SEBUAH PENGAKUAN

14 1 0
                                    

"Ayo ma, kita pulang! Biarkan dia di tahan disini, biar dia bisa merasakan hukuman atas kesalahannya," kata Papanya.

Alvan hanya diam, ia tidak menjawabnya. Tamparan keras Papanya meninggalkan rasa ngilu di pipinya.

"Mama janji akan membebaskan kamu," bisik Mamanya seraya bangkit dari duduknya. Alvan hanya menghela nafasnya. Ia pun di gelandang kembali oleh sipir untuk masuk ke dalam sel.

Ia kembali duduk termenung didalam sel. Ia benar-benar muak dengan kejadian yang ada dalam hidupnya. Sampai sarapan di pagi itu terasa hambar. Hambar seperti hidupnya. Meskipun ia memiliki banyak hal dan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi tidak dengan kasih sayang orang tuanya yang selama delapan belas tahun ia rindukan.

Alvan ditempatkan dalam sel yang berbeda dari Arkan dan kedelapan temannya. Alvan pun tidak tahu kenapa polisi menempatkannya di tempat terpisah. Alvan ditempatkan dengan seorang bapak-bapak yang sesekali batuk-batuk.

Alvan duduk termenung di pojok sel. Ia menangkupkan kedua tangan dikakinya. Pandangannya kosong.

"Masih belum bisa menerima kenyataan ada di sel ini," kata bapak itu. Alvan hanya mengela nafasnya, memperbaiki duduknya, tanpa menanggapi perkataan orang itu.

"Sepertinya kamu memiliki masalah yang besar," kata bapak itu. Alvan masih tidak menanggapi orang itu.

"Tadi itu orang tuamu?" tanya bapak itu. Alvan hanya menganggukkan kepalanya.

"Saya baru kali ini melihat ada orang tua yang menampar anaknya," kata bapak itu. Alvan menatap lekat bapak itu.

"Tidak apa. Kalau kamu tidak bersalah, kamu pasti akan segera keluar dari tempat ini. Sebentar lagi hasil tes urin akan keluar, buktikan saja kepada orang tuamu kalau kamu tidak bersalah," kata bapak itu.

"Bagaimana bapak tau kalau aku sedang menunggu hasil tes urinku?" tanya Alvan.

"Saya tau apa yang ada di pikiranmu," jawab bapak itu seraya terkekeh. Alvan hanya mengernyitkan dahinya.

Ketika Alvan membuka mulutnya hendak bertanya, bagaimana bapak itu bisa tau apa yang ada dipikirannya, silir kembali memanggilnya.

Alvan bangkit dari duduknya, berjalan meninggalkan pojok sel yang sejak kemarin malam menjadi tempatnya untuk termenung.

Saat Alvan melangkahkan kakinya diluar sel, ia melihat Bi Inah sedang menunggu di meja besuk. Raut wajahnya masih sama dengan kemarin malam. Raut wajah orang tua yang mencemaskan keadaan anaknya.

"Apa kabar bi?" sapa Alvan seraya duduk dihadapan Bi Inah.

"Harusnya bibi yang bertanya, bagaimana kabar Aden?" kata Bi Inah balik bertanya. Sejenak Alvan tersenyum.

"Alvan baik," jawab Alvan. Bi Inah terlihat menghela nafasnya.

"Bibi bawa makanan kesukaan Den Alvan. Aden makan dulu ya," kata Bi Inah seraya membuka rantang yang ia bawa.

Rantang itu terdiri dari empat tingkatan. Tingkat paling bawah berisi sayur asam, tingkatan diatasnya berisi tumis kangkung, tingkatan diatasnya lagi berisi sambal, tahu dan tempe goreng, dan tingkatan terakhir yang terletak berisi nasi yang masih hangat.

Tidak banyak yang tau, Alvan Gildan Devar, anak dari seorang pengusaha kaya raya menyukai makanan sesederhana itu. Bukan makanan yang berasal dari restaurant cepat saji.

Bagi Alvan, masakan Bi Inah itu memiliki rasa khas tersendiri, apalagi sayur asamnya, baru di buka dari rantang saja aromanya sudah enak. Lalu bagaimana dengan masakan Mamanya? Entahlah ... Alvan sendiri tidak tau bagaimana rasa masakan Mamanya, bahkan ia lupa kapan terakhir kali makan masakan mamanya. Atau mungkin dia tidak pernah memakan masakan dari Mamanya, selama ini Mamanya terlalu sibuk, tidak ada waktu membuatkan makanan untuk Alvan.

Alvan mengambil satu sendok kuah sayur asam buatan Bi Inah, lalu menyeruputnya. Rasanya tidak hambar seperti sarapan di sel tadi. Atau mungkin karena adanya Bi Inah? Kemungkinan itu bisa jadi benar, karena selama ini memang Bi Inah yang memberikan rasa untuk hidupnya, dan menjadikan hidupnya sedikit berarti.

Alvan memakan sayur asam itu dengan lahap.

"Bibi kesini atas perintah Papa atau Mama?" tanya Alvan setelah menyuapkan satu sendok terakhir sayur asam buatan Bi Inah.

"Bukan atas perintah siapa-siapa, bibi kesini karena rencana bibi sendiri. Tidak masalah jika nanti bapak atau ibu akan memarahi bibi, yang terpenting bibi bisa memastikan kalau Den Alvan baik-baik saja," jawab Bi Inah.

Alvan tertegun mendengar jawaban Bi Inah, ia meletakkan sendok yang sedari tadi ia gunakan untuk makan sayur asam. Semua itu berbanding terbalik dengan orang tuanya. Mamanya tidak bisa berbuat banyak hal, sedangkan Papanya menginginkan ia untuk di tahan lebih lama.

"Kenapa bibi mau melakukan ini untuk Alvan?" tanya Alvan. Sejenak Bi Inah menarik nafasnya.

"Bibi hanya tidak mau Den Alvan ada di tempat ini. Bibi yakin Den Alvan itu tidak bersalah. Bibi udah lama mengenal Den Alvan. Dan bibi juga tau Den Alvan itu anak yang baik. Tapi bibi tidak bisa melakukan apa-apa Den," kata Bi Inah. Sejenak Alvan tersenyum.

"Apa yang bibi lakukan itu lebih dari cukup untuk Alvan. Alvan berterimaksih sama bibi, karena sampaui detik ini bibi masih mau menemani dan mendukung Alvan," kata Alvan. Bi Inah terdiam.

"Seharusnya semua itu diemban oleh orang tua Alvan. Tapi mau bagaimana lagi, orang tua Alvan terlalu sibuk dengan urusannya sendiri," lanjut Alvan.

"Apa tadi Ibu datang kesini Den?" tanya Bi Inah. Alvan hanya menganggukkan kepalanya.

"Bibi udah berusaha untuk menghubungi bapak dan ibu, tetapi nomor ibu baru bisa dihubungi tadi pagi," kata Bi Inah.

"Bukankah Alvan udah bilang, agar bibi tidak menghubungi Papa dan Mama, biar mereka aja yang menghubungi bibi," jawab Alvan.

"Bibi tidak sabar menunggunya Den," jawab Bi Inah. Alvan hanya menghela nafasnya.

"Terus, bagaimana kata Ibu? Ibu akan membebaskan Den Alvan kan?" tanya Bi Inah.

"Alvan enggak tau Bi," jawab Alvan. Bi Inah kembali menghela nafasnya.

Tidak terasa jam kunjungan telah habis, Alvan pun diminta untuk kembali ke sel. Dan Bi Inah pun pamit pulang.

Alvan pun kembali dimasukkan kedalam sel, bapak-bapak penghuni sel yang Alvan tempati tidak memberikan komentar apapun.

Tiba-tiba terdengar keramaian dari lorong sel. Salah seorang sipir membuka kunci sel yang Alvan tempati, lalu memasukkan sembilan orang kedalam. Alvan memperhatikan satu persatu orang kesembilan orang itu. Ia merasa tidak asing. Dan benar saja ini adalah Arkan dan teman-temannya.

Alvan tidak menanggapinya. Ia memilih untuk kembali duduk dipojok sel. Arkan terlihat berjalan mendekatinya, lalu duduk disampingnya. Suasana dalam sel lengang sejenak, tidak ada percakapan diantara mereka meskipun mereka duduk berdekatan.

"Van, gue mau minta maaf sama lo," kata Arkan memulai pembicaraan.

"Minta maaf untuk apa?" tanya Alvan.

"Gue minta maaf. Karena gue, lo jadi seperti ini," kata Arkan. Alvan hanya menganggukkan kepalanya.

"Dan soal obat terlarang itu, sebenernya gue yang masukin kedalam tas lo," kata Arkan. Alvan mengernyitkan dahinya.

"Lo gila! Atas dasar apa lo masukin obat itu ke tas gue!" kata Alvan. Arkan terdiam.

"Dan sekarang lo tau apa akibatnya! Papa gue marah besar ke gue. Gue harus menebus kesalahan yang enggak gue lakukan!" kata Alvan lagi.

"Iya, gue sadar gue salah. Karena itu gue minta maaf sama lo," kata Arkan.

"Gue enggak habis pikir sama lo. Lo tega melakukan semua ini ke gue. Gue kira lo itu teman yang baik Arka, tapi ternyata gue salah!" jawab Alvan. Arkan hanya terdiam.

Pengakuan Arkan memang mengejutkan. Alvan tidak menyangka ternyata Arkan tega melakukan semua itu padanya.

Bersambung.................. 

GEDUNG BERDASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang