Tok! Tok! Tok!
Devan tersadar dari lamunannya.
"Paman boleh masuk?" Ujar Irawan dari balik pintu.
"Silahkan."
Irawan membuka pintu kamar Devan.
"Sedah berapa lama kamu tidak mengunjungi psikiater?" Tanya Irawan to the poin.
Devan menoleh pada pamannya.
"Entahlah, aku tidak mengingatnya."
Irawan menghela napas, "Devan..." Ia jadi sedikit kesal dengan sikap cuek dari keponakannya itu.
"Aku tidak gila, kenapa aku harus pergi ke sana," Devan mencoba meyakinkan Irawan kalau dirinya baik-baik saja.
"kamu memang tidak gila, tapi Ini semua demi kebaikanmu," ujar Irawan dengan begitu tulus, "jika tinggal di rumah ini membuatmu merasa tertekan, kamu bisa tinggal di rumahku, pintu rumahku selalu terbuka untukmu, toh kamu juga punya apartemen pemberian dari mendiang kakek. . .Buat dirimu merasa nyaman, itu yang paling penting."
Devan diam mendengarkan.
"Aku mengerti," jawabnya, "Terima kasih."
Irawan termangu, tak mengira kalau keponakannya itu akan berterimakasih kepada dirinya.
"Kamu tadi bilang apa?"
"Aku tidak mau mengulanginya," Devan Keki, "jika tidak mendengarnya, ya sudah."
Irawan meninju pelan lengan Devan
"Tiga minggu lagi jika kamu ada waktu datanglah ke pesta pernikahan adikmu, Genta."
Devan melongo tak percaya, "Dia baru delapan belas tahun?!"
"Singkatnya, sesuatu telah terjadi."
Devan tertawa mengejek, "apa paman akan menjadi seorang kakek?"
Siapa yang tidak akan salah pamah bila ada yang baru saja lulus SMA mendadak mau menikah selain karena married because accident.
"Kamu tanya orangnya saja sana!" Kesal Irawan, ia memilih pergi meninggalkan keponakannya itu, mungkinkah ini alasan kenapa ia ditakdirkan menjadi pengacara, karena semesta tahu Genta dan Devan itu sama saja, sama-sama pembuat onar. Tidak ada tempat yang layak mereka kunjungi selain kantor polisi.
🍁🍁🍁
Anthony dan Jaka mengajak Devan ketemuan di Cafetaria kampus. padahal mereka biasanya selalu bertemu di coffee shop, tumben sekali mereka mau makan di Cafetaria. Saat akan berangkat Devan berpapasan seorang Kurir yang mengantar paket ke rumahnya, paket dari kantor polisi yang kemarin, Devan acuh menerima paket itu, hanya meletakkannya ke bangku samping.
Ketika Devan sampai, kedua orang itu belum datang, cukup lama Devan menunggu mereka, akhirnya. Yang di tunggu-tunggu pun menunjukkan batang hidungnya.
"Sudah lama menunggu?"
Anthony sama sekaki tak menunjukkan wajah bersalahnya setelah membuat Devan menunggu hampir dua puluh menit.
"Kakiku hampir saja menjadi akar pohon."
"Jika sudah berbuah, beri tahu aku, biar aku panen buahnya."
Devan megeplak kepala Anthony karena kesal.
Mereka saling pandang, beberapa orang yang melihat kejadian itu takut kalau mereka akan berkelahi, namun semua bernafas lega saat melihat Devan dan Anthony sama-sama melempar tawa.
"Tapi..." Jaka terlihat kebingungan, "Kenapa Cafetaria bisa seramai ini, biasanya jam segini tak begitu ramai, sekarang malah hampir penuh, tak menyisakan banyak tempat."
"Itu dia masalahnya." Ujar Anthony terlihat seperti juru perdamaian, "kita kemari dengan tujuan agar bisa menormalkan kondisi Cafetaria kampus kita."
Anthony menyerahkan tabletnya pada Devan.
"Namanya Luna Zaheera, usianya sembilan belas tahun, dia baru berkerja kurang dari dua minggu tapi sudah banyak menuai perhatian, banyak anak-anak yang mengajaknya berkencan tapi tidak satu pun yang di terima."
"Semakin di tolak semakin besar pula rasa penasaran dari seorang laki-laki."
Anthony kali ini setuju dengan Jaka.
"Mereka menginginkanmu untuk menaklukkan Luna, tapi masalahnya, batas waktu yang di berikan hanyalah empat puluh delapan jam. . .alias dua hari"
Devan tak begitu menyimak penjelasan dari Anthony, matanya terpaku pada foto yang ada di tablet Anthony.
Devan tersenyum kegirangan.
Anthony dan Jaka jadi ketakutan dengan respon dari Devan.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Jaka namun tak di respon oleh Devan.
Apakah Devan jadi Gila?!
Devan sibuk memperhatikan gadis yang sibuk kesana kemari membawa nampan yang selalu penuh berisi pesanan, ya. Devan tengah memperhatikan Luna, "ada informasi apa lagi yang kamu ketahui selain ini?" Tanya Devan sembari menunjuk tablet Anthony.
"Sedikit informasi yang membingungkan."
Melihat Devan yang penasaran Anthony melanjutkan bicaranya.
"Dia adiknya mantan ketua BEM. Tirta."
Jaka dan Devan kompak menoleh.
Dari sekian banyak orang yang ada. Kenapa harus Tirta!.
"Tapi mereka tidak memiliki hubungan darah," Alis Devan jadi bertautan, kakak beradik tapi tidak memiliki hubungan darah?
"Karena dia belum lama tinggal di sini tak banyak informasi yang bisa aku dapatkan. Jika aku boleh beropini, Gadis ini di asuh oleh keluarga Tirta, karena itu mereka jadi saudara angkat."
Hal seperti itu tak akan mempengaruhi rencana buruk Devan untuk mempermalukan Luna. Sepertinya kali ini semesta memihaknya, pucuk di cinta ulam pun tiba, akhirnya kesempatan Devan untuk membalas Luna tiba.
Teringat akan sesuatu. Devan pamit pada kedua partner in crime nya, di dalam mobil, Devan melihat paket yang tadi ia terima, dengan terburu-buru Devan membuka paket tersebut, paket itu berisikan sebuah buku dengan secarik memo yang tertulis kalau buku milik Devan tertinggal di sana, ia ingat betul kalau tidak membawa buku pada saat kejadian itu.
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
Menarik!.
Jelas bukan Gladys pemilik buku ini, wanita itu pasti lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di Spa dibandingkan membaca buku yang isinya hanya di pahami oleh orang-orang tertentu.
Saat memperhatikan sampul buku lekat-lekat, Devan menyadari ada sebuah inisial yang tertulis.
L.Z
"Lu. . .na Zaheera?" Devan tersenyum licik.
Bingo!
Kamu tunggu saja, Luna Zaheera!.
~•To Be Continue•~
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Of Fate
RomanceSemua orang mengira apa yang ada pada hidup Devan adalah sebuah kesempurnaan, namun mereka salah, Devan tak lebih dari seorang pembuat onar di kampusnya, karena kekuasaan mamanya lah, tidak ada yang berani mengusik Devan, tapi satu hal yang mereka t...