Bagian 1: Hari Pertama Sekolah

12 2 0
                                    

Namaku Andrean Cakrabuwana, lahir di Jakarta Selatan pada 13 April 1995, terlahir dari pasangan Suyatno Admaja dan Cantika Mayangsari. Aku merupakan seorang anak tunggal, dengan ayahku yang berprofesi sebagai seorang perwira TNI AU. Pada tahun 2011, ayahku ditugaskan di Kabupaten Belitung dan keluarga kami diharuskan pindah ke sana. Saat itu bertepatan dengan aku yang baru saja lulus dari SMP Negeri 226 Jakarta dan dengan begitu, aku akan melanjutkan pendidikan di tempat dimana kami akan pindah. Setelah menggali informasi lewat internet, akhirnya pilihanku tuk melanjutkan pendidikan selanjutnya tertuju pada SMA Negeri 2 Tanjungpandan, yang terletak di kota yang sama dengan tempat tinggal kami nantinya.

Di sana, aku menemukan banyak keberagaman budaya dan masyarakat yang luar biasa, serta beberapa teman baru yang ramah. Diantara teman-teman baruku itu, aku bertemu dengan seorang perempuan yang menarik perhatianku secara mendalam. Dari sinilah perjalanan hidupku dimulai, tentang dia yang selalu mengajarkanku akan betapa berharganya mengulurkan bantuan untuk orang lain, sekalipun untuk ha-hal yang sederhana.

Pada hari pertama sekolah, aku menaiki sepeda gunungku dengan semangat berangkat menuju sekolah. Aku mengayuh sepeda dengan tenang dan senang, mengingat lokasi kediaman baruku tidak terlalu jauh dari sekolah.

Namun, di tengah-tengah perjalanan, aku melihat kerumunan pelajar dan masyarakat di sisi kiri jalan. Karena penasaran, aku pun turun sejenak dari sepedaku. Sesaat setelah aku dekati, betapa terkejutnya aku ketika melihat salah seorang pelajar dan seorang laki-laki dewasa tergeletak lemas di jalan tak berdaya dengan tubuh bersimbah darah, dengan sebuah sepeda yang pedalnya penyok dan sepeda motor yang kaca depannya hancur. Tanpa perlu bertanya kepada siapapun, semua orang termasuk aku sudah tahu kalau itu merupakan insiden kecelakaan. Kendati demikian, aku sesegera mungkin melanjutkan perjalanan ke sekolah sesudah menonton kejadian yang memilukan itu.

Namun ada satu momen yang cukup membuatku bingung saat insiden kecelakaan tadi, dimana saat terjadi kecelakaan di TKP, salah seorang siswi yang sepertinya satu SMA denganku terlihat sangat panik dan sangat sibuk memberikan pertolongan pertama kepada korban, sesekali dibantu oleh masyarakat sekitar yang berada disekitar lokasi. Melihat hal itu, aku hanya punya dua pemikiran; korban kecelakaan itu merupakan kerabatnya, atau dia hanya ingin cari muka di depan umum. Tapi, sudahlah... tidak ada gunanya memikirkan hal itu, tidak ada untungnya buatku.

Setelah sampai di sekolah, aku diarahkan oleh satpam untuk parkir sepeda di tempat yang tersedia. Aku kemudian pergi ke ruang kepala sekolah untuk mempersiapkan diri menghadapi suasana pembelajaran di sekolah yang baru, sebagai murid baru.

Pertanyaannya, kenapa tidak ikut bergabung dengan siswa baru lainnya dalam kegiatan MOP?

Jadi ceritanya, setibanya aku di Belitung, sebenarnya aku sudah terlambat mendaftar di SMA tersebut, sehingga aku masuk ke sekolah dua minggu setelah penerimaan peserta didik baru selesai dilakukan. Beruntung saat aku mendaftar, masih tersedia satu kuota tempat duduk kosong untuk peserta didik baru, jadinya aku tidak perlu menunggu setahun kedepan untuk mendaftar.

Setelah briefing di ruang Kepala Sekolah usai, aku diajak oleh salah seorang guru menuju ruang kelas tempatku belajar. Guru yang mengajakku tersebut kemudian akan menjadi wali kelasku.

Kelas yang akan menjadi tempatku belajar selama setahun kedepan adalah kelas X MIPA 2. Baru selangkah kakiku memasuki ruang kelas, membuntuti wali kelasku yang sudah terlebih dulu masuk, suasana kelas yang awalnya tenang mendadak histeris. Itu semakin memuncak sesaat setelah aku memperkenalkan diri di depan kelas. Sepertinya, para kaum hawa masih terlalu labil sehingga belum bisa mengendalikan emosi dengan baik.

"Perkenalkan, nama saya Andrean Cakrabuwana. Saya pindahan dari Jakarta Selatan. Terima kasih." ucapku singkat, padat, jelas.

Setelahnya, aku dipersilakan duduk oleh wali kelasku menuju kursi kosong yang telah tersedia. Aku pandangi sesaat susunan tempat duduk di kelas itu, ternyata aku duduk di baris ketiga, urutan kedua dari depan, dengan tidak ada seorangpun siswa yang duduk di sebelah kursiku. Tidak ingin ambil pusing dan overthinking akan hal itu, aku segera duduk dan bersiap mengikuti pembelajaran pertamaku.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang