TAMPARAN KERAS

17 1 2
                                    

"Orang tua kalian sudah kami hubungi, sebentar lagi mereka akan datang," kata salah satu petugas di kantor polisi.

Alvan pun dimasukan kedalam sel penjara. Alvan duduk termenung di dalam sel. Ia masih tak habis pikir Arkan akan membawanya ke tempat ini, tempat yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya, bahkan ia pun tidak mau membayangkannya.

Alvan hanya menghela nafasnya, tidak banyak yang bisa ia lakukan, selain menunggu hasil tes urin keluar. Alvan yakin ia tidak pernah menggunakan obat terlarang itu. Jangankan menggunakan, menyentuh pun tidak pernah. Bahkan ia pun tidak tau, kenapa obat terlarang itu ada didalam tasnya.

"Saudara Alvan, ada yang ingin bertemu," kata salah satu sipir seraya membuka sel.

Alvan pun bangkit dari duduknya. Sipir itu mempersilakan Alvan untuk keluar menemui orang yang ingin bertemu dengannya. Baru berjalan beberapa langkah, Alvan melihat Bi Inah yang sedang duduk di meja besuk. Bi Inah terlihat cemas.

"Bi Inah," panggil Alvan.

"Den Alvan baik-baik saja kan?" tanya Bi Inah. Sejenak Alvan tersenyum, lalu duduk berhadapan dengan Bi Inah.

"Alvan baik-baik saja Bi," jawab Alvan.

"Kenapa Den Alvan bisa sampai disini? Den Alvan tidak melakukan kesalahan apapun kan?" tanya Bi Inah. Sejenak Alvan mengggeleng.

"Alvan juga enggak tau Bi," jawab Alvan. Bi Inah hanya menggelengkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca. Raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya.

"Alvan juga enggak nyangka, Arkan akan membawa Alvan ke tempat ini. Ternyata Arkan memiliki sisi yang berbeda, dan Alvan terlambat untuk menyadarinya," kata Alvan.

"Den Alvan tadi pergi kemana? Kenapa nomor Den Alvan tidak aktif setiap kali bibi telepon?" tanya Bi Inah.

"Ponsel Alvan mati, tadi Alvan lupa untuk mengecasnya. Maafkan Alvan Bi, Alvan udah membuat bibi khawatir," jawab Alvan. Bi Inah berusaha menyeka air matanya yang akan terjatuh.

"Kejadian ini begitu cepat. Sebenarnya Alvan udah merasakan ada yang ganjil dengan markas Anak Gaul itu, tapi karena Arkan yang membawa Alvan ketempat itu, Alvan berusaha menghilangkan rasa yang ganjil itu, apalagi anak-anak yang ada disana juga asyik, membuat Alvan betah berada disana," jelas Alvan. Sejenak Alvan menghela nafasnya.

"Coba kalau Alvan pulang lebih awal, kejadiannya enggak akan seperti ini. Dan soal obat terlarang itu, sungguh Alvan enggak memakainya, Alvan pun tidak tau kenapa obat terlarang itu ada di tas Alvan. Alvan enggak bisa mengelak, karena barang bukti menunjuk ke Alvan," lanjut Alvan. Kali ini Bi Inah tidak mampu lagi menahan air matanya. Air matanya terjatuh, Bi Inah menangis.

"Alvan enggak pernah memakai obat itu Bi. Bi Inah percaya Alvan kan?" tanya Alvan. Sejenak Bi Inah mengangguk, ia menyeka air mata yang membasahi pipinya.

"Bibi percaya, Den Alvan anak yang baik, Den Alvan enggak mungkin memakai obat terlarang itu," jawab Bi Inah. Sejenak Alvan menghela nafasnya.

"Papa sama mama tau masalah ini?" tanya Alvan.

"Waktu bibi mendapat telepon dari kantor polisi, yang membawa kabar ini. Bibi langsung berusaha untuk menghubungi bapak dan ibu, tapi nomornya tidak bisa dihubungi," jawab Bi Inah.

"Berapa kali bibi menghubungi papa sama mama?" tanya Alvan.

"Berkali-kali Den, tapi jaringannya selalu sibuk. Nanti bibi akan coba hubungi lagi," jawab Bi Inah.

"Jangan dihubungi lagi Bi, tunggu sampai mereka yang menghubungi bibi. Kalau bibi udah berusaha menghubungi mereka berkali-kali, seharusnya mereka akan mengerti kalau ada sesuatu yang penting," kata Alvan.

GEDUNG BERDASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang