Hari berganti, malam pun datang. Pemandangan malam di kota Herpers Ferry sungguh indah. Langitnya cerah, dengan gemerlapnya bintang mendabah keindahan di malam itu. Alvan mengambil ponselnya yang sedari tadi ia letakkan di atas nakas. Belum ada balasan dari Dyandra. Iya. Mungkin Dyandra masih sibuk. Pesan yang ia kirim masih ceklis satu.
Malam di kota Herpers Ferry memberinya sedikit ketenangan, ditambah lagi dengan adanya kehangatan dari keluarga Andrew, membuat Alvan sejenak melupakan apa yang sedari tadi membuatnya gelisah. Iya. Alvan memikirkan tentang masa depannya, tentang kelanjutan hidupnya di negeri orang, ia tidak akan mungkin akan menumpang terus seperti ini. Ia harus segera mendapatkan pekerjaan. Tapi pekerjaan apa? Ia hanya mengehela nafasnya dalam-dalam.
"Tinggggg.....," terdengar notif pesan dari ponsel yang sejak tadi ia abaikan. Alvan bergegas memeriksanya.
"Iya, gak papa, Kak," tulis seseorang dalam pesan yang diterima Alvan. Iya. Itu adalah balasan pesan dari Dyandra, balasan pesan yang sedari tadi ia tunggu.
Setelah membaca pesan itu, Alvan kembali meletakkan ponselnya di tempat awal. Ia hanya membaca balasan pesan itu, tanpa memberinya balasan pesan lagi. Kali ini, Alvan memilih untuk meninggalkan segala hal yang membuat pikirannya semakin kalut. Alvan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja akan Dyandra tanyakan kepadanya. Bukan karena apa-apa, Alvan hanya bingung akan menjawab apa.
Alvan hanya duduk terdiam, seraya mengacak-acak rambutnya sendiri, rasanya ingin berteriak. Tapi ia sadar kalau posisinya sedang tidak tepat. Jika ia benar berteriak, pasti akan mengganggu seluruh isi rumah.
"Kamu kenapa, Van?" tanya Andrew saat tau Alvan sedang mengacak-acak rambutnya sendiri.
Alvan yang baru menyadari kehadiran Andrew pun hanya tersenyum. Dan Andrew pun ikut tersenyum.
"Ayo ikut jalan-jalan, Van," ajak Andrew.
"Kemana?" tanya Andrew.
"Ke sekitar ini saja, biar kamu juga bisa tau keindahan kota ini kalau malam," jelas Andrew.
"Gaklah, Ndrew, Aku dirumah aja," jawab Alvan.
"Kenapa?" tanya Andrew.
Alvan terdiam. "Kamu sedang ada masalah, Van?" tanya Andrew seraya berjalan menghampiri Andrew.
Sejenak Alvan menghela nafasnya dalam-dalam. "Aku bingung, Ndrew," jawab Alvan.
"Bingung kenapa?" tanya Andrew.
"Bingung, bagaimana caranya Aku bisa bertahan hidup di Negara ini?" kata Alvan.
Andrew terdiam, seolah ia membiarkan Alvan untuk menceritakan segala kegundahan dihatinya terlebih dahulu.
"Aku ingin bekerja, tapi aku bingung mulai gimana? Dan aku juga bingung bisa kerja apa? Sementara Aku mahasiswa yang selalu pulang menjelang malam. Apa ad abos yang menerima aku bekerja?" tanya Alvan.
"Ada," jawab Andrew singkat.
"Siapa?" tanya Alvan lagi.
"Diri kamu sendiri, Van," jawab Andrew.
Alvan hanya mengernyitkan dahinya. Ia bingung, tak tahu apa yang Andrew maksud.
"Kamu yang menciptakan pekerjaan itu sendiri, dan kamu juga yang akan menentukan jam kerja kamu sendiri," kata Andrew.
"Emang ada? Perusahaan macam apa itu?" tanya Alvan.
"Ada, itu adalah perusahaan yang akan kamu ciptakan sendiri," jawab Andrew.
"Maksudnya apa sih, Ndrew," kata Alvan.
"Aku pernah membaca artikel di meja belajar kamu. Itu tulisan yang bagus, Van. Kenapa kamu tidak mencoba mengirimkannya ke penerbit? Jika ada penerbit yang menerima, kamu bisa mendapat penghasilan dari situ," jelas Andrew.
Alvan terdiam. "Memang prosesnya tidak mudah. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu mau mencobanya," lanjut Andrew.
Alvan masih terdiam. "Sudah. Ayo ikut jalan-jalan. Supaya kamu bisa dapat ide-ide baru untuk tulisan kamu," ajak Andrew.
Alvan hanya mengangguk. Lalu bangkit dari duduknya, dan berangkat jalan-jalan bersama Andrew.
Mereka berjalan-jalan dengan mengunjungi tempat dengan pemandangan indah di malam hari. Andrew juga sedikit menceritakan kisah tentang tempat itu. Sesekali Alvan mempotret dan mencatat apa yang Andrew ceritakan ke dalam note yang ada di ponselnya. Alvan berecana akan memuat informasi yang ia dapatkan di hari ini dalam sebuah tulisan.
Hampir tiga jam mereka mengekplore salah satu tempat yang ada di kota Hereprs Ferry. Saat dirasa sudah mulai lelah, dan udara semakin dingin, mereka pun memutuskan untuk pulang.
Selama liburan, Alvan menghabiskan waktu untuk mengeksplore kota itu. Ada banyak hal baru yang ia temukan, Alvan juga memiliki ide-ide baru yang akan ia jadikan bahan tulisan. Hingga tanpa terasa, satu bulan telah berlalu. Alvan memutuskan untuk kembali ke asrama. Ia tidak nyaman jika terus berada di rumah Andrew. Selain itu, ia juga memiliki rencana, untuk segera menuliskan ide baru yang ia dapatkan, agar tidak lupa.
"Kamu serius mau kembali ke asrama sekarang?" tanya Andrew meyakinkan.
Sejenak Alvan mengangguk seraya tersenyum. "Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, Ndrew. Jadi aku tidak bisa berlama-lama disini," jawab Alvan.
"Baiklah, jika itu maumu. Aku akan mengantarmu besok," kata Andrew.
"Gak perlu, Ndrew. Aku bisa sendiri kok," jawab Alvan.
"Apa kamu yakin?" tanya Andrew.
Alvan mengangguk seraya tersenyum.
Keesokan harinya, setelah sarapan Alvan pun memutuskan untuk kembali ke asrama. Setelah berpamitan dengan orang tua Andrew, Alvan pun beranjak pergi dari rumah Andrew. Berkali-kali Andrew menawarkan diri untuk mengantarnya, tetapi Alvan tetap menolaknya.
Disepanjang perjalanannya, perhatiannya hanya berfokus kepada pemandangan yang ada di pinggir jalan. Alvan kembali ke asrama dengan menaiki kendaraan umum. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit hingga akhirnya ia pun sampai di asrama.
Sejenak Alvan menghela nafasnya. Ia menatap gedung yang sudah satu tahun ia tempati. Ia melangkah menuju pintu, dan ia pun masuk. Sejenak ia melepas lelah dengan merebahkan tubuh dikasur beberapa menit. Setelah itu, ia pun memutuskan untuk beres-beres. Banyak debu yang menempel dibeberapa barang, ada juga sarang laba-laba di beberapa sudut. Setelah semua dirasa bersih, ia pun membuka laptopnya. Jemarinya mulai menari diatas keyboard. Alvan menuangkan segala gagasannya yang ia dapatkan selama satu bulan berlibur di Herpers Ferry. Alvan mulai mengetik, lalu menghapusnya. Mengetik, lalu mengahapusnya. Berkali-kali ia seperti itu, sampai ia menemukan kalimat yang tepat.
Hampir dua jam Alvan bergelut dengan laptopnya. Satu artikel pun berhasil ia tulis. Alvan membacanya kembali, sambil memeriksa jika ada kesalahan. Setelah dirasa sudah baik, Alvan pun mencoba mengirim artikel tersebut kepada tim jurnal kampus. Alvan mendapat respon yang baik, tulisannya akan di muat di madding kampus. Awal yang baik bagi seorang Alvan.
Alvan pun semakin sering menulis artikel. Alvan memanfaatkan waktu liburnya untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Hingga akhirnya ia berani menawarkan tulisannya ke penerbit lokal yang ada disana. Hanya saja rezekinya belum baik. Tulisan Alvan berkali-kali di tolak. Tidak hanya satu atau dua penerbit, tapi semua penerbit yang sudah Alvan hubungi menolak tulisannya.
Menulis memang pekerjaan yang fleksibel. Alvan bisa melakukannya kapanpun ia mau. Hanya saja dengan ditolaknya artikelnya oleh semua penerbit, membuat Alava mulai pesimis. Ia tidak yakin bisa menciptakan perusahaannya sendiri, dengan jam kerjanya sendiri. Sekarang nasibnya sudah diujung tanduk. Ia semakin kalut, hidupnya kembali berantakan.
Bersambung........
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...