAKIT MENAKUTKAN SEPERTI ITU!” jeritku. Aku sungguh frustasi hingga menangis sambil menggebrak meja saat meneriaki dokter sialan ini.
“Maafkan saya mbak Lana, inilah yang sedang terjadi.” Katanya menyesal. Aku syok tentu saja. Tapi aku harus berfikir denga kepala dingin.
“Kumohon sembuhkan bunda. Lakukan apapun agar bunda sembuh, saya mohon.” Kataku pelan. Aku bahkan akan menukar nyawaku agar bunda bisa sembuh. Bunda harus sembuh.
“Kami akan melakukan yang terbaik dan semaksimal yang kami bisa.”