GELANDANG JALANAN

2 1 0
                                    

Hari terus berjalan, Alvan pun beraktivitas seperti biasanya. Ia mengajar, dan menulis disela-sela kesibukannya mengajar. Sesekali Alvan pun menjemput Dyandra pulang dari kantor, karena memang jarak kantornya dengan tempat Alvan mengajar tidaklah jauh.

Hubungannya dengan Dyandra memang tidak pernah ia akui sebagai sepasang seorang kekasih, tetapi mereka saling memiliki komitmen satu dengan yang lainnya, yang senantiasa mereka pupuk setiap hari.

"Kak," panggil Dyandra, saat mereka sedang jalan-jalan malam di kota tua sepulang dari kerja.

"Iya, Ra," jawab Alvan seraya menoleh ke arah gadis yang kini berada disampingnya.

"Kakak gak ada niatan untuk kembali ke New York?" tanya Dyandra.

"Ada, tapi nunggu kakak dapat izin dulu dari Papa kamu, supaya kakak bisa ajak kamu kesana," jawab Alvan.

"Kenapa kakak mau ajak Dyandra?" tanya Dyandra.

"Ada satu tempat yang ingin kakak tunjukin ke kamu," jawab Alvan.

"Tempat apa kak?" tanya Dyandra lagi penasaran.

"Rahasia dong," jawab Alvan seraya terkekeh. Dyandra pun cemberut. Alvan pun mengacak-acak rambutnya.

"Kak, jangan tinggalin Dyandra lagi ya," kata Dyandra seraya memeluk Alvan.

"Enggak, Ra. Kakak janji kalo kakak akan pergi jauh, kakak akan bawa kamu bersama kakak, tapi syaratnya kakak harus dapat izin dulu dari papa kamu," jawab Alvan.

"Maksud kakak?" tanya Dyandra.

Sejenak Alvan menghentikan langkahnya, dan menatap lekat gadis yang kini berada dihadapannya itu. "Apa kamu mau menikah dengan kakak?" tanya Alvan.

Dyandra terkejut. Alvan merasakan pelukan Dyandra yang perlahan lepas dari tubuhnya.

"Kakak gak ada romantisnya sama sekali, masa ngajak Dyandra nikah di tengah jalanan kota tua seperti ini," jawab Dyandra.

Alvan terkekeh geli mendengar jawaban Dyandra.

"Yaudah besok kakak ulang lagi pertanyaannya ditempat yang lebih romantic, ya," kata Alvan.

"Gak usah," jawab Dyandra seraya kembali memeluknya dengan erat.

"Jadi gimana, Ra?" tanya Alvan lagi.

Dyandra hanya menganggukkan kepalaya seraya tenggelam dalam pelukannya.

Alvan tersenyum. Kini, langkah awalnya akan segera dimulai. Ada satu tanggung jawab lagi yang harus ia selesaikan, dan akan meyusul tanggung jawab yang lainnya. Alvan semakin giat bekerja. Dan semakin rajin menulis untuk dikirimkan ke beberapa media.

Setelah mengantar Dyandra pulang dan memastikan ia masuk ke rumah dengan aman, Alvan pun memutuskan untuk langsung kembali ke kontrakan kecilnya. Sesampainya di kontrakan, Alvan langsung menyalakan laptopanya dan mulai mengetik. Nampaknya banyak ide muncul dimalam ini, tentang banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari ini, yaitu tentang masalah politik.

Alvan berhasil menyelesaikan beberapa tulisan. Diataranya adalah tulisan tentang politik uang, tentang gejolak politik yang kian memanas menjelang pemilu, tentang calon presiden dan wakil presiden, dan salah satu yang paling menggelikan adalah tentang ditentukannya calon wakil presiden yang merupakan lawan politiknya dahulu, dan memiliki usia di bawah peraturan yang telah ditentukan. Kenapa bisa lolos? Entahlah, Alvan pun bingung. Diakhir tulisannya, Alvan pun memberikan nama penanya, Gelandang Jalanan. Iya, Gelandang Jalanan, adalah nama pena yang sudah Alvan pakai sejak pertama kali ia terjun ke dunia literasi.

Masih teringat jelas, saat dulu ia menaiki angkutan umum dalam perjalanannya ke kampus. Ada beberapa ibu-ibu yang membahas sedikit tentang tulisannya, yang mengkritik pemerintah saat itu. Alvan hanya tersenyum, sesekali tertawa geli, saat mendengar pembahasan ibu-ibu itu. Jelas saja, ibu-ibu tidak tahu jika penulis aslinya berada satu mobil dengannya. Alvan hanya tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Dan kini tulisannya tidak hanya dinikmati oleh ibu-ibu yang menaiki angkutan umum saja, tetapi juga orang-orang yang berada jauh di luar sana. Meskipun banyak dari mereka yang belum mengetahui, siapa sosok sebenarnya dari penulis Gelandang Jalanan itu.

