Devan bangun dengan rasa pening di kepalanya, sesuatu ingin keluar dari dalam perutnya, ia berlari ngacir ke toilet. Memuntahkan isi perutnya. Nafasnya tersengal, sepotong demi sepotong kejadian semalam menyeruak, ia mencoba mengatur napasnya, Merasa reda, ia membasuh wajahnya di wastafel, kegiatannya itu terhenti tak kala melihat pantulan wajahnya di depan cermin. Devan menghirup udara sebanyak yang ia bisa lalu menghembuskan melalui mulutnya. Tak perduli apapun yang terjadi dunia akan tetap berjalan sekalipun tanpa adanya dirinya.
🍁🍁🍁
Luna hanya duduk terdiam di tepi kasur, melihat Tirta yang sibuk mengemas barang dan pakaiannya.
"Kenapa kak Tirta seperti ingin aku cepat pergi dari sini?" Tirta berhenti, ia melihat ke arah Luna dengan sayang.
"Kenapa?" Tanyanya, "kamu tidak mau pulang."
Luna tak menjawab, ia ingin pulang dan bertemu dengan bunda tapi disisi lain jauh di dalam hati kecilnya ia juga ingin berpamitan secara langsung pada Devan tapi Tirta tak setuju dengan rencananya itu.
"Lun, kakak lakuin semua ini demi kebaikan kamu, buang jauh-jauh perasaan kamu itu," Tirta ingin agar Luna menjadi wanita yang realistis, "sekalipun Devan juga suka sama kamu, apa kamu lupa dengan yang di lakuin bu Farah ke kamu waktu di cafetaria?, dunia mereka bukan buat orang-orang seperti kita, ada baiknya kalau kamu nggak lagi terlibat dengan Devan dalam urusan apapun."
Luna mengurungkan sepenggal kata yang tadinya ingin di ungkapkannya. Mungkin Tirta ada benarnya, sebaiknya luna Menyerah saja. Untuk beberapa saat Luna menatap nanar ponselnya, kalau tidak bisa berpamitan secara langsung setidaknya ia bisa menghubungi Devan. Dengan dalih ingin pergi membeli sarapan di luar Luna pamit meninggalkan Tirta agar bisa menghubungi Devan.
Satu kali mencoba. Devan mereject panggilannya, begitu juga seterusnya, ada apa ini?. Padahal Luna hanya ingin mengucapkan selamat tinggal saja.
Di Coffee Shop Jaka menautkan alisnya, heran. Bukanya kemarin subuh Devan meminta padanya untuk memberi perkerjaan pada Luna bahkan mengatakan menyukainya? Kenapa sahabatnya ini sekarang terlihat mengabaikan gadis itu.
"Apakah terjadi sesuatu?" Devan tak merespon pertanyaan Jaka membuat pemuda itu mengalihkan pandangannya pada Anthony, sialnya kali ini sepertinya Anthony tidak ada di pihaknya.
Anthony diam, ia merasa hanya Devan sendirilah yang berhak menceritakan kondisinya.
"Tidak," jawab Devan singkat, "hanya saja dia tidak menarik lagi bagiku."
"Kalau begitu tak apa kan jika aku akan mengencaninya?"
Omongan ngawur Jaka itu langsung di sambut tatapan maut oleh Devan, merasakan hawa dingin yang menusuk dari Devan membuat Jaka mengurungkan niatnya walau ia memang tak serius dengan ucapannya tadi, "wow, santai saja, aku hanya bercanda!"
Devan mengalihkan perhatiannya saat Anthony beranjak berdiri.
"Kamu mau kemana?"
"Ke Neraka."
Tak ada yang berniat mencegah kepergian Anthony, Devan pun hanya memandang punggung Anthony yang mulai menjauh dan memudar dari pandangannya. Ia menatap latte miliknya untuk sesaat sebelum memutuskan untuk menandaskannya tanpa sisa dan pergi meninggalkan Jaka. Sesuatu pasti telah terjadi!, sialnya, baik Devan maupun Anthony tak ada yang mau memberitahunya. Jaka paling benci saat rasa penasaran mulai menggerogotinya.
Sementara itu di terminal.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. sesekali Luna mengecek
Layar Smartphone nya barang kali Devan mau balik menelepon atau sekedar mengirim pesan padanya.Tirta menyadari gelagat aneh dari Luna, "apa kamu tadi menghubunginya?"
"Tidak."
Tirta tahu Luna berbohong. Ia membuang pandangannya melihat bus yang ia tunggu-tunggu telah tiba, "bus nya sudah datang."
"Luna!"
Anthony lari tergopoh-gopoh menghampiri kakak beradik itu, "bisa bicara sebentar?" Tanyanya langsung pada Luna tanpa memperdulikan keberadaan Tirta di sana, "ini sangat penting, aku mohon..."
"Kamu nanti bisa ketinggalan bus," Tirta tak secara langsung melarang Luna, ia mencekal lengan Luna, aksinya itu langsung di tepis oleh Antony yang segera menarik Luna menjauh dari Tirta.
"Ada apa??"
Luna tak pernah melihat Anthony yang panik seperti ini, apakah telah terjadi sesuatu?.
"Kamu harus bicara dengannya?"
"Siapa?"
"Devan," Anthony siap menerima segala resikonya, dia muak untuk berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa, apa lagi Devan adalah laki-laki dengan Gengsi sebesar gunung, mustahil dia mau mengakui alasannya menjauhi Luna, "aku berpikir kalau hanya kamu yang bisa membujuknya, besar kemungkinan dia akan mendengar kamu."
Tirta yang sejak tadi menguping langsung bereaksi ketika mendengar nama Devan di sebut, "Luna tidak akan menemuinya lagi!"
"Ini darurat!"
Suasana jadi tegang karena Anthony dan Tirta yang beradu argumen, "entah itu Devan atau kamu, aku tidak ingin mempercayai kalian, menjauh dari adikku!"
"Anthony," Luna tersenyum simpul, ia sudah membuat keputusan, "aku akan pulang, tadi aku sudah mencoba untuk menghubunginya dan dia tidak mau mengangkat teleponku jadi sepertinya, bukan aku orangnya."
Luna mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, "aku hampir saja lupa," ia meraih tangan Anthony, meletakkan kunci apartemen milik Anthony, "Terima kasih."
Anthony termangu untuk sesaat mendengar ucapan terima kasih dari Luna, ini pertama kalinya, seseorang mengucapkan terimakasih padanya dengan tulus, bukan sekedar formalitas semata.
Tirta dengan sigap merangkul bahu Luna, berharap tidak ada yang menggoyahkan tekat adiknya.
"Dia sekarat," ujar Anthony pelan, meski begitu Luna dan Tirta masih bisa mendengarnya, langkah yang tadinya terasa ringan entah mengapa sekarang menjadi terasa berat, "Dokter bilang paling lama dia hanya bisa bertahan selama satu tahun...Devan akan mati."
~•To Be Continue•~
KAMU SEDANG MEMBACA
Symphony Of Fate
RomanceSemua orang mengira apa yang ada pada hidup Devan adalah sebuah kesempurnaan, namun mereka salah, Devan tak lebih dari seorang pembuat onar di kampusnya, karena kekuasaan mamanya lah, tidak ada yang berani mengusik Devan, tapi satu hal yang mereka t...