"Orang tua lo enggak ada yang datang Van?" tanya Arkan. Alvan hanya menggelengkan kepalanya.
"Mereka sibuk banget Van?" tanya Arkan. Alvan hanya menggelengkan kepalanya lagi.
"Kayaknya setiap kali gue main ke tempat lo, gue enggak pernah liat orang tua lo di rumah," kata Arkan.
"Yaudahlah, ngapain juga dibahas, lagian gue juga enggak peduli. Orang tua gue terlalu sibuk dengan bisnisnya, mungkin aja kalau gue mati, mereka juga enggak datang kepemakaman gue," jawab Alvan.
"Hati-hati kalau ngomong Van," kata Arkan.
"Gue udah muak dengan kesibukan orang tua gue," jawab Alvan.
"Tapi lo enak Van. Semua kebutuhan lo bisa dengan mudah terpenuhi," kata Arkan.
"Semua enggak ada artinya, karena gue selalu kesepian di rumah," jawab Alvan.
"Harusnya orang tua lo bangga punya anak seperti lo. Loe itu pinter, cerdas, berbakat, penampilan lo juga keren. Lo sadar enggak sih, selama ini hampir semua anak perempuan disekolah kagum sama lo, dan lo juga selalu jadi bahan pembicaraan anak perempuan disekolah?" tanya Arkan.
Sejenak Alvan menganggukkan kepalanya. Ia memang menyadari jika selama ini, banyak anak perempuan yang menjadikannya sebagai bahan pembicaraan.
"Mereka hanya tau sisi baik dari diri gue. Kalaupun mereka tau sisi buruk dari diri gue, mereka pasti akan berhenti mengagumi gue, dan berhenti juga untuk menjadikan gue sebagai bahan pembicaraan," jawab Alvan.
"Gue pikir, lo hanya memiliki sisi baik, tanpa memiliki sisi buruk," kata Arkan.
"Kehidupan gue disekolah, dengan kehidupan gue dirumah itu berbeda. Dan enggak ada yang tau soal itu, termasuk lo Arka," jawab Alvan.
Arkan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Iya, setiap orang memang memiliki dua sisi yang berbeda. Dan tidak semua orang bisa memahami kedua sisi itu. Begitupun dengan Alvan, ada sisi lain yang Alvan belum ketahui tentang sahabatnya itu.
"Ini jadi ke markas atau enggak?" tanya Alvan.
Sejenak Arkan merogoh ponsel di sakunya. Mengetuk layarnya, seolah sedang membaca seauatu.
"Jadi, ayo berangkat, kita udah di tunggu," jawab Arkan.
Mereka berdua berangkat ke markas Anak Gaul dengan mengendari sepeda motor masing-masing. Arkan jalan lebih dulu, sementara Alvan menyusul di belakangnya.
Ajakan Arkan, diterima baik oleh Alvan karena ia juga sedang membutuhkan hiburan. Alvan ingin sejenak menghilangkan ingatan tentang kesibukan orang tuanya. Semua itu membuatnya muak.
Saat Alvan tiba di bingkai pintu markas, ia mengingat sesuatu. Ia lupa tidak memberitahu Bi Inah kemana ia pergi. Kalau nanti ia pulang terlambat, Bi Inah pasti akan sibuk mencarinya. Jika hal itu terjadi, tentu akan sangat merepotkan Bi Inah. Alvan merogoh ponsel di saku celananya lalu mengetuk layarnya. Namun, keberuntungan sedang tidak berpihak kepada Alvan, ponselnya mati, ia lupa tidak mengecasnya tadi. Kalau sudah begini, bagaimana caranya agar ia bisa menghubungi Bi Inah.
Sejenak Alvan berpikir. Ia bisa saja meminjam ponsel Arkan. Tapi nomor Bi Inah ada di ponselnya yang mati, dan ia juga tidak hapal nomornya.
Alvan menghela nafasnya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak terlambat ketika pulang nanti. Karena ia tidak mau membuat Bi Inah khawatir tentang dirinya. Kedatangan Arkan disambut oleh teman-temanya. Mereka saling tos, dan Alvan pun mengikuti Arkan.
"Jadi ini orang yang lo maksud?" bisik salah satu teman Arkan. Arkan hanya mengangguk.
"Gue seneng kalau lo bisa gabung disini," kata salah satu teman Arkan kepada Alvan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...