Lembaran kertas menumpuk di meja, laptop tidak pernah lagi ia buka. Ada sedikit debu yang menyelimuti. Jangankan untuk memegangnya, melihatnya saja Alvan sudah malas. Semangatnya telah hilang. Seseorang telah mematahkan semangatnya itu.
"Foto kopi satu lembar," kata seseorang seraya menyodorkan selembar kertas.
Iya. Saat ini Alvan bekerja sebagai tukang foto kopi yang letaknya tidak jauh dari Universitas Merdeka. Di tempat itu pula, Alvan tidur dan makan. Foto kopi yang merangkap ruko itu sudah tiga tahun menjadi tempat tinggal Alvan.
Alvan meletakan buku yang sedari tadi ia baca. Iya, setelah kejadian beberapa bulan yang lalu, yang membuat semangatnya hilang, ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk membaca novel. Ia tidak lagi peduli dengan garapan skripsinya yang mangkrak. Yang membutanya harus terlambat lulus kuliah. Padahal Alvan termasuk mahasiswa yang berprestasi, ia banyak mengikuti organisasi kemahasiswaan. Dengan ketampanan dan kepintaran yang Alvan miliki membuatnya banyak di kagumi oleh orang-orang, termasuk dosennya. Banyak mahasiswa yang jatuh cinta padanya, tatapi Alvan terlalu cuek untuk urusan yang seperti itu. Hatinya masih ia pertahankan untuk Laura. Namun sayangnya, orang yang sedang ia pertahankan, memberikan hatinya untuk orang lain.
Kejadian itu terjadi tiga bulan yang lalu, saat Alvan baru menyelesaikan satu bab skripsinya. Hari itu, Alvan ada jadwal untuk bertemu dosen pembimbingnya.
Pagi-pagi sekali Alvan sudah bersiap-siap untuk berangkat kekampus. Ia sudah siap untuk mempresentasikan hasil riset di bab pertamanya. Saat itu Alvan memang terkenal sebagai penulis karya ilmiah terbaik di kampusnya. Banyak karya ilmiahya yang sudah diterbitkan secara nasional. Semua karya ilmiahnya didukung oleh bukti yang akurat. Tetapi semua berubah saat Laura yang sempat menghilang kembali muncul di dalam hidupnya.
"Skipsi lo jadi direkomendasikan untuk diterbitkan Van?" tanya Alden.
"Do'akan saja Al," jawab Alvan.
"Gue masih penasaran aja, bagaimana cara lo membuat skripsi sebagus itu, secara udah banyak karya ilmiah yang lo hasilkan, dari mana lo bisa dapat ide untuk membuat semua karya ilmiah lo itu," kata Alden.
"Lo itu berlebihan Van, semua orang itu bisa membuat karya ilmiah seperti punya gue ini," jawab Alvan.
"Enggak juga, buktinya judul skripsi gue di tolak berkali-kali, bab satu punya gue juga banyak yang di coret sama dosen pembimbing gue," kata Alden.
"Makannya banyak-banyak baca buku, biar punya referensi yang akurat," jawab Alvan seraya menyambar tasnya, dan berlalu pergi. Setelah berjalan beberapa menit, Alvan akhirnya sampai di kampus. Ia sampai di kampus tiga puluh menit sebelum bimbingan skripsi di mulai.
"Hallo Van," sapa seseorang. Alvan yang sedari tadi asyik melihat pemandangan dari lantai atas, langsung balij badan untuk melihat siapa yang memanggilnya. Orang itu terlihat mengulurkan tangannya, seraya mengajak Alvan untuk bersalaman. Alvan menerima uluran tangan orang itu, lalu menjabatnya dengan semangat. Orang itu adalah Pak Panji, dosen pembimbing skripsinya.
"Selamat pagi Van, bagaimana kabarnya?" tanya Pak Panji.
"Baik pak," jawab Alvan seraya tersenyum.
"Sudah siap untuk bimbingan hari ini?" tanya Pak Panji.
"Siap pak," jawab Alvan dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya.
Alvan di pandu oleh Pak Panji untuk masuk ke ruangannya. Meskipun Alvan sudah biasa membuat karya tulis semacam karya ilmiah, tetap saja ia masih merasakan panas dingin yang tidak karuan. Jantungnya serasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Alvan menyerahkan lembaran kertas yang sudah ia susun rapi kepada Pak Panji. Pak Panji membuka, lalu memeriksa lembar demi lembar kertas itu.
Lembar pertama tidak ada komentar, lembar kedua pun tidak ada komentar, begitupun dengan lembar berikutnya sampai di lembar terakhir, Pak Panji tidak memberikan komentar apapun.
"Bagus Van, Bapak suka dengan konsep yang kamu bawa," kata Pak Panji seraya tersenyum. Alvan menghela nafasnya dengan lega.
"Silakan kamu lanjut bab berikutnya," kata Pak Panji. Alvan menganggukkan kepalanya.
"Bapak mau bab kamu yang selanjutnya lebih menarik. Bapak yakin kamu pasti bisa, karena Bapak sudah banyak membaca karya kamu yang sudah di terbitkan di media nasional," kata Pak Panji. Alvan kembali menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. Setelah bimbingan selesai, Alvan pun langsung pamit.
"Van, bagaimana bimbingan lo," kata Alden yang tiba-tiba muncul dari belakang yang langsung merangkulnya, bahkan Alvan hampir terjatuh.
"Lancar," jawab Alvan singkat.
"Lihat punya gue," kata Alden, seraya menunjukkan lembaran kertas skripsinya yang penuh dengan kata mutiara dari dosen pembimbingnya. Alvan hanya menggelengkan kepalanya.
"Enggak tau lagi gue, apa mau itu dosen," kata Alden.
"Iya tanya aja maunya bagaimana?" jawab Alvan. Alden hanya menghela nafasnya.
"Saran gue lebih baik lo ikuti arahan dari dosen pembimbing lo, kalau mau skripsi lo cepat beres," kata Alvan.
"Udah gue ikuti semua saran dari dosen pembimbing gue, tapi lo lihat hasilnya, di kasih kata mutiara segini banyaknya," jawab Alden seraya menunjukkan lembaran skripsinya. Alvan tidak menjawabnya, ia langsung berlari meninggalkan Alden yang sedang mengoceh, mencurahkan segala isi hatinya.
"Van, lo mau kemana?" tanya Alden, dengan nada berteriak. Tetapi Alvan mengabaikannya, ia terus berlari, seperti hendak mengejar kembali semangatnya yang hilang. Alvan berlari menghampiri sosok Laura.
"Ra," kata Alvan. Sosok itu menoleh.
"Lo kemana aja Ra, gue kangen sama lo," kata Alvan.
"Lo siapa?" tanya Laura.
"Gue Alvan, pacar lo, masa lo lupa sama pacar sendiri," jawab Alvan.
"Dia pacar gue," kata Laura seraya menunjuk seorang laki-laki yang sedari tadi mengobrol dengan Laura.
Sejenak Alvan mengamati laki-laki itu. Cara laki-laki itu bersikap kepada Laura sangat meyakinkan, kalau laki-laki itu adalah pacar Laura. Bahkan mereka berdua tidak sungkan memamerkan kemesraannya di depan Alvan.
"Lo lupa sama gue Ra? Gue ini pacar lo, bukan dia," kata Alvan.
"Sorry, gue enggak kenal sama lo," jawab Laura, lalu pergi meninggalkan Alvan. Alvan terduduk lesu.
"Jadi itu yang namanya Laura? Yang katanya pacar lo sejak SMA?" tanya Alden yang tiba-tiba datang. Alvan hanua menganggukkan kepalanya.
"Bukannya dia pacarnya Seno ya?" kata Alden.
"Seno siapa?" tanya Alvan.
"Iya itu, laki-laki yang tadi bersama Laura, namanya Seno. Bahkan mereka berdua udah pacaran lama, sejak awal masuk kampus ini," jawab Alden.
"Kata siapa lo?" tanya Alvan.
"Semua mahasiswa di kampus ini juga tau Van, mereka itu pasangan yang viral, masa lo enggak tau," jawab Alden.
Alvan hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak tau menau soal itu, bahkan ia pun tidak tau kalau Laura juga kuliah di kampus ini. Pantas saja selama ini Laura sulit dihubungi, ternyata ia sudah memiliki pacara baru. Dan soal sikap Laura yang tadi, Alvan pun tidak tau, apakah ia benar-benar lupa dengan Alvan, atau pura-pura lupa dengan Alvan. Hal itulah yang membuat semangatnya hilang, yang mengakibatkan skripsinya mangkrak sampai sekarang.
*
Setelah selesai difoto kopi, Alvan menyerahkan kertas itu kepada Alden. Alden menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu untuk membayarnya.
"Lo gila ya, foto kopi cuma satu lembar, uangnya segini," kata Alvan.
"Gue enggak ada uang receh Van," jawab Alden.
"Yaudahlah bawa aja uang dan fotokopinya," kata Alvan.
"Iya, sebenarnya gue sengaja ngasih lo uang lima puluh ribu, biar jadinya enggak disuruh bayar," jawab Alden yang dengan kilat menyambar kertas fotokopi, dan berlalu pergi. Tawanya terdengar lepas di ujung jalan, seolah seperti telah memenangkan suatu pertandingan.
Bersambung.......
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...