Pagi ini Alvan bersiap-siap untuk ke kampus, untuk melaporkan hasil kerjanya semalam kepada dosen pembimbingnya. Enaknya kerja sebagai seorang penjaga fotokopi adalah disaat-saat terdesak seperti sekarang, Alvan bisa memanfaatkan mesin printernya tanpa harus pergi kemana-kemana.
Setelah menempuh perjalanan lima belas menit dengan berjalan kaki. Alvan pun sampai di kampus. Alvan duduk sejenak untuk menghilangkan dahaganya setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.
"Udah disini aja lo, Van," kata Alden yang tiba-tiba sudah muncul dihadapannya sesaat setelah Alvan menenggak minumannya.
"Kenapa lo kusut gitu?" tanya Alvan.
"Habis bimbingan, dicoret lagi punya gue," jawab Alden seraya menunjukkan skripsinya yang penuh dengan coretan.
Alvan tidak memberikan komentar apapun terkait skripsi Alden yang penuh dengan coretan. Sejenak ia hanya menghela nafasnya, lalu menyodorkan sebotol air mineral.
Sejenak tidak ada obrolan diantara mereka. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Alvan memandang gedung kampus yang menjulang tinggi. Berdiri kokoh dan menampung ratusan orang yang sedang menggantungkan hidup padanya, tentang kehidupan yang layak dan pekerjaan yang enak.
Jika diperhatikan dengan seksama, gedung itu nampak seperti gedung yang berdasi. Selayaknya orang-orang yang menyandang gelar pekerjaan enak sehingga mendapatkan kehidupan yang layak. Sekilas gedung itu nampak tersenyum. Dan Alvan pun tersenyum. Dan Alvan pun terhanyut dalam percapakan antara dia dan gedung berdasi itu di dalam hatinya.
"Sampai kapan kamu akan berdiri kokoh seperti itu?" tanya Alvan.
"Mungkin sampai tidak ada lagi orang yang mau duduk denganku untuk mencari ilmu pengetahuan,"jawabnya.
"Oh... jadi kamu ladangnya pengetahuan? Lantas apa yang kamu ketahui tentang keadaan disekelilingmu?" tanya Alvan.
"Aku banya mengetahui niat dan tujuan mereka menghabiskan waktu empat tahun bersamaku," jawabnya.
"Apa yang mereka tuju dengan menghabiskan empat tahun bersamamu?" tanya Alvan.
Sekilas dia nampak tersenyum. "Ada tiga niat dan tujuan yang aku ketahui. Pertama, ada yang benar-benar ingin menggali pengetahuanku. Kedua, ada yang hanya sekedar menghabiskan masa mudanya, dan yang ketiga, ada yang hanya sekedar ingin membuat orang tuanya bangga," jawabnya.
"Apa hanya itu niat dan tujuan yang kamu ketahui dari mereka?" tanya Alvan.
Seketika senyum itu menghilang dan berubah menjadi muram. Sekilas nampak raut ketakutan disana.
"Salahkah? Mengapa wajahmu seketika berubah menjadi seperti langit yang mau hujan?" tanya Alvan.
Nampak dengan wajah yang berat, ia mengungkapkan rasa takutnya. "Banyak hal yang membuatku takut. Aku tau banyak diantara mereka yang setia duduk bersamaku empat tahun hanya untuk mengharapkan posisi kehidupan yang layak disisa hidupnya. Kebanyakan dari mereka telah lupa, bahwa aku hanyalah sekedar perantara untuk menemukan, bukan yang berhak menentukan sebuah keinginan," jelasnya.
Alvan hanya menganggukkan kepalanya.
"Aku bersedih ketika ketika melihat salah satu dari mereka yang setia bersamaku selama empat tahu, namun ketika dia terjun bebas kedalam kehidupannya, dia sama sekali tidak mendapatkan posisi yang diinginkannya, seperti halnya kehidupan layak dan pekerjaan yang enak. Mereka semua kecewa padaku, dan mereka semua akan meyalahkanku," lanjutnya.
Sontak ia terdiam dan merenung, melihatnya terdiam, Alvan ikut merasakan apa yang dia rasakan.
"Wahai gedung, memang benar kaulah perantara untuk mencapai semua yang menjadi keinginan mereka yang setia duduk bersamamu selama empat tahun. Tapi bukan salahmu jika mereka telah gagal dalam kehidupannya setelah bersamamu selama empat tahun. Melainkan salah mereka yang telah menggantungkan takdir mereka kepadamu. Karena mereka telah lupa bahwa kamu hanya sekedar perantara bukan pemecah sebuah perkara," jelas Alvan
Dia masih termenung.
"Teruslah berdiri kokoh dan tetaplah menjadi ladang pengetahuan bagi yang membutuhkan, perkara takdir bukanlah tugasmu, melainkan tugas Tuhanmu," lanjut Alvan.
Gedung itu pun kembali tersenyum. Rona kebahagiaan kembali muncul, rasa takutnya mungkin sedikit menghilang.
*
"Van," panggil Alden membuyarkan lamunannya. Alvan yang sedari tadi memandang gedung dihadapannya pun sontak menoleh kearah Alden.
"Lo kenapa sih?" tanya Alden. Alvan hanya tersenyum.
"Dari tadi lo gak dengerin gue ngomong ya?" tanya Alden. Alvan hanya terkekeh, sementara Alden mendengus kesal.
"Kayak cewek lo, Al. Dikit-dikit ngambek," kata Alvan.
"Gue udah cerita panjang lebar, Van. Dan lo gak dengerin gue," jawab Alden.
"Lo coba liat gedung itu," kata Alvan mengalihkan pembicaraan. Alden memandang ke arah gedung yang ditunjuk Alvan.
"Apa yang lo pikir, saat lo liat gedung itu?" tanya Alvan.
"Tinggi, berdiri kokoh," jawab Alden.
"Dan lo tau, gedung itu memiliki ketakutan yang besar," kata Alvan.Alden mengernyitkan dahinya.
"Takut kenapa? Bukankan dia sudah dibangun dengan kokoh? Saat diterjang hujan badai aja, dia masih mampu bertahan," kata Alden.
Sejenak Alvan mengangguk-anggukan kepalanya. "Apa tujuan lo kuliah?" tanya Alvan.
Sejenak Alden berpikir. "Untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang enak," jawab Alden.
"Selama empat tahun lo duduk di dalam gedung itu, hanya itu tujuan lo kuliah?" tanya Alvan lagi.
"Iya. Gue berharap setelah lulus kuliah, gue bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang enak. Lo kan tau sendiri keadaan keluarga gue seperti apa," jawab Alden.
"Kalo pada kenyataannya lo gak bisa mendapatkan semua posisi itu bagaimana?" tanya Alvan.
"Kecewa," jawab Alden singkat.
Alvan hanya mengernyitkan dahinya, lalu melihat ke arah gedung itu. Senyum yang semula mulai muncul, kini perlahan hilang kembali. "Kenapa?" akhirnya Alvan bertanya.
"Ya... karena kesetiaan gue selama empat tahun duduk di dalam gedung itu, sia-sia," jawab Alden.
Sejenak Alvan mengehela nafasnya. "Terus lo kecewa sama siapa? Gedung dan kuliah itu kan Cuma perantara, bukan penentu takdir lo," kata Alvan.
Alden terdiam. "Mumpung lo belum selesai kuliah, lebih baik sekarang lo luruskan dulu niat dan tujuan lo," kata Alvan. Alden masih terdiam.
"Yuadah. Udah waktunya gue buat ketemu sama Pak Panji. Do'ain langsung ACC, ya," kata Alvan seraya bangkit dari duduknya.
"Sukses, Van," kata Alden dengan nada sedikit berteriak.
Alvan hanya mengacunkan jempolnya ke belakang untuk menanggaoi perkadataan Alden.
Alvan tersenyum. Rupanya ketakutan yang dirasakan oleh gedung berdasi itu nyata adanya. Jika orang seperti Alden, yang sedari dulu sangat niat untuk kuliah, dan bahkan yang telah berhasil menyakinkannya untuk kuliah saja memiliki tujuan agar bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang enak selepas kuliah. Apa dengan mereka? Dan apa kabar dengan dirinya? Alvan hanya ingin membuktikan kepada papanya kalau dia mampu dan bisa, itu yang menjadi alasan Alvan untuk kuliah. Meski sempat hampir gagal ditengah jalan karena permasalahan dengan hatinya, akhirnya ia mampu bangkit dan melanjutkannya kembali.
Sambil berjalan pelan, Alvan menatap ke arah gedung itu. Nampaknya gedung itu masih muram. Alvan hanya berharap semangatnya bisa kembali tumbuh. Seperti semangatnya yang dulu pernah hilang, dan akhirnya kembali.
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...