Lagi, Alvan kembali terpuruk. Ia bangkit dari tempat belajarnya dengan masih membiarnya laptopnya menyala. Ia meraih tasnya, mencoba memeriksa isi dompetnya. Ternyata kosong, rasanya sangat lapar sekali, dan ia telah gagal mengatur keuangannya di bulan ini. Ia tidak punya lagi uang untuk makan. Alvan pun kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi. Ia menyandarkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Hingga akhirnya ia pun tertidur bersama rasa laparnya.
"Kamu kenapa tidur disini?" tanya Andrew yang tiba-tiba datang dan membangunkannya. Entah sudah berapa lama Alvan tertidur disana. Rasanya tubuhnya tak mampu lagi untuk berdiri. Alvan pun terjatuh saat mencoba untuk berdiri.
"Kamu kenapa?" tanya Andrew lagi. Alvan sudah tidak mampu lagi untuk menjawabnya. Tubuhnya menggigil.
"Kamu sakit? Tubuh kamu panas," kata Andrew. Ia pun langsung membatu Alvan untuk berdiri lalu membawanya ke tempat tidur. Alvan langsung meringkuk, ia merasakan sakit di perutnya. Ia memang belum makan apa-apa seharian ini, ditambah ia juga kurang istirahat, ia lebih sering begadang untuk menyelesaikan tulisan-tulisannya.
Andrew bergegas mencari obat. Setelah itu menyuruh Alvan makan, dan meminum obat. Sejak liburan kemarin Andrew memang baru kembali ke asrama sekarang. Jadi ia juga tidak tau kondisi Alvan selama ia berada di asrama sendirian.
Alvan menghabiskan waktu seharian untuk beristirahat. Tubuhnya perlahan mulai pulih. Ia pun duduk di tempat belajarnya. Alvan meraih ponselnya yang ia letakan diatas nakas, entah sudah berapa lama ia tidak menggunakannya dan ponselnya pun mati karena kehabisan batrai. Ia pun menyalakan ponselnya sesaat setelah ia meng-charge-nya. Ada banya pesan dan panggilan tak terjawab yang ia terima , salah satunya adalah Dyandra. Entah sudah berapa lama ia tidak menghubungi Dyandra. Alvan memilih untuk tidak membalas pesan Dyandra, rasanya malu jika , dan Alvan pun sudah yakin jika Dyandra akan memberinya banyak pertanyaan, dan ia pun bingung harus menjawab apa.
"Kamu kenapa, Van? Tanya Andrew seraya mendekatinnya.
Alvan masih terdiam. "Apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andrew.
Alvan menggeleng. "Kamu sedang ada masalah?" tanya Andrew lagi.
"Apa aku harus kembali ke Indonesia aja ya, Ndrew?" kata Andrew balik bertanya.
"Maksudnya?" tanya Andrew seraya mengernyitkan dahi, ia masih bingung dengan apa yang dikatakan Alvan.
"Aku gak yakin bisa menyelesaikan pendidikanku disini," kata Alvan.
"Kamu sedang ada masalah apa, Van?" tanya Andrew.
"Kamu liat kondisiku sekarang? Untuk makan saja susah, Ndrew. Gimana aku bisa bertahan hidup disini?" kata Alvan.
Andrew terdiam.
"Menulis itu gak gampang. Entah sudah berapa banyak uang yang aku habiskan, berapa banyak waktu yang aku korbankan, tapi apa yang aku dapatkan?" kata Alvan.
"Semua butuh proses, Van. Memang menulis itu tidak gampang. Butuh ketekunan dan kesabaran," kata Andrew.
"Aku juga sudah mengikuti saran kamu, tapi justru membuatku semakin kacau seperti ini," kata Alvan.
"Iya. Dan yang perlu kamu tahu, tidak semua saran itu bisa berhasil, dan didalam saran itu ada proses, dan dalam menjalani proses juga membutuhkan kesabaran dan keikhlasan," jawab Andrew.
Alvan terdiam.
"Jika kamu mau menyalahkan aku, aku pun menerimanya. Tapi apakah pantas, jika kamu menyalahkan orang lain untuk kegagalanmu. Kamu jangan egois, Van. Berikan waktu untuk kemampuanmu," kata Andrew.
"Aku malu dengan orang-orang yang selalu mendukungku untuk sampai disini, jika merek tau keadaanku," jawab Alvan.
"Apa kamu tidak lebih malu jika kamu tiba-tiba pulang dan meninggalkan pendidikanmu disini?" tanya Andrew.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...