"Lo mau sampai kapan kayak gini terus Van?" tanya Alden. Alvan terdiam, ia masih fokus dengan novel yang sedari tadi ia baca.
"Lo enggak mau selesaikan skripsi lo?" tanya Alden. Alvan masih terdiam, ia masih sibuk dengan bukunya.
"Memangnya lo enggak mau wisuda bareng teman-teman yang lain?" tanya Alden. Alvan masih saja diam..
"Lo dengerin gue ngomong enggak sih!" kata Alden dengan nada yang sedikit kesal, seraya merebut novel yang sedari tadi Alvan baca.
"Lo apaan sih Al!" jawab Alvan dengan nada berteriak seraya merebut kembali novelnya dari tangan Alden.
"Kayak cewek lo Van, baperan banget sih," kata Alden. Alvan kembali terdiam. Alden yang sedari tadi hanya berdiri, langsung duduk di samping Alvan.
"Sorry kalau gue berlebihan, gue cuma enggak ingin lo kayak gini terus, perjalanan lo itu masih panjang Van, jangan hanya karena cewek hidup lo jadi berantakan gini, gue ingin lo fokus lagi dengan tujuan awal lo," kata Alden.
Sejenak Alvan menghela nafasnya, bangkit dari duduknya, berjalan mengambil tasnya, lalu memasukkan novelnya.
"Ikut gue Al," kata Alvan.
"Kemana?" tanya Alden.
"Udah ikut aja, jangan banyak tanya," jawab Alvan lalu melangkah keluar ruko. Alvan masih terdiam, ia bingung.
"Lo mau ikut, atau mau gue kunci disini?" tanya Alvan dengan nada yang penuh ancaman. Alden pun bergegas keluar, sebelum Alvan menguncinya didalam ruko yang menyedihkan ini.
Alvan dan Alden pergi dengan berjalan kaki, sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara mereka. Mereka berdua saling diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Langkah mereka terhenti saat sampai di depan bangunan megah dengan arsitektur yang seperti bangunan di zaman dulu.
"Mau ngapain disini?" tanya Alden. Alvan tidak menjawabya, ia langsung saja melangkahkan kakinya untuk masuk, meninggalkan Alden dengan berbagai pertanyaan yang muncul di kepalanya. Sebuah pertanyaan tanpa jawaban.
Bangunan itu adalah perpustakaan yang terletak di pusat kota. Alvan menyusuri koridor perpustakaan itu yang di batasi oleh rak-rak buku yang menjulang tinggi, dengan berbagai macam buku dengan berbagai judul yang tersusun rapi.
"Lo mau cari buku untuk selesaikan skripsi lo?" tanya Alden. Alvan masih diam, matanya begitu awas mengamati deretan buku yang tersusun rapi.
"Van," panggil Alden. Alvan masih saja diam. Sementara Alden mendengus kesal. Minatnya tertarik pada sebuah buku, saat Alvan hendak mengambil buku itu dari rak, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Apaan sih Al," kata Alvan.
"Alvan," kata orang itu. Alvan mengurungkan niatnya untuk mengambil buku, ia mengingat-ingat suara yang tadi memanggilnya. Suara itu tidak asing baginya. Alvan langsung membalikkan badannya.
"Pak Panji," kata Alvan dengan suara yang lirih. Pak Panji tersenyum melihat mahasiswa abadinya itu. Bagaimana tidak abadi, saat semua temannya, termasuk Alden sudah wisuda, Alvan belum menyelesaikan skripsinya.
"Bagaimana kabarmu Van?" tanya Pak Panji.
"Baik Pak," jawab Alvan singkat, ia menundukkan kepalanya karena malu soal skripsinya yang belum selesai sampai sekarang.
"Bagaimana dengan skripsimu? Kamu yakin tidak akan melanjutkannya? Padahal topik yang kamu usung itu sangat menarik Van, sayang sekali jika tidak diselesaikan," kata Pak Panji. Alvan hanya tersenyum.
"Saya berharap kamu mengambil keputusan yang tepat, tapi saran saya, kamu harus menyelesaikan skripsimu itu," kata Pak Panji. Alvan terdiam, ia sendiri tidak yakin kalau ia mampu menyelesaikan skripsi itu. Isi kepalanya sudah buntu.
"Iya, saya tau apa yang menyebakan kamu berhenti menyelesaikan skripsimu, tapi yang perlu kamu ingat, perjalanan kamu itu masih panjang, jadi jangan disia-siakan," kata Pak Panji. Alvan hanya tersenyum.
Sejujurnya Alvan malu. Darimana Pak Panji tau tentang itu? Alvan memandang Alden yang sedari mengekor di belakangnya. Alden hanya tersenyum.
"Jangan hanya karena dia skripsimu kau lupakan, hidup kamu bukan tentang dia saja Van, masih banyak yang bisa kamu lakukan," kata Pak Panji.
"Iya Pak, saya akan usahakan untuk menyelesaikan skripsi saya," kata Alvan.
"Baiklah, saya rasa itu adalah pilihan yang tepat, jika kamu mau saya akan memberikan kamu waktu empat bulan untuk menyelsaikan skripsi kamu, agar kamu bisa wisuda tahun ini," kata Pak Panji. Alvan hanya menganggukkan kepalnya seraya tersenyum.
"Kalau kamu berhasil menyelesaikan skripsimu, saya akan rekomendasikan kamu untuk mendapatkan beasiswa ke Amerika," kata Pak Panji. Alden terperangah mendengar kalimat Pak Panji. Beasiswa ke Belanda adalah impiannya, sedangkan Alvan terlihat biasa-biasa saja. Padahal dulu ia sangat memimpikan hal itu.
"Yasudah, saya masih ada urusan, saya berharap kamu bisa segera menyelesaikan skripsimu, saya tunggu bab selanjutnya dari skripsimu itu," kata Pak Panji, lalu pergi meninggalkan Alvan. Alvan hanya menghela nafasnya. Meskipun ia mendapatkan tawaran beasiswa ke Belanda, semangatnya belum kembali untuk menyelesaikan skripsi yang sudah lama terbengkalai itu.
"Bener kata Pak Panji, kayaknya lo emang harus segera selesaikan skripsi lo, kesempatam itu enggak datang dua kali Van," kata Alden.
"Udah males gue," jawab Alvan.
"Ayolah, lo harus bangkit dari semua ini, jangan hanya gara-gara Laura lo korbankan mimpi lo," kata Alden.
"Udahlah Al, gue males bahas itu lagi," jawab Alvan, ia pun berlalu meninggalkan Alden. Sementara Alden mendengus kesal.
Alvan kembali berjalan menyusuri koridor perpustakaan yang dibatasi oleh rak, dengan buku-buku yang tersusun rapi. Matanya dengan awas mengamati deretan buku, hingga akhirnya ia tertarik dengan satu buku yang terletak di deretan paling atas. Saat ia akan mengambil buku itu, ia melihat seseorang perempuan sedang kesulitan mengambil buku. Alvan dengan refleks mendekati perempuan itu dan membantunya. Setelah Alvan berhasil mengambil buku itu, ia langsung memberikannya kepada perempuan itu. Buku itu biasa digunakan oleh mahasiswa yang hendak menyusun skripsi, buku yang berisi tentang cara-cara dalam menyusun skripsi.
"Eh, Terimakasih," kata permpuan itu. Sejenak Alvan menganggukkan kepalanya, seraya tersenyum.
"Mau nyusun skripsi?" tanya Alvan.
"Iya kak," jawab perempuan itu.
"Kuliah dimana?" tanya Alvan lagi.
"Di Universitas Merdeka," jawab perempuan itu.
"Kita satu kampus dong," jawab Alvan.
"Masa sih kak, Aku kok enggak pernah lihat kakak ya?" tanya perempuan itu.
"Dia itu mahasiswa siluman, jarang berangkat pula, jadi wajar kalau lo enggak pernah lihat dia," sahut Alden yang tiba-tiba datang. Alvan dengan refleks menginjak kaki Alden, sontak Alden pun meringis kesakitan.
"Yaudah kak, Aku mau ke kampus dulu, masih ada jam untuk hari ini," kata perempuan itu. Alvan hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. Perempuan itu pun ikut tersenyum.
"Lo gila ya nginjek kaki gue," kata Alden.
"Kayaknya gue emang harus segera selesaikan skripsi gue deh Al," kata Alvan.
"Serius lo Van?" tanya Alden. Alvan hanya menganggukkan kepalanya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Alden yang masih kesakitan. Alvan kembali menyusuri koridor perpustakaan besar itu. Ia memilih beberapa buku. Setelah menemukan buku-buku yang dirasa perlu untuk menunjang skripsi yang ia garap, ia pun meminjamnya.
Iya. Semangatnya mulai kembali. Entah apa penyebabnya? Apa karena tawaran beasiswa itu? Tapi bukankah tadi Alvan terlihat biasa-biasa saja saat Pak Panji mengatakan hal itu. Atau mungkin karena perempuan yang ia bantu di perpustakaan tadi? Entahlah .... Tapi yang jelas, sepulang dari perpustakaan tadi, Alvan langsung membuka kembali laptonya dan mulai mengetik untuk bab berikutnya.
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...