Setelah dirasa cukup, ia pun mengirimnya ke beberapa media, dan nampaknya nasibnya masih bagus, semua mendia yang ia kirim tulisannya menerimanya dengan baik. Alvan bisa tidur nyenyak di malam yang hanya tersisa beberapa jam lagi ini, dan tidak sabar untuk bangun esok bagi dan melihat kejutannya apa yang akan terjadi.

Pagi-pagi sekali, Alvan dibangunkan oleh suara notifikasi di ponselnya.

"Mas, tulisan kamu sudah kami terbitkan ya, silakan nanti di cek di link yang saya kirim, dan kami juga menerbitkannya di beberapa media cetak," jelasnya.

Sejenak Alvan tersenyum. "Oke, nanti saya cek," balas Alvan.

Alvan pun bergegas untuk mandi, karena hari ini ia ada kelas pagi. Semangatnya pun kembali penuh, saat ia juga menerima beberapa notif pesan yang menerangkan bahwa tulisannya sudah terbit di pagi hari ini.

Pagi ini, Alvan ke kampus dengan menaiki kendaraan umum, sudah lama ia tidak naik kendaraan umum, karena biasanya ia lebih sering menggunakan ojek online. Dan kali ini, ia ingin merasakan kembali moment itu.

"Van, tulisan lo kayaknya bakalan meledak pagi hari ini, banyak pembaca yang respon, dan mendukung argument lo," jelas salah seorang penerbit lewat pesan yang ia kirim.

"Iya, gue nunggu respon orang-orang pusat," balas Alvan dengan emot tertawa setelahnya.

"Gila, lo," jawabnya.

"Gue dari tadi asyik nyimak obrolan ibu-ibu tentang tulisan gue di angkutan umum, dan lucunya mereka itu tidak terlalu peduli dengan tulisan gue, tapi mereka malah penasaran dengan sosok asli penulis Gelandang Jalanan," jelas Alvan dengan emot tertawa setelahnya.

"Kayaknya lo emang harus nunjukin diri lo yang sebenarnya deh,"jawabnya.

"Nanti gue bakal nunjukin diri, kalo gue udah dapat respon dari orang pusat," balas Alvan dengan emot tertawa lagi setelahnya.

"Mas, Mas," panggil salah seorang ibu, saat Alvan masih khusyuk dengan ponselnya, dan ia pun segera mengakhiri obrolannya dengan penerbit itu.

"Iya, Bu," jawab Alvan seraya menoleh kearah Ibu itu, dan ia pun tidak lupa tersenyum.

"Sudah baca berita ini belum, Mas?" tanya ibu itu seraya menyodorkan Koran yang sedari tadi ia pegang.

Alvan hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

"Yang nulis ini sedikit ngawur, tapi masuk akal juga, saya jadi penasaran dengan yang bikin tulisan ini," kata Ibu itu.

"Penasaran bagaimana, Bu?" tanya Alvan.

"Penasaran, ya pingin tau siapa orang hebat di balik tulisan ini," jawabnya.

"Soalnya ya, Mas. Saya membaca tulisan orang ini sejak pertama kali muncul di Koran, tulisannya emang ngawur, dan tetap masuk akal," sahut Ibu yang lain.

"Saya yang dulu tidak suka membaca aja, sekarang suka membaca," sahut Ibu yang lainnya lagi.

Alvan terdiam, ia tidak mampu berkata-kata lagi, ternyata dampak tulisannya itu sungguh besar bagi kehidupan orang-orang diluar sana. Memang benar, apa yang ia lakukan dengan hati, pasti akan sampai ke hati pula. Ternyata seperti ini rasanya, menjadi seseorang yang lebih dihargai keberadaannya. Awalnya ia menulis hanya karena rasa sepi di hatinya, saat Papa dan Mamanya yang selalu sibuk bekerja, dan tidak pernah menghargai keberadaannya.

Dan sekarang satu hal yang baru ia sadari, ternyata banyak orang yang menyayanginya. Ia berhasil membuka hati banyak orang, tapi kenapa tidak dengan hati Papa dan Mamanya? Apakah segila itu mereka dengan pekerjaannya? Sampai mereka lupa dengan anak semata wayangnya. Tanpa sengaja, matanya berkaca-kaca, bulir itu hendak jatuh, tapi Alvan mampu menahannya.

"Ada apa, Mas?" tanya salah seorang Ibu.

"Gak papa, Bu," jawab Alvan, lalu memutuskan untuk langsung turun dari angkutan umum, meskipun ia belum sampai di tempat tujuan.

Bersambung.....

GEDUNG BERDASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang