Malam berakhir, digantikan dengan matahari yang bersinar cerah pagi itu. Alvan sedang duduk di teras rumah Alden. Ia mengamati keadaan sekitarnya. Lingkungan yang bersih dengan keasriannya yang masih terjaga. Mereka keluarga yang sederhana, tapi mereka memiliki kehangatan yang melebihi kemewahan rumah Alvan. Alvan menghela nafasnya dalam-dalam. Udara di pagi ini terasa sejuk. Kesejukannya memberikan ketenangan sejenak bagi pikiran Alvan yang sedang kalut.
"Lo mau kemana Al?" tanya Alvan yang melihat Alden keluar rumah dengan tampilan rapi, serta menjinjing tas di salah satu bahunya.
"Mau daftar kuliah," jawab Alden. Alvan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lo mau kuliah dimana Van?" tanya Alden. Sejenak Alvan menghela nafasnya.
"Dulu ada rencana untuk daftar di Universitas Merdeka, tapi sepertinya gue enggak bisa melanjutkan rencana itu, gue enggak ada duit buat bayar," jawab Alvan.
"Zaman sekarang itu ada banyak program beasiswa. Lo masih bisa tetap kuliah tanpa harus bayar," kata Alden. Alvan terdiam.
"Daftar aja bareng gue. Gue juga mau daftar di Universitas Merdeka," kata Alden.
Alvan tertegun mendengar jawaban Alden. Alden yang berasal dari keluarga sederhana dan memiliki otak yang pas-pasan mau mendaftar di kampus yang terkenal elit dan mahal. Alvan masih terdiam.
"Katanya lo mau membuktikan kalau lo bisa hidup tanpa uang dari bokap lo, dan ini adalah kesempatan yang bagus buat lo," kata Alden lagi. Alvan hanya menghela nafasnya.
Sementara Alden terus saja mengajak Alvan untuk ikut mendaftar di Universitas Merdeka. Alden terus meyakinkan Alvan, hingga akhirnya Alvan kalah, ia menganggukkan kepalanya, dan ikut Alden untuk mendaftar di Universitas Merdeka.
Universitas Merdeka adalah salah satu universitas impian bagi setiap calon mahasiswa. Bangunan kampusnya megah. Dengan gedung kelas yang terdiri dari empat lantai. Universitas itu memiliki taman yang luas dengan air mancur di tengahnya. Semua mata yang memandang pasti akan terpana dengan kemewahan Universitas Merdeka. Sejenak Alvan menghela nafasnya.
Alvan berjalan melangkah melewati gerbang kampus, ia berjalan di belakang Alvan. Tiba-tiba, ia teringat dengan Laura, kekasih hatinya. Apa kabar Laura sekarang? Sejak ia ditangkap polisi, Laura belum pernah menghubunginya lagi. Laura juga tidak pernah membesuk saat Alvan masih ditahan di kantor polisi.
Setelah dinyatakan bebas, Alvan sudah berusaha untuk menghubungi Laura, tetapi hasilnya nihil. Nomor Laura sudah tidak aktif, pesan yang Alvan kirimkan pun tidak ada yang sampai. Atau mungkin Laura telah mengganti nomor teleponnya? Tapi kenapa tidak memberi tahu Alvan?
"Van, ayo masuk," kata Alden yang membuyarkan segala pikirannya tentang Laura. Alvan hanya menganggukkan kepalanya, lalu berlari menghampiri Alden yang sudah melangkah jauh dari gerbang.
"Lo masih ragu mau daftar kuliah di kampus ini?" tanya Alden. Alvan menggelengkan kepalanya.
"Gue yakin lo pasti diterima di kampus ini. Lo itu pinter Van, enggak seperti gue yang otaknya pas-pasan," kata Alden. Alvan hanya menghela nafanya.
"Kalau masalah biaya, lo tenang aja, di kampus ini ada banyak program beasiswa. Lo itu kan pinter, lo pasti akan lulus kalau daftar program itu," kata Alden.
"Gue enggak yakin. Gue aja masih bingung gimana caranya agar gue bisa bertahan hidup, apalagi ditambah dengan kuliah, karena enggak semua biaya kuliah ditanggung oleh beasiswa," jawab Alvan.
"Yakin aja, lo pasti bisa," jawab Alden. Alvan hanya menggelengkan kepalanya.
"Kalau lo masih bingung, solusi terbaiknya adalah lo harus pulang ke rumah, terus minta maaf sama bokap lo," kata Alden.
"Gue enggak salah, kenapa gue harus minta maaf?!" kata Alvan dengan nada sedikit berteriak.
"Mau salah atau enggak, lo harus tetap minta maaf. Dia itu bokap lo, dia tetap orang yang berjasa dalam hidup lo, sampai lo bisa seperti sekarang ini," kata Alden. Alvan hanya menghela nafasnya.
"Lo harus mengalah, mungkin bokap lo punya alasan untuk semua ini," kata Alden lagi. Alvan kembali menghela nafasnya, lalu pergi meninggalkan Alden, tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
"Van, lo mau kemana?" tanya Alden dengan nada yang sedikit berteriak. Alvan tidak menjawabnya, ia tetap melanjutkan langkahnya. Dan Alden pun berlari untuk mengejar Alvan.
"Sorry Van, kalau gue tadi berlebihan. Gue cuma ingin hubungan lo dengan bokap lo balik lagi seperti dulu," kata Alden. Alvan tidak menanggapi, ia berlari meninggalkan Alvan, seperti sedang mengejar sesuatu.
"Van, lo mau kemana?!" tanya Alvan dengan mada berteriak. Alvan tidak menanggapi, ia terus saja berlari. Alden pun ikut berlari mengejar Alvan.
"Laura!" panggil Alvan kepada salah seorang perempuan yang sedang mengantri di meja pendaftaran. Perempuan itu menoleh.
"Maaf mas, saya bukan Laura," jawab perempuan itu.
Alvan terdiam, ia berdiri mematung. Perempuan itulah yang membuat Alvan berlari. Alvan mengira perempuan itu adalah Laura. Laura, gadis cantik yang sudah Alvan pacari sejak SMA. Karena perempuan itu memang mirip dengan Laura. Tubuhnya yang mungil, rambut hitam sepanjang bahu, mata yang bulat, serta bibir kecil yang tipis. Alvan ingat kalau dulu Laura juga mau mendaftar di kampus ini. Dan hal inilah yang membuat Alvan yakin kalau perempuan itu adalah Laura.
"Maaf mbak, teman saya salah orang," kata Alden kepada perempuan itu.
"Iya, enggak apa-apa mas," jawab perempuan itu, lalu pergi meninggalkan Alvan dan Alden.
Alden dengan sigap meminta dua formulir kepada petugas, lalu memberikan salah satunya kepada Alvan. Alvan masih berdiri mematung. Pikirannya masih penuh dengan Laura. Setelah memberikan formulir kepada Alvan, Alden pun membawa Alvan pergi dari tempat itu.
Setelah menemukan tempat yang cocok, Alden mengisi formulirnya. Saat ia sedang sibuk dengan berbagai data untuk melengkapi formulirnya, Alvan masih saja terdiam.
"Laura itu siapa Van?" tanya Alden. Sejenak Alvan menghela nafasnya.
"Pacar gue," jawab Alvan singkat. Alden hanya menganggukkan kepalanya.
"Dia kuliah disini juga? Kok tadi lo bisa sampe salah orang gitu?" tanya Alden.
"Gue enggak tau Al, pikiran gue bener-bener kalut hari ini," jawab Alvan. Alden hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dulu dia bilang mau kuliah di kampus ini, tapi entahlah ... gue enggak tau kabar dia sekarang," kata Alvan. Alden hanya mengernyitkan dahinya.
"Semenjak kejadian itu, Laura menghilang tanpa kabar. Gue udah mencoba hubungi dia berkali-kali, tapi nomornya udah enggak aktif," kata Alvan.
"Lo udah coba kerumahnya?" tanya Alden. Alvan menggeleng, ia terdiam. Ia belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Benar kata Alden. Mungkin ia harus mencoba untuk menemui Laura langsung dirumahnya.
"Coba lo temui langsung di rumahnya. Mungkin dia punya alasan. Dan harapan gue, lo bisa segera tau kabar baik tentang Laura," kata Alden. Alvan hanya menganggukkan kepalanya. Sementara dihati kecilnya, besok ia berniat untuk menemui Laura.
Iya. Laura, gadis cantik yang ia cinta. Setelah sekian lama hilang tanpa kabar. Alvan berharap besok akan ada kabar baik tentang Laura. Laura? Bagaimana kabarmu sekarang?
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...