LAURA, KAU DIMANA?

10 1 0
                                    


"Jam segini kok udah rapi? Pengumuman masih dua jam lagi, lo sekarang mau kemana?" tanya Alden yang melihat Alvan berpenampilan rapi pagi ini.

"Pengumunan apa Al?" tanya Alvan.

"Emang lo kemarin enggak dengar kalau hari ini kita pengumuman untuk tes kita yang kemarin?" tanya Alden lagi.

"Kemarin pikiran gue lagi kalut, gue enggak konsentrasi mendengar pengumanannya," jawab Alvan.

"La terus ini lo mau kemana?" tanya Alden lagi.

"Gue mau coba ke rumah Laura, perasaan gue udah enggak tenang, gue ingin segera tau bagaimana kabar Laura," jawab Alvan.

"Terus pengumumannya bagaiamana?" tanya Alden. Alvan terdiam. Ia terlihat sedang berpikir agar bisa hadir dalam pengumuman itu.

"Enggak bisa di wakilkan Van," kata Alden.

"Sepulang dari rumah Laura, gue akan langsung nyusul lo ke kampus," jawab Alvan.

"Yaudah," jawab Alden singkat. Alvan pun berlalu. Ia pergi dengan terburu-buru, seolah ia sedang berkejaran dengan waktu. Ia berlari, menerobos sibuknya lalu lintas di pagi hari. Mobilitas pagi ini sangat padat, hal itulah yang membuat Alvan memilih untuk tidak menggunakan angkutan umum. Jalanan macet, kalaupun ia naik bus atau angkot, pasti ia akan membuang banyak waktu. Karena angkutan umum seperti bus dan angkot akan ngetem dulu sampai penumpangnya penuh, lalu baru jalan untuk mengantar setiap penumpang ke tujuan masing-masing.

Lalu kenapa Alvan tidak menggunakan ojek? Sejak tadi ia tidak melihat tukang ojek yang tanpa penumpang. Sudah hampir lima menit Alvan berlari. Nafasnya mulai terengah, bulir keringat sudah terlihat di keningnya, yang lama kelamaan mulai turun, membasahi wajahnya. Alvan mengusapnya. Sesekali ia berhenti untuk mengatur nafasnya.

Setelah tiga puluh menit berlari, ia sudah sampai di pelataran rumah Laura. Rumah itu masih terlihat sama seperti saat terakhir kali ia berkunjung sebelum ia di tangkap polisi. Rumah lantai dua dengan cat bernuansa cream. Halaman yang luas, dengan beberapa pohon palem, serta beberapa tanaman bunga di pot yang tumbuh subur. Rumah itu terlihat megah, dengan pagar yang menjulang tinggi. Alvan memencet bel yang terletak di samping pintu gerbang. Alvan memencetnya dua kali, sebelum ia memutuskan untuk memencet bel untuk ketiga kalinya, ia memutuskan untuk menunggu.

Beberapa detik kemudian muncullah sesosok wanita paruh baya. Alvan mengenal sosok paruh baya itu. Namanya Bi Asih, ia adalah asisten rumah tangga di rumah Laura.

"Eh, Den Alvan. Udah lama tidak main kesini, pasti nyari Non Laura ya?" tanya Bi Asih yang seolah sudah tau tujuan Alvan datang.

"Iya Bi. Lauranya ada?" tanya Alvan.

"Non Laura baru saja pergi keluar," jawab Bi Asih.

"Sepagi ini, pergi kemana Bi?" tanya Alvan.

"Bibi tidak tau Den," jawab Bi Asih.

"Perginya sama siapa Bi?" tanya Alvan lagi.

"Bibi juga tidak tau Den. Tadi yang jemput pakai mobil. Pas mobil itu datang Non Laura langsung pergi begitu saja. Jadi, bibi tidak tau Non Laura perginya sama siapa," jelas Bi Asih. Alvan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Den Alvan mau masuk dulu?" tawar Bi Asih.

Alvan melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Jarumnya masih menunjuk di angka setengah delapan pagi. Ia masih memiliki waktu satu jam setengah sebelum pengumuman. Tidak ada yang tau kemana Laura pergi, dan tidak ada yang tau pula dengan siapa Laura pergi. Hingga akhirnya Alvan berpikir untuk menunggu Laura, siapa tau ia pergi hanya sebentar.

GEDUNG BERDASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang