Chapter 3 : Impunity🍁

23 11 7
                                    

Luna, Devan dan Gladys berserta sopir Angkot berakhir di kantor polisi terdekat dari lokasi kejadian.

Polisi itu meminta keterangan dari sopir angkot.

"Jadi saudara Devan ini bertengkar dengan pacarnya di tengah jalan yang mengakibatkan macetnya jalan raya serta kerusakan pada kendaraan bapak," ujar polisi itu menyimpulkan kejadian.

Sopir angkot itu membenarkan.

"Lalu menurut Saudara Devan, dia sengaja meminta pacarnya untuk membuat keributan di jalan."

Devan tak merespon malah membuang muka.

Polisi itu menoleh ke arah Gladys, "lalu kenapa anda ikut kemari?"

"Aku pacarnya Devan"

"Menurut Saudara Devan pacarnya adalah orang yang mengemudikan mobil, dan itu adalah saudari Luna."

"Aku bukan pacarnya!"

"Aku lah pacarnya!"

Teriak Luna dan Gladys di waktu yang sama. Mereka bertiga menoleh ke arah Devan yang terlihat tidak perduli.

"Jadi siapa pacar dari saudara Devan??"

"Bukan aku."

"Itu aku."

Luna dan Gladys saling pandang dengan tatapan sengit.

Gladys yang kehilangan kesabaran melemparkan tasnya tepat pada wajah Devan.

"Awas saja!, Aku pasti akan membalas mu!" Ujarnya sebelum pergi meninggalkan kantor polisi.

Devan masih terlihat acuh, dia hanya membuang tas itu ke samping tempat sampah.

"Pak, apa anda tidak bisa melepaskan aku, aku bisa terlambat berkerja, dan kue lapis yang aku bawa bisa rusak kalau tidak segera di masukkan ke Freezer," ujar Luna memelas.

"Masih belum, karena saudari juga menjadi saksi dalam kasus ini, dan jika terbukti bersalah maka akan menjadi tersangka."

"Aku memang mengemudikan mobil, tapi dia yang menyuruhku," Luna menunjuk pada Devan, "aku mohon biarkan aku pergi dari sini, aku harus segera ke tempat kerja."

"Apakah pergi ke tempat kerja sebegitu penting buatmu?!"

"Tentu saja."

Devan merasa kesal, dia berjalan menghampiri Luna dan meraih tas yang terus saja di bawa gadis itu.

"Apa yang kamu lakukan?!"

Dibuangnya tas berisikan kue lapis milik Luna itu ke tempat sampah, lalu Devan kembali duduk di dekat Luna, "sekarang tidak ada lagi alasan yang bisa membuatmu terburu-buru, temani saja aku sampai pengacaraku datang."

Luna menatap Devan dengan marah, bagaimana bisa ada orang seperti Devan di muka bumi ini?!

"Kamu!" Marah Luna.

"Kenapa?!"

"Sebenarnya apa masalahmu sampai jadi berandalan seperti ini!, Apa kamu pikir waktu orang lain itu tidak penting, sebaiknya kamu belajar menghargai orang lain agar tidak menjadi sampah masyarakat!" Luna meledak-ledak, kue lapis itu dibuatnya dengan penuh harapan, Luna juga harus mengeluarkan uang tabungannya untuk membuat kue Lapis yang sekarang menjadi seonggok sampah karena ulah biadab Devan, kue nya sekarang sudah rusak dan sekarang malah berakhir di tempat sampah.

Devan tersinggung, ia tak menyukai keberanian Luna, "ya!, Aku memang ingin menjadi sampah masyarakat, hidup seperti sampah dan membuat orang-orang di sekitarku turut menjadi sampah, memang apa yang kamu harapkan dari seorang pengidap PTSD yang menyaksikan papanya terbunuh dengan kedua matanya sendiri!, Aku benci semua orang!, Aku benci dunia ini!"

Luna tercengang. Ada rasa bersalah yang terselip di dadanya, ia jadi berempati setelah mendengarkan ucapan Devan barusan.

Di keheningan itu, Gladys kembali muncul.

Tanpa tahu situasinya Gladys membentak Devan, "Dimana tas ku?!"

"Bukanya kamu tadi sudah membuangnya!" Bentak Devan melampiaskan amarahnya, hal itu membuat Gladys menahan malu karena semua orang jadi melihat pada dirinya.

Gladys mengedarkan pandangannya mencari letak tas miliknya, dia terkejut ketika mendapati tas branded miliknya berada di samping tempat sampah.

"aku pasti akan membalas mu!!", Ujarnya sebelum pergi namun tak ada yang menghiraukannya, Gladys bahkan tak meminta maaf ketika tanpa sengaja menabrak orang saat akan keluar dari kantor polisi.

"Maaf jika saya membuat anda menunggu lama," seorang pengacara datang dan menjabat tangan petugas polisi itu, "perkenalkan saya Irawan Indrayana, pengacara dari saudara Devan Indrayana."

"Paman tidak perlu repot-repot datang kemari aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri," ujar Devan cuek, "lihat!, Mereka bahkan merasa kasihan setelah aku menceritakan cerita karangan yang paman buat untukku."

Rasa kasihan yang tadi menghampiri Luna digantikan amarah, rasanya ingin Luna memberikan bogeman pada Devan.

"Tidak mau mengakui penyakitnya juga merupakan salah satu tanda dari pengidap PTSD," pengacara Irawan memberikan dokumen terkait mengenai kesehatan mental milik Devan, "dia mengidap PTSD sejak berusia delapan tahun karena menjadi saksi dari pembunuhan papanya."

Delapan tahun!

"Disaat Anak-anak yang lain sibuk bermain, Devan menghabiskan waktunya untuk melakukan pemulihan mental di psikiater, itu membuatnya kehilangan banyak masa berharga, karena hal itu, dia sekarang jadi pembuat onar. . . untuk mendapatkan sedikit perhatian."

Tangan Devan terkepal, "berhenti membuat hidupku terkesan menyedihkan!"

Irawan tak menghiraukan Devan, "Gadis ini pasti hanya diperdaya oleh klien saya, anda bisa membebaskannya, saya akan menjaminnya."

Secercah harapan mendatangi Luna, "terima kasih, terima kasih anda sudah mau membantu ku," ujar Luna penuh rasa syukur.

"Paman tidak bisa melepaskannya begitu saja, dia belum membayar ganti rugi untuk kerusakan mobil ku dan mobil angkot."

Irawan menatap tajam pada keponakannya, "bukankah itu seharusnya menjadi tanggung jawabmu!"

Devan tersenyum sinis, keki. Dirinya selalu kalah telak jika berurusan dengan pamannya.

~•To Be Continue•~


PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

Kondisi masalah mental yang terjadi karena seseorang mengalami kegagalan untuk pulih setelah kejadian traumatis.

Kejadian traumatis yang umumnya menyebabkan PTSD adalah kecelakaan, pelecehan seksual, mengalami kekerasan fisik, dan lain sebagainya.

PTSD tidak dapat tersembuhkan secara total, penanganan yang baik dan berkelanjutan akan membantu pasien untuk menjalani hidup dengan lebih berkualitas.

Symphony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang