Alvan menghadang tukang ojol yang tanpa sengaja lewat di depannya. Awalanya tukang ojolnya tidak mau, karena ia merasa sudah memiliki customer dan sedang menunggunya, tapi saat Alvan menjelaskan tujuannya, tukang ojolnya pun mengiyakan dan mengantar Alvan sampai ke Universitas Merdeka.
Hanya utuh waktu beberapa menit untuk sampai di Universitas Merdeka, tukang ojol pun berhenti di depan gerbang. Setelah membayarnya, Alvan pun berjalan masuk menuju Fakultas Bisnis. Iya. Pikirannya mendadak teringat kepada Papa dan Mamanya. Sungguh. Ia sangat merindukannya. Apa Papa dan Mamanya tidak merindukannya.
Sejak ia pergi dari rumah sampai sekarang ia sama sekali belum pernah bertemu dengan mereka. Hanya Bi Inah yang selalu setia menemani. Dan Alvan pun tau kabar mereka dari Bi Inah, mendengar jika kabar mereka baik saja, Alvan sudah sangat bersyukur. Bukan waktu yang singkat sampai Alvan bisa menjadi seperti sekarang.
'Lihat, Pa. Alvan bisa melakukannya sekarang. Alvan bisa hidup mandiri, Alvan bisa menghadapi kerasnya hidup, Alvan bisa membuktikannya ke Papa,' batin Alvan.
Alvan menatap gedung yang berada di hadapannya, gedung yang menjadi tempatnya menimba ilmu dulu. Gedung yang setia menemaninya selama empat tahun. Dan sekarang gedung itu masih berdiri kokoh, dan menjalankan fungsinya seperti biasa.
Sejenak Alvan pun termenung, ia mengingat kenangannya dulu saat ia masih menimba ilmu disana. Dan ia pun terhanyut dalam percakapan antara dia dengan gedung itu.
Gedung berdasi itu kembali menampakkan diri, dengan semburat senyum di wajahnya.
"Kamu yang dulu setia duduk bersamaku selama empat tahun. Kenapa wajahmu begitu sedih?" tanya Gedung itu.
"Kenyataanya kehidupan yang layak dan pekerjaan yang enak, tidak bisa memberikan kebahagiaan yang sepenuhnya," jawab Alvan.
"Bukannya itu adalah tujuan setiap orang yang sudah setia duduk bersamaku selama empat tahun?" tanya Gedung itu lagi.
"Iya. Kamu memang benar," jawab Alvan.
"Lantas mengapa wajahmu begitu muram? Bukankan kamu sudah mendapatkan tujuan itu?" tanya Gedung itu lagi.
Alvan terdiam.
"Apa kamu masih mau menyalahkanku, padahal kamu sudah mendapatkan posisi yang kamu inginkan, seperti halnya pekerjaan yang layak dan kehidupan yang enak," kata Gedung itu.
"Tidak, kamu sudah banyak membantuku," jawab Alvan.
"Lantas, kenapa dirimu terlihat begitu sedih?" tanya Gedung itu.
'Aku bersedih karena Aku selalu berfikir jika mendapatkan pekerjaan yang layak dan kehidupan yang enak adalah puncak dari suatu kebahagian, tapi kenyataanya itu salah," jawab Alvan.
"Lalu, apa maksudmu?" tanya gedung itu.
"Aku mungkin sudah mencapai tujuan itu, dan aku mungkin sudah mampu membuka hati banyak orang di luar sana, tapi kenapa Aku tidak bisa membuka hati orang tuaku sendiri?" jelas Alvan.
Gedung itu terdiam.
"Aku sudah membuktikan kalau Aku mampu, tapi apakah mereka bangga kepadaku? Mereka tetap saja sibuk dengan pekerjaannya," lanjut Alvan.
"Kebahagiaan memang tidak bisa diukur hanya dengan pekerjaan yang layak dan kehidupan yang enak, keduanya hanyalah perantara dan bukan pemecah suatu perkara. Jangan gantungkan tujuanmu hanya kepada dua hal tersebut, tapi gantungkan tujuannya kepada yang pemilik takdir," kata Gedung itu.
Alvan terdiam, ia menundukkan kepalanya. Rasanya ia pernah mengatakan hal tersebut kepada gedung itu, dan sekarang gedung itu membaliknya dan mengatakan hal itu padanya. Rasanya malu, memang tidak seharusnya ia mengantungkan tujuannya hanya kepada pekerjaan yang layak dan kehidupan yang enak, karena kedua hal tersebut pun tidak bisa menjamin kebahagiaanya.
"Teruslah berusaha, dan percayalah aka nada saatnya dimana kamu akan kembali dipeluk hangat oleh mereka," kata Gedung itu seraya tersenyum.
Alvan melihat senyum itu lagi, setelah beberapa tahun ini ia pergi. Mungkin ada benarnya, aka nada waktunya untuk ia kembali ke pelukan hangat kedua orang tuanya. Rasanya ia sangat merindukannya, sudah lama, ia tidak merasakan pelukan hangat mereka. Bahkan ia lupa, kapan terakhir kali ia mendapat pelukan itu.
Alvan masih menatap gedung itu seraya tersenyum. Dan ia pun masih tenggelam dalam lamunannya. Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Begitu banyak hal yang ia lalui sendiri. Kadang semangatnya patah, kadang kala juga kembali. Kadang ingin menyerah, tapi ia ingat akan tujuannya dan semangat itu pun kembali. Ada beberapa orang yang selama ini sukses menjadi support system terbaik. Bi Inah yang selalu ada untuknya. Alden yang selalu datang saat ia membutuhkan. Pak Panji yang membantunya mewujudkan tujuan hidupnya. Andrew yang memberinya banyak pelajaran hidup. Dan Dyandra, orang yang membuat semangat itu kembali, orang yang membuat lukanya lekas pulih, dan dialah orang yang memberi warna baru dalam hidupnya.
"Kak Alvan ngapain disini?" tanya Dyandra yang tiba-tiba muncul dihadapannya dan membuyarkan lamunannya.
"Lho? Ra? Sejak kapan kamu disini?" kata Alvan balik bertanya dengan sedikit bingung.
"Kakak melamun?" tanya Dyandra lagi.
Sejenak Alvan tersenyum lalu menangkupkan kedua tangan di wajahnya.
"Kakak lagi mikirin apa sih?" tanya Dyandra lagi penasaran.
"Gak ada, Ra. Kakak gak mikirin apa-apa," jawab Alvan seraya tersenyum.
"Terus kakak liatin apa tadi?" tanya Dyandra.
"Gedung," jawab Alvan singkat.
Dyandra hanya mengernyitkan dahi.
"Gedung itu adalah perantara kita, sampai kita bisa jadi seperti ini sekarang," kata Alvan seolah menjawab rasa penasaran Dyandra.
"Kenapa gitu, Kak?" tanya Dyandra.
"Karena lewat gedung itu, kita bisa menimba ilmu, agar kita bisa mencapai semua keinganan kita," jelas Alvan.
Dyandra hanya menganggukkan kepalanya.
"Meskipun kita juga harus tetap berusaha. Karena gedung itu bukanlah penentu takdir kita. Yang menentukan takdir kita adalah Tuhan kita dengan semua usaha kita," lanjut Alvan lagi.
"Benar juga ya, Kak. Dyandra gak pernah kepikiran sejauh itu," jawab Dyandra.
Sejenak Alvan tersenyum. "Iya. Dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya, dan dengan siapapun kita, itu adalah belajar, termasuk dengan gedung itu," kata Alvan.
Dyandra pun tersenyum.
"Oh iya, kamu ngapain ke kampus?" tanya Alvan.
"Minta legalisir ijazah, Kak," jawab Dyandra.
"Untuk apa?" tanya Alvan lagi.
"Untuk keperluan pekerjaan," jawab Dyandra.
Sejenak Alvan menganggukkan kepalanya. "Ra, kakak ada kelas sekarang, kakak masuk dulu ya, nanti kita ketemu lagi," kata Alvan.
"Iya, Kak. Dyandra juga harus balik ke tempat kerja lagi," jawab Alvan.
Alvan hanya menganggukkan kepalanya. Alvan menatap gadis itu sampai punggungnya tak nampak lagi. Setelah Dyandra tidak mampu ia lihat lagi dengan jangkauan matanya, ia pun beralih menatap gedung itu. Ada binar kebahagiaan tersirat disana. Ada rasa kepuasan tersendiri disana, saat gedung itu tau tidak semua orang yang duduk dengannya selama empat tahun hanya menggantungkan nasib padanya. Ternyata masih ada orang yang hanya menjadikannya perantara.
Sejenak Alvan menghela nafasnya dalam. Senyum itu kembali terlihat, dan Alvan pun kembali melanjutkan perjalanan menuju kelasnya dihari ini. Iya. Senyum itu telah kembali.
Bersambung.................
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG BERDASI
Short StoryAlvan Gildan Devar, pemuda tampan, cerdas, dan juga anak dari seorang pengusaha kaya raya. Hidup Alvan nyaris sempurna. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, kehidupannya berubah, saat ia melakukan suatu hal y...