"Wuidiiihh.... semangat amat lo," kata Alden yang masuk tanpa permisi ke ruko Alvan.
"Brisik lo Al," jawab Alvan.
"Pasti gara-gara gadis diperpustakaan itu. Gue lihat setelah lo ketemu dia, semangat lo untuk hidup kembali," kata Alden.
"Enggak juga. Gue cuma ingin skripsi gue cepat kelar, kata lo gue harus fokus dengan tujuan awal gue," jawab Alvan. Alden hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Gimana dengan tawaran beasiswa ke Amerika dari Pak Panji?" tanya Alden. Sejenak Alvan menghela nafasnya.
"Gue belum tau Al," jawab Alvan.
"Kalo menurut gue, itu adalah kesempatan yang bagus buat lo," kata Alden.
"Bagus kata lo, belum tentu bagus buat gue," jawab Alvan.
"Terus apa rencana lo selanjutnya? Emangnya lo mau kayak gini terus, emangnya lo mau hidup selamanya di ruko yang menyedihkan ini," kata Alden. Alvan terdiam.
"Sebenarnya gue masih penasaran, apa alasan lo pergi dari rumah yang sesungguhnya. Secara lo itu kan anak orang kaya, dengan segala sesuatu yang lo mau, bisa langsung lo dapatkan saat itu juga," kata Alden.
"Gue kan udah pernah cerita. Gue males kalo harus cerita ulang," jawab Alden.
"Iya, lo emang udah pernah cerita, tapi gue yakin, lo ada masalah lain yang membuat lo harus pergi dari rumah," kata Alden. Alvan terdiam,
"Kalau lo memang ada masalah, selesaikan dulu Van, jangan main pergi-pergi aja," kata Alden.
"Kalo lo dateng cuma untuk ceramah, lebih baik lo pulang sekarang, gue lagi males denger ceramah dari lo," jawab Alvan.
"Yaelah .... Baperan banget sih lo," kata Alden.
Alvan terdiam, ia masih fokus dengan tumpukan buku yang berserakan di meja belajarnya, tangannya sedang menari diatas keyboard, menyusun setiap kata menjadi kalimat, dengan layar laptop yang menyala berpendar-pendar. Mereka berdua lengang sejenak, tidak ada percakapan diantara mereka. Alvan sibuk dengan buku dan laptopnya, sedangkan Alden sibuk dengan handphonenya.
"Astaga!" teriak Alden dengan tangan yang reflek menggebrak meja.
"Lo apaan sih Al," kata Alden. Alden tidak langsung menjawabnya, ia masih fokus melihat layar handphonenya. Seolah seperti baru tau ada kabar penting disana.
"Lo kenapa sih!," kata Alvan dengan nada yang sesikit kesal.
"Mantan gue ngajak balikan Van," jawab Alden.
"Terus apa urusannya sama gue?" tanya Alvan.
"Gue bingung, gue mau minta saran dari lo, gue harus gimana Van?" kata Alden balik bertanya.
"Ya itukan urusan lo, kenapa lo tanya ke gue," jawab Alvan.
"Yaelah ... lo masih marah soal tadi, baperan banget sih," kata Alden. Alvan menghentikan jarinya yang sedang menari di atas keyboard, ia juga menutup bukunya. Kali ini ia beralih ke Alden.
"Lo selalu bilang ke gue, kalau gue enggak boleh menyia-nyikan kesempatan. Kalo lo anggap ini kesempatan yang baik buat lo, yaudah balikan aja," kata Alvan.
"Kalau gue menganggap ini bukan kesempatan yang baik buat gue, gue harus gimana?" tanya Alden.
"Yaudah enggak usah balikan," jawab Alvan.
"Masalahnya gue bingung Van," jawab Alden.
"Kenapa bingung, emang lo masih sayang atau enggak sama dia, tentukan aja pilihan lo, tapi ingat, jangan sampai salah pilih," kata Alvan. Alden terdiam.
"Perasaan lo sendiri gimana sama dia?" tanya Alvan.
"Gue enggak tau Van," jawab Alden.
"Lo sendiri aja enggak tau, apalagi gue," kata Alvan.
"Iya gue butuh saran dari lo, gue harus gimana," jawab Alden.
"Tentukan dulu pilihan lo, setelah itu lo baru tau apa yang harus lo lakukan," kata Alvan. Alden hanya menghela nafasnya.
"Lo udah sholat?" tanya Alvan. Alden hanya menggelengkan kepalanya.
"Saran gue, lebih baik sekarang lo sholat dulu, biar bisa dapat jawaban," kata Alvan.
Alden melihat jam dinding yang terpasang disalah satu sudut ruangan di ruko itu. Jam dinding sudah menunjuk di angka tiga. Alden bangkit dari duduknya, berjalan dengan gontai menuju kamar mandi. Lima menit berlalu, Alden pun kembali dengan wajah yang lebih fresh. Ia duduk di samping Alvan yang masih sibuk dengan laptopnya.
"Gimana? Udah dapat pilihan?" tanya Alvan. Alden hanya menganggukkan kepalanya. Alvan hanya mengernyitkan dahinya, seolah sangat ingin tau apa pilihan Alden.
"Gue udah putuskan, untuk enggak balikan lagi dengan mantan gue," jawab Alden.
"Baguslah, kalau menurut gue itu pilihan yang tepat," jawab Alvan.
"Kalau lo udah tau pilihan yang tepat buat gue, kenapa dari tadi lo enggak bilang," kata Alden.
"Biar lo bisa memutuskan pilihan lo sendiri, takutnya kalau gue ikut andil, nanti lo salah pilih, sebab pilihan setiap orang itu kan berbeda," jawab Alvan.
"Tapi kan setidaknya gue enggak harus pusing untuk memilih," kata Alden.
"Tapi kalau gue ikut memilih, gue jamin lo pasti lebih pusing," jawab Alvan.
"Tapi ya udahlah, gue udah mantap dengan pilihan gue," jawab Alden. Sejenak Alvan hanya menganggukkan kepalanya, lalu kembali fokus dengan laptop dan bukunya.
"Gimana dengan skripsi lo?" tanya Alden.
"Sejauh ini aman," jawab Alvan.
"Terus gimana dengan tawaran beasiswa dari Pak Panji?" tanya Alden lagi.
"Belum tau, gue masih bingung," jawab Alvan.
"Bingung kenapa?" tanya Alden.
"Karena sebenarnya gue enggak minat dengan tawaran beasiswa itu," jawab Alvan.
"Banyak orang yang mengidamkan kesempatan itu, sedangkan lo yang udah di beri kesampatan baik itu malah menyia-nyiakannya, sebenarnya mau lo itu apa?" kata Alden.
"Semua itu tergantung minat, kalau gue sendiri enggak minat, ya gue bisa apa, segala sesuatu itu enggak bisa di paksakan," jawab Alvan. Alden hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dari awal gue emang enggak minat dengan tawaran Pak Panji, gue lebih senang melakukan hal yang sesuai dengan passion gue," kata Alvan.
"Terus sekarang apa rencana lo selanjutnya? Lo masih mau bertahan di tempat ini?" tanya Alden.
"Yang jelas gue akan menyelesaikan skripsi gue dulu," jawab Alvan.
"Memangnya lo enggak mau mencoba hal baru, dengan lo menerima tawaran Pak Panji, lo pasti akan mendapatkan hal-hal baru dalam hidup lo," kata Alden.
"Yang jelas gue akan tetap mendapatkan hal-hal baru dalam hidup gue tanpa harus menerima tawaran Pak Panji," jawab Alvan. Alden hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Semua sudah menjadi keputusan Alvan. Meskipun beasiswa itu adalah tawaran yang diidamkan oleh banyak orang, itu tidak berlaku untuk Alvan. Menurut Alvan, jika ia menerima tawaran itu, hanya akan menjadi tuntutan baginya, ia akan dituntut untuk melakukan banyak hal. Alvan memilih jalan lain, ia memilih passionnya. Alvan yakin, passionnya akan membawanya ke tempat yang lebih baik. Dengan memilih passion, Alvan yakin, ia bisa lebih fleksibel. Alvan bisa mengatur waktunya sendiri, tanpa harus ada tuntutan oleh pihak lain.
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...