Chapter 7 : Flattery🍁

18 10 3
                                    

Devan berkeringat dingin dalam tidurnya. Mimpi buruk itu lagi, ia terbangun dengan wajah gusar, pasti karena alkoholnya semalam, sepertinya ia harus mengurangi mengonsumsi minuman setan itu.

Devan meraih smart phone nya, kebiasaannya mengecek benda itu setelah bangun tidur tak berubah. Devan terbangun ketika membaca sebuah pesan dari orang yang tak pernah di duganya.

Umpannya telah dimakan!

🍁🍁🍁

Luna mengajak Devan untuk bertemu, Devan dengan senang hati menyetujuinya dan disinilah mereka berdua berakhir. Mereka berada di dalam mobil yang terparkir di pesisir pantai.

Luna meminta Devan untuk menepati janjinya, alasan Luna Mau di ajak kencan oleh Devan karena pemuda itu menjanjikan akan mengembalikan buku Luna, "tepati lah janjimu."

"Kamu bisa pegang kata-kataku."

Devan menelisik penampilan Luna dari atas sampai bawah membuat Luna jadi sedikit risih, ia merasa sudah berpakaian cukup layak untuk bertemu dengan Devan, tak ada yang salah dengan penampilannya, yang luna tak sadari adalah bagi Devan ini pertama kalinya Devan melihat perempuan yang mau berpenampilan biasa saja, targetnya dulu pasti selalu menggunakan pakaian yang hedon dan sexy walau pun ada sebagian yang kutu buku, paling tidak mereka pasti akan menggunakan barang bermerek.

Devan menoleh keluar jendela ketika mendengar deburan ombak yang sudah lama tak ia dengar, pantai adalah tempat yang memiliki memori tersendiri bagi Devan, "Kenapa memilih pantai?"

Luna tak mungkin menjawab jujur kalau ia takut Devan akan mengajaknya ke Love Cafe atau hotel, ia memilih jawaban yang logis, "karena aku menyukainya."

"kamu pasti belum pernah mendengar cerita tentang hantu bocah pantai?"

Luna tertawa meremehkan, "kamu percaya hantu?"

"Bukankah itu menakutkan," goda Devan, "mau mendengar ceritanya?"

Devan mulai bercerita.

"Dulu ada bocah laki-laki yang menyelinap di mobil ayahnya, dia bersembunyi di bangku mobil paling belakang, mobil mereka berhenti di pantai, bocah itu turun dan bermain air tanpa pengawasan orang dewasa, saking asyiknya dia tak menyadari kalau air laut mulai pasang," Luna diam menyimak cerita dari Devan, "dia hampir terseret ombak besar ke tengah laut, saat itu, bocah itu mengira dirinya akan mati saat itu, tapi ayahnya datang tepat waktu menyelamatkan bocah nakal itu."

Devan menghentikan ceritanya, ia menoleh pada Luna yang terbawa suasana.

"Apakah terjadi sesuatu pada ayahnya?" Tanya Luna karena melihat raut wajah Devan yang Sendu.

"Ayahnya meninggal."

Luna menutup mulutnya karena kaget.

Devan tertawa, "dia tidak meninggal karena menyelamatkan anaknya," Devan melanjutkan ceritanya, "karena ombak yang besar, mereka sama-sama terluka karena tergores batu karang, bocah itu awalnya menangis, bukan karena takut terseret arus, tapi karena telah melukai wajah ayahnya."

Luna menyadari sesuatu, bocah yang di maksud Devan itu adalah Devan sendiri, terbukti dengan bekas luka gores yang ada di dagu samping Devan, bekas luka itu memang samar tapi jika di perhatikan dengan jeli maka akan terlihat.

Devan mulai memasang wajah yang menyeramkan, bersiap untuk melanjutkan klimaks dari kisah hantu bocah pantai.

"Rasa bersalah yang besar membuat bocah itu berlari kembali menuju air, ayahnya sudah mengatakan kalau tidak apa-apa wajahnya terluka tapi bocah itu sama sekali tak mendengarkan ayahnya, sebuah ombak yang besar...benar-benar besar akhirnya datang membawa mereka ke tengah laut," Luna menahan tawa, ia mencoba untuk menghargai Devan yang sudah bersusah payah mengarang cerita itu, "sejak saat itu mereka tak pernah terlihat dan hantu mereka mulai gentayangan."

"Aku tidak takut!", Bantah Luna, jawaban Luna berikutnya berhasil membuat Devan terheran, "justru aku malah ingin bertemu dengan hantu bocah pantai itu, untuk apa dia gentayangan menghantui manusia, bukankah dia jauh lebih beruntung dibandingkan anak-anak seusianya?"

Alis Devan bertaut tanda tak mengerti.

"Bukankah dia jauh lebih beruntung dibandingkan anak-anak yang hidupnya di telantarkan oleh orang tua mereka?"

Devan diam.

"Memang sudah kewajiban orang tua untuk menjaga, melindungi dan mencintai anak mereka, hanya saja ada sebagian orang tua egois yang lalai dan melupakan tugas mereka sebagai orang tua bahkan tak jarang ada orang tua yang membuang atau meninggalkan anaknya..."

Devan tak mendengarkan kalimat Luna selanjutnya, ada yang sakit di ulu hatinya. Beruntung?

Bagaimana bisa nasibnya di sebut beruntung!

Tak ingin terbawa perasaan lebih jauh lagi Devan segera melancarkan aksinya, Devan kembali fokus pada rencana awalnya, ia tak boleh goyah, saat Luna asyik menceritakan pendapatnya, Devan dengan cepat meraih tengkuk Luna, menempelkan bibirnya dan bibir Luna. Mata Luna terbelalak kaget, diam-diam Devan memfoto kelakuan biadabnya itu, Devan bergerak dengan cepat, sampai Luna tak menyadarinya lalu Luna mendorong devan menjauh.

"Apa yang kamu lakukan?!" Protes Luna.

Devan menyembunyikan ponselnya, kedua tangannya menangkup pipi Luna, "kamu gadis yang baik, sepertinya aku menyukaimu."

Luna mengalami brain Freeze. Ini terlalu cepat, dia bahkan tidak memiliki rasa apapun kepada Devan, memang pemuda ini telah berhasil membuat jantungnya berdebar-debar, namun luna lebih suka mengartikannya karena dirinya tidak terbiasa berinteraksi dengan laki-laki terutama yang setampan Devan.

Situasi jadi sunyi karena pernyataan Devan barusan. Devan kembali mendekatkan wajahnya pada Luna, ia ingin kembali mencium Luna, Devan tahu dirinya pasti sudah gila, aksi keduanya itu dihentikan oleh ibu-ibu warga lokal yang menggedor jendela mobil Devan.

Bodohnya Devan yang malah membuka kaca mobilnya, Luna meringkuk malu, menutupi wajahnya dengan tote bag.

"Jangan berbuat mesum di sini, banyak anak-anak kecil berkeliaran!" Marahnya, salah satu dari gerombolan itu malah menyarankan agar Devan menjadi tamu di Motelnya jika ingin melanjutkan aktifitasnya.



~•To Be Continue•~

Symphony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang