Devan pergi menuju ke kamar rahasia di gedung UKM kampus. Satu-satunya tempat dimana dia bisa menenangkan diri, Devan sibuk dengan pemikirannya sendiri, sampai tak menyadari kalau ada orang lain selain dirinya di ruangan UKM kosong itu.
"Luna?!"
"Kenapa tidak menjawab teleponku?"
"Kenapa menghindari ku?," Tanya Luna to the poin memberondongnya dengan pertanyaan. "kamu bilang kamu menyukaiku, lalu kenapa sekarang menghindar seperti ini?"
Devan berpikir untuk sesaat sebelum memutuskan untuk mengatakan kalimat yang akan jelas menyakiti perasaan Luna, "Apa kamu lupa kalau kamu tak lebih dari barang taruhan bagiku!" Ia melangkah maju membuat Luna berjalan mundur perlahan, "kamu pikir siapa dirimu hingga merasa pantas bersamaku?!!"
"Begitukah!"
Brak!
Luna dan Devan memandang ke arah yang sama. Ada yang menutup pintu dari luar, Luna sama sekali tidak kaget dengan kejadian itu, Devan. Merasa ada yang tidak beres dengan situasi kali ini.
Sementara itu di luar. Anthony tersenyum puas karena berhasil menjalankan rencananya, ia dengan sengaja mengunci Devan dari luar, pemuda itu bahkan sudah menyiapkan rantai untuk mengunci pintu lalu menggemboknya. Anthony datang dengan rencana yang matang.
Selesaikan masalahmu secara Gentel, jangan menjadi pengecut yang lari begitu saja!. Devan menghela napas membaca whatsapp dari Anthony.
"Apa ini rencanamu?" Devan tersenyum mengejek, menunjukkan layar smartphone nya pada Luna agar gadis itu membaca pesan yang belum lama di kirim oleh Anthony, tak lupa sahabat Devan itu juga mengirimkan foto pintu yang sudah di gemboknya, Luna mulai kehilangan ketenangannya, ia terlihat goyah, mungkin juga merasa terjebak, "di lihat dari gelagatmu sepertinya kamu juga tidak tahu rencana ini," Ujar Devan menyimpulkan.
Tak mau terkecoh. Luna sudah membulatkan tekatnya, "Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sakit?!"
Raut wajah Devan menggelap, siapa yang berani membeberkan kondisinya pada Luna?!. Anthony sialan!!
"Omong kosong apa yang kamu katakan," Devan membuang muka.
Luna beredar kesana-kemari agar matanya bisa bertemu dengan mata Devan yang tidak mau melihat ke arahnya, Devan menyerah. Gadis ini ternyata bisa jadi keras kepala juga
"Mau aku sakit atau sehat, itu semua tidak ada hubungannya denganmu," Devan berjalan menuju ke kamar rahasia tanpa menghiraukan Luna, "cepatlah pulang, Tirta bisa marah jika tahu kamu kemari."
"Apa kamu benar-benar tidak menyukaiku?" Langkah Devan terhenti, "jadi benar kalau semua itu hanya sandiwara saja?"
"Ya," berat. Tapi menurut Devan ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua, "baik itu kamu atau perempuan-perempuan sebelum kamu, semuanya hanyalah Game, kamu sudah tahu kalau aku akan mati sebentar lagi, jadi sudah saatnya semua ini berakhir."
Devan menarik napas cukup dalam sebelum mengutarakan kalimat yang membuat Luna terdiam untuk sesaat, "aku sudah tidak mau lagi berharap apapun, setidaknya aku hanya ingin hidup degan tenang."
"Apa kamu tidak mau menikah denganku?"
Devan seperti di sambar petir di siang bolong mendengar pertanyaan dari Luna, apa dia baru saja di lamar oleh gadis berumur sembilan belas tahun!?.
"Jangan menjadikan hal seperti itu sebagai candaan," ujarnya masih dengan raut wajah yang kaget.
Luna berjalan ngacir menghadang langkah Devan, "apa aku terlihat seperti sedang bergurau??"
"Yang kamu lakukan barusan itu sama saja dengan melamar ku."
"Jika kita menikah, apa kamu mau menjalani pengobatan?" Devan tak mengira kalau ia akan mengalami situasi seperti ini dalam hidupnya, "berobat, operasi atau apapun itu, jalani saja semuanya, setelah kamu nanti sembuh ayo kita membuat keluarga kecil yang bahagia."
Ini sangat memalukan, Devan mengusap kasar air matanya. Luna juga tidak bisa membendung kesedihannya, awalnya ia sangat tidak menyukai Devan yang kerap bersikap semaunya sendiri, tapi tak bisa di tampik, Devan seperti memiliki magnet yang mampu membuat Luna mulai jatuh hati padanya.
"Aku anggap aku tidak pernah mendengar perkataanmu barusan."
Luna memeluk Devan cukup erat, "tidak perlu malu, jika ingin menangis menangis saja, laki-laki juga berhak menangis, luapkan semuanya, jika sudah puas meratapi nasib maka harus kembali bangkit," Luna mendongak, mengusap air pata yang membasahi kedua pipi Devan, "sekarang kamu punya aku."
Devan membalas pelukan Luna, melempar semua rasa gengsi yang ada, ia menangis di dalam pelukan Luna, tubuh mungil gadisnya itu mampu memberikan kenyamanan yang sudah lama tak ia rasakan sejak kematian papanya.
🍁🍁🍁
Tirta speechless di iringi dengan decakan kagum Anthony atas sikap berani dari Luna. Mereka berdua masih di sana menguping, Anthony tak pernah mengira kalau Luna bisa senekat ini.
"Sepertinya keputusanku untuk mengikuti kalian berdua kesini adalah hal yang tepat," Tirta berusaha merebut kunci yang di bawa Anthony, mereka terlibat adegan berebut kunci sampai berguling-guling ke lantai, orang-orang yang lewat terheran dengan tingkah kedua pemuda itu, "berikan kuncinya padaku!"
"Tidak akan!"
~•To Be Continue•~
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Of Fate
RomanceSemua orang mengira apa yang ada pada hidup Devan adalah sebuah kesempurnaan, namun mereka salah, Devan tak lebih dari seorang pembuat onar di kampusnya, karena kekuasaan mamanya lah, tidak ada yang berani mengusik Devan, tapi satu hal yang mereka t...