Chapter 14 : Disappear🍁

9 4 0
                                    

Luna mengurung diri di kamar kostnya, pakaiannya sudah rapi tertata di dalam koper. Jika dia tidak berkerja maka tak ada alasan Luna tetap di kota ini, mungkin sebaiknya ia pulang saja. Ada satu hal yang membuat langkah luna terasa berat untuk pulang, bagaimana nanti ia akan menjelaskan mengenai pendaftaran kuliahnya yang di batalkan, Luna mengira kalau yang di katakan Farah itu hanya gertakan ternyata itu sungguhan, ada kiriman uang masuk ke rekeningnya juga sebuh E-mail yang menyatakan permohonan maaf dari pihak kampus.

Luna mengambil surat yang menjadi Luka lama, ia masih menyimpannya, Luna tertawa getir, bertanya-tanya apa yang diharapkannya, masihkan ia mengharapkan mama yang sudah meninggalkannya kembali?

Luna putriku...

Maafkan mama yang meninggalkanmu sendirian. Mungkin kamu tidak akan memahami isi surat ini sekarang tapi suatu saat nanti kamu akan mengerti kenapa mama melakukan ini.

Kamu adalah alasan mama dan papa menikah, meski kami tidak saling mencintai, kami tetap ingin menjadi orang tua terbaik untukmu. Tapi Tuhan berkata lain, papamu telah pergi lebih dulu meninggalkan kita, mama tidak bisa mengatakan mama merasa sedih atas kepergiannya, tapi mama juga tidak bahagia karena itu.

Mama ingin bahagia Luna. Pria itu adalah orang yang mama cintai, dia bahkan selalu setia mendukung mama selama ini, mama ingin hidup bahagia dengannya tapi tidak dengan kamu di antara kami, semoga kamu menemukan keluarga baru yang baik  dan mama harap kamu jadi anak yang baik untuk mereka.

Luna kembali membaca surat yang dulu di tinggalkan mamanya, anak yang baik, sepertinya Luna tidak bisa memenuhinya. Luna dilema, haruskah ia pulang atau tetap tinggal di sini. Ditengah kegalauannya seseorang mengetuk pintu kamar Luna, awalnya ia mengira kalau itu adalah Tirta namun setelah pintu terbuka ada dua orang laki-laki berpakaian serba hitam di sana, salah satu dari kedua orang itu membekap mulut Luna dengan sapu tangan yang sudah di beri obat bius. Begitu Luna Hilang kesadaran mereka segera membawanya pergi dengan sebuah van hitam.

🍁🍁🍁

Devan nongkrong di sebuah Bar bersama Anthony dan Jaka, suasana hatinya sedang tidak baik.

Anthony bersandar pada Meja bar, "apa kamu sungguh menyukainya?"

"Untuk apa menanyakannya, itu sangat tidak mungkin," jawab Jaka mendahului Devan, "apa kamu tidak bisa membaca situasinya, hari itu Bu Farah membawa Profesor Gunawan dan putrinya, dia ingin menjodohkan Devan dan teman kita ini hanya ingin mengacau seperti biasa."

"Benar begitu?"

Devan tak berniat menyangkalnya, walau memang dia merasa ada ketertarikan sendiri pada Luna, tapi Devan tak mau mengartikan perasaannya lebih jauh lagi, Wanita dan Luka selalu datang beriringan.

"Ini pertama kalinya aku melihat perempuan menangis," Devan menertawakan hal yang tak seharusnya. Anthony berkerut mendengar kalimat Devan, "kebanyakan dari mereka hanya menangis ketika aku mencampakkannya, tapi mereka akan tetap melemparkan diri padaku karena tahu kalau aku membawa privilege bagi mereka, tapi dia berbeda."

Kedua pemuda itu mencoba menjadi pendengar yang baik bagi Devan.

"Tapi Luna malah menangis gemetaran saat aku menyentuhnya."

"Tidak ada perempuan yang senang jika mengalami pelecehan," jawab Jaka dengan wajah datarnya.

Anthony menyesap beer nya, "jangan lupakan kalau dia pernah menjadikanmu bahan taruhannya, itu sangat epic."

Devan tertawa mendengarnya.

"Dia tidak pernah melakukannya!," ketiga pemuda itu menoleh ke asal suara, tak mengira kalau Tirta ada di sana, apakah sekarang malaikat tinggal di neraka, "Luna tidak pernah menjadikanmu taruhannya, dia hanya berbohong."

"Itu bukan lagi kabar baik setelah seluruh kampus tahu kalau seorang pegawai Cafetaria menjadikanku bahan taruhannya." Devan meletakkan minumannya, dia mengajak Anthony dan Jaka untuk pergi meninggalkan Bar.

"Karena itu kah kamu menculiknya?" Ujar Tirta pelan ketika berpapasan dengan Devan, pemuda itu menatap tajam Tirta, kini mereka berhadap-hadapan.

"Apa?!"

"Aku tidak akan mengulangi pertanyaanku, cepat katakan dimana kalian menyembunyikan Luna!?"

"Apa kamu menuduhku menyembunyikan adikmu," Devan terpancing emosinya, Jaka menahan Devan.

Anthony juga tak terima dengan tuduhan Tirta, "berandalan, pelanggar aturan, pembuat onar, kami sudah biasa menerima sebutan itu, tapi kami bukan kriminal."

"Kalau bukan kalian lalu siapa lagi?, tidakkah ini melewati batas?"

Smart phone Devan bergetar, ada sebuah notifikasi pesan masuk.

Datanglah, itu pun jika masih sempat untuk menyelamatkannya.

Pesan itu di kirim dengan sebuah Foto perempuan yang di ikat di kursi dengan mata tertutupi kain.

"Shit!"

Ketika orang itu bertanya-tanya apa yang membuat Devan sampai mengumpat, Devan memberikan smart phone pada Anthony, Jaka yang penasaran ikut membaca pesan tadi. Matanya membulat sempurna, "Cari tahu di mana lokasi tempat itu," itu adalah sebuah perintah.

"Berikan nomor telepon Luna pada Anthony, untuk berjaga-jaga, jika dia membawa smart phone nya kita bisa dengan mudah melacaknya."

"Apa yang terjadi?!" Tirta merasa dirinya adalah satu-satunya irang yang tidak memahami situasinya.

"Begini," Jaka mencoba menjelaskan situasinya, ia mendekati Tirta, berbicara pelan, "Dulu Devan pernah membuat masalah dengan Geng Black Bear, dia menjadikan Putri pemimpin Geng itu sebagai bahan taruhannya, karena paman Devan adalah pengacara hebat dan memiliki pengaruh, kami bisa lolos dari hukuman dan membuat beberapa anggota Polar Bear di penjara termasuk pemimpinnya, Karena itu-"

Tirta memotong penjelasan Jaka, "Mereka menangkap Luna untuk membalas dendam pada Devan?"

Mereka pasti mengira kalau Luna memiliki hubungan dekat dengan Devan.

"Jika sampai terjadi sesuatu pada adikku, aku pasti akan menghajar mu."

"Kalau begitu kamu harus mengantri dulu," ujar Devan menyepelekan, "karena banyak orang yang menunggu giliran untuk menghajar ku."




~•To Be Continue•~

Symphony Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang