Devan yang tidur di ruang tamu mendengar suara isakan terdengar dari dalam kamar Luna, apakah dia bermimpi buruk?, Devan ingin mengabaikannya tapi suara itu semakin menjadi, ia tak punya pilihan lain selain memastikan kondisi Luna. Devan memperhatikan Luna yang terlihat gelisah dalam tidurnya.
"Apa aku menyukainya?" Tanya Devan entah pada siapa, Devan mendekat, duduk di tepi ranjang Luna, ia mengambil tissue di naskas untuk menyeka keringat Luna, gerakan Devan yang sembrono membuat Luna terbangun.
"Kamu bermimpi buruk?" Devan bertanya untuk menutupi rasa kagetnya karena Luna yang bangun.
Luna mengangguk.
"Mau aku ceritakan dongeng sebelum tidur?"
Luna jadi teringat dengan cerita hantu bocah pantai karangan Devan waktu itu, "apa tentang hantu lagi?"
Devan tersenyum sendiri mengingat kekonyolannya waktu itu.
"Bukan," Devan melihat ke arah Luna, "ini tentang cerita seorang tuan putri."
"Kamu tahu cerita Ramayana?"
Luna berharap semoga Devan tidak menghancurkan kisah romansa tersebut, "tentu, tenta putri Shinta yang di culik Rahwana," Luna berpikir sejenak, "lalu Rama dan Hanuman datang menyelamatkannya."
"Apa kamu tahu kenapa Rama butuh waktu dua belas tahun untuk menyelamatkan Shinta?" Luna menggelengkan kepalanya, mencoba mengikuti alur cerita Ramayana versi Devan, "Karena ketika Shinta di culik, dia terus berteriak, Tolong...tolong...tolong!"
Luna tertawa mendengarkan Devan yang sengaja mengecilkan suaranya ketika memperagakan teriakan minta tolong, "Shinta lupa kalau nama suaminya adalah Rama, jika saja Shinta berteriak memanggil nama Rama, pasti Ramayana akan tamat lebih cepat," Devan menggenggam tangan Luna.
"Lain kali dibandingkan berteriak minta tolong panggil saja namaku, teriakkan namaku dan aku akan datang seperti superman yang menyelamatkanmu."
Kali ini Luna tak tertawa. Devan terlihat serius saat mengatakan hal itu, "di hadapanmu ini ada seorang laki-laki yang bernama Devan dan di dunia ini tidak ada orang yang bernama Tolong, jadi berhentilah berteriak meminta tolong setiap kali menemui kesulitan, mengerti?"
"Aku pasti akan membuat satu orang yang bernama Tolong, karena aku akan menamai anakku Tolong," Luna berkata asal, "dan lagian kamu bukan superman yang punya pendengaran super, kamu tidak mungkin bisa mendengarkan aku berteriak jika tidak ada berada di sekitarku," Luna memberikan Jawaban yang rasional.
"Aku tidak akan membiarkannya."
Luna terheran.
"Sebagai papa nya, aku tidak akan membiarkan kamu menamai anak kita dengan nama Tolong."
"Siapa juga yang mau menikah denganmu."
"harus, karena malam ini kita akan membuat Tolong," Devan mendekati Luna, memusnahkan jarak yang ada di antara mereka.
Seseorang menarik leher jaket Devan saat akan mencium Luna, pelakunya tak lain adalah Tirta, di sana juga ada Jaka yang berdiri di ambang pintu. Tirta menjauhkan Devan dari Luna.
"Apa yang kamu rencanakan?" Tanya Tirta penuh curiga pada Devan.
"Aku hanya berencana untuk memberikanmu keponakan," Luna tertawa mendengar jawaban Asal dari Devan, kejadian itu membuat Tirta terheran, apa saja yang sudah terjadi saat meninggalkan Luna dengan Devan, seharunya dia tak mempercayakan Anthony untuk mengawasi mereka, kemana perginya dia?!
"Berhentilah menggoda nya," Jaka sepertinya sudah mulai muak dengan candaan Devan, melihat temannya ini sepertinya Jaka harus membuat kesepakatan dengan adik perempuannya agar tidak berpacaran sebelum usia dua puluh tujuh tahun.
"Menurutmu bagaimana dengan nama Tolong?" Alis Tirta bertaut mendengar pertanyaan konyol yang keluar dari mulut luna. Orang gila mana yang mau menamai anak mereka dengan nama Tolong.
Jaka menatap tak percaya pada Devan dan Luna secara bergantian, dia hanya menepuk bahu tirta sebelum pergi meninggalkan mereka bertiga.
Tirta tak menjawab pertanyaan Luna, ia malah fokus pada secarik kertas familiar yang ada di saku Luna, dengan lancang Tirta mengambil surat itu dari Luna, "sudah aku ingatkan berulang kali untuk membuangnya, kenapa kamu masih menyimpannya?"
"Itu adalah salah satu kenangan yang aku miliki darinya," Luna menengadahkan tangannya agar Tirta menyerahkan kembali Surat dari mamanya.
"Dia meninggalkanmu, perempuan itu menelantarkan mu hanya demi bersama selingkuhannya," Tirta tak habis pikir dengan sikap Luna, kenapa Luna dengan bodohnya masih mau menyimpan benda yang hanya menjadi luka lamanya.
"Kembalikan itu padanya," Devan mengerti apa yang Luna rasakan, bagi orang lain benda yang memiliki kenangan seseorang yang sudah tiada itu menyakitkan dan patut untuk dibuang, tapi kenangan tetaplah kenangan, ada kebahagian tersendiri ketika mengingat seseorang melalui benda yang ditinggalkan.
Luna memberanikan diri meraih surat dari tangan Tirta yang tak terlihat ingin mengembalikan benda itu. Tirta juga tak terlihat keberatan dengan tindakan Luna, "apa rencanamu setelah ini?"
"Aku mau pulang."
Devan menoleh, menatap ke arah Luna.
"Aku akan segera memberitahu bunda soal kepulanganmu."
"Kamu mau pergi??" Devan keberatan dengan keputusan Luna.
"Hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum aku memulai kuliahku, tapi sekarang itu sudah tidak ada gunanya, aku juga sudah kehilangan pekerjaanku di Cafetaria."
Tirta mencoba untuk menyemangati Luna, "masih banyak universitas lain, jangan berputus asa."
Devan tak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah dibuka oleh Tirta, "disini juga masih banyak perkerjaan, entah itu part time atau full time, jika kamu mau aku bisa membantumu mencarikan loker."
"Jangan pedulikan ucapannya," Tirta menatap tak suka pada Devan, "fokuslah pada dirimu sendiri."
🍁🍁🍁
Devan pergi subuh-subuh menuju ke Dorm, kamar Jaka. Dia menggedor pintu kamar temannya itu tanpa jeda, Jaka hanya bisa misuh-misuh dengan kelakuan teman brengseknya itu.
"Bantu aku!" Ya, Jaka tidak salah dengar, bukan salam ataupun ucapan selamat pagi yang di dengarnya melainkan sebuah permintaan bantuan yang keluar dari mulut Devan, "keluargamu memiliki usaha Coffee Shop, kan?"
Jaka belum menjawab, ia didahului oleh Devan, "biarkan Luna berkerja di sana!?"
"Sebenarnya Luna itu pacar siapa?, tadi apartemen Anthony dan sekarang Coffee Shop orang tuaku, kenapa aku harus terlibat juga?"
"Dia belum menjadi pacarku."
"Lalu kenapa kamu mau repot-repot mengurusnya?!"
Mendengar ada keributan, pintu kamar Anthony terbuka, menampakkannya dengan piyama Patrick Star kesukaannya, "ada apa??"
"Sepertinya aku menyukainya, aku menginginkan Luna," kalimat itu Devan tujukan pada Jaka, tapi mampu mengusir rasa kantuk Anthony ketika mendengarnya. Apakah menara Pizza telah roboh?!, Devan baru saja mengakui perasaannya!!
~•To Be Continue•~
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Of Fate
RomanceSemua orang mengira apa yang ada pada hidup Devan adalah sebuah kesempurnaan, namun mereka salah, Devan tak lebih dari seorang pembuat onar di kampusnya, karena kekuasaan mamanya lah, tidak ada yang berani mengusik Devan, tapi satu hal yang mereka t...