Chapter 9 : Rubbles🍁

11 9 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang Tirta memarahi Luna yang bergaul dengan orang seperti Devan, apa lagi setelah Luna mengaku kalau semua itu hanya demi sebuah buku yang pernah di belikannya dulu, Tirta mengeluh mengenai Luna yang pintar dalam bidang akademis tapi bodoh dalam bersosialisasi. Bukanya tersinggung dengan Tirta, Luna malah tersenyum sembari menikmati angin malam yang menerpa rambutnya. Tirta mengendarai motornya dengan kecepatan yang pas.

"Kamu mengabaikan aku?!"

"Aku hanya teringat saat kita pertama kali bertemu," Kalimat Luna barusan membuat Tirta pasrah.

Saat itu Tirta masih kecil, orang tua Tirta berkerja sebagai buruh pabrik dan mendiang ayahnya menyambi sebagai ojek di sebuah terminal ketika libur kerja, saat itulah Tirta sering ikut ayahnya ke terminal dan di titipkan ke warung di area sana. Saat itu Tirta melihat ada anak perempuan yang menangis keluar dari bus, dia membawa boneka Barbie dan tas jinjing yang terlalu besar untuk bocah seusianya.

Tirta menghampiri dan menghibur gadis kecil itu yang tak lain adalah Luna, ayah Tirta yang baru selesai mengantar pelanggan pun datang dan menanyakan apa yang terjadi.

"Aku tidak akan meminta Barbie lagi, mama jangan pergi, aku tidak akan nakal lagi, mama," Luna kecil menangis sejadi-jadinya.

Arumi, Bunda Tirta. Mengalami syok berat saat pulang mendapati suaminya pulang membawa anak perempuan, ia bahkan sempat mencecar suaminya itu dan mengira kalau Luna adalah anak rahasianya. Setelah mendengar kisah yang sebenarnya ia malah jadi semakin marah, bagaimana bisa ada perempuan terutama seorang ibu yang begitu tega pada anaknya. Tapi jujur, Bunda lebih kesal dengan suaminya dan Tirta yang tidak membawa Luna ke kantor polisi malah dibawa pulang ke rumah.

Mendiang ayah Tirta berniat untuk membujuk Bunda agar mereka mengadopsi Luna dibandingkan mereka membiarkan Luna terlunta-lunta, karena jika bukan mereka pasti Luna hanya akan berakhir di panti asuhan, jika memang niatnya menitipkan anaknya, bukankah seharunya wanita itu mengantarkan langsung ke tujuannya, meninggalkan bocah sekecil itu sendirian di dalam bus apa namanya jika bukan membuangnya.

"Apa kamu membencinya?"

Luna tahu kalau yang di maksud Tirta adalah Mamanya, "entahlah, aku tidak tahu, tapi selama dia bahagia dengan pilihannya. Bukankah itu bagus?"

"Kamu tidak salah jika membencinya," benci tentu juga hal yang manusiawi dan Tirta juga bukan orang yang suci, "tapi ingatlah, selalu ada aku dan Bunda yang mendukungmu."

"Tahun depan aku pasti akan kuliah dan aku akan membuat bunda bangga padaku!" Teriak Luna penuh tekat.

"Aku sudah melakukannya," Tirta tak mau kalah

Smart phone Luna berdering. Ada telepon masuk dari rekan kerjanya, ia meminta luna untuk membantunya menutup cafetaria sebab teman yang masuk kerja bersamanya pulang duluan karena sakit, dan bos mereka juga sedang tidak ada di tempat. Tanpa curiga Luna meminta Tirta untuk mengantarkannya ke kampus.

Luna bahkan meminta Tirta tak perlu menunggunya dan Tirta hanya menurut saja. Yang menunggu di sana bukanlah rekan kerjanya, melainkan Gladys dan kedua temannya, Gladys masih menyimpan dendam pada Luna karena Luna juga ikut terlibat insiden di kantor polisi.

Mereka dengan mudah menangkap Luna yang akan lari, Luna di seret menuju ke salah satu ruangan UKM yang sudah lama tidak di gunakan.

"Ruangan ini pintunya rusak. Hanya bisa terbuka dari luar," Gladys menakut-nakuti Luna, "kamu sudah bersenang-senang dengan Devan hari ini bukan?, Enaknya berapa lama aku perlu mengurungmu di sini?"

Gaun semewah itu. Mustahil jika pegawai cafetaria mampu membelinya, kemungkinan butuh waktu setengah tahun untuk mengumpulkan uangnya, itupun jika uang gajinya utuh dan tidak makan sama sekali.

Luna mencoba untuk melawan, tapi itu sia-sia. Tiga lawan satu tentu jelas Luna kalah telak. Salah satu teman Gladys tak sengaja merusak Strap dress yang hampir membuat dada Luna terekspose. Mereka segera menutup pintu itu saat Luna lengah.

Di jam segini jarang ada mahasiswa yang masih ada di kampus, Luna berpikir dua kali jika ingin berteriak minta tolong, ia merogoh smart phone nya, berniat untuk menghubungi Tirta, ucapan hallo nya terhenti ketika yang didapatinya adalah suara operator perempuan yang mengatakan kalau nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif. Luna jadi kesal sendiri.

🍁🍁🍁

Kepulangan Devan di rumah langsung di sambut oleh Farah, mamanya. Tentu hal itu semakin membuat Devan merasa kesal.

"Sampai gunung meletus pun kamu tidak akan datang menemui ku, karena itu aku yang datang kemari, ada yang ingin aku bicarakan."

Devan diam. Antara tak perduli dan membiarkan orang di depannya itu melanjutkan omongannya.

"Besok siang, Profesor Gunawan dan putrinya akan datang ke kampus, selain ingin menjalin kerja sama dengannya aku juga ingin menjalin hubungan kekeluargaan."

Sebuah perjodohan!.

"Besok ikut aku menemui profesor Gunawan dan putrinya," Farah berhenti berbicara, mencoba untuk melihat bagaimana reaksi dari putranya.

"Apa ini?!," Ledek Devan, "sebaiknya anda tidak berharap banyak padaku, anda tahu betul kalau membuat anda kecewa adalah hal yang paling membuat aku bahagia."

"Devan, sudah saatnya kamu menghentikan permainan ini."

"Sejak awal ini bukan sebuah permainan, tapi ini adalah perang, dan selamanya akan tetap seperti itu," Devan memberi jeda pada ucapannya, menyebutkan nama dari orang yang telah melahirkannya itu dengan penuh kebencian, mempertegas jarak di antara keduanya, "Nyonya Farah."

Devan membuang jaketnya ke lantai, dengan kesal meninggalkan ibunya itu seorang diri.




~•To Be Continue•~

Symphony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang