Bagian 16: Biru dan Putih

6 2 0
                                    

Suasana di dojo saat itu sudah lumayan ramai, namun itu hanya sebagian, sebagian lainnya mungkin sedang dalam perjalanan atau izin latihan. Hari itu merupakan perdana aku menjadi asisten pelatih karate gojukai di Belitung.

Aku bisa mendapat izin menjadi asisten pelatih karena sebelumnya mendapat tawaran dari salah seorang rekan kerja ayahku yang juga seorang pelatih karate. Rekan kerja ayahku ini tahu cerita tentangku dari ayahku, yang mengatakan kalau di tempat sebelumnya, aku yang sudah mencapai sabuk hitam DAN 1 lebih dulu, dipercaya menjadi asisten pelatih untuk pelatihku yang sudah DAN 4.

Awalnya memang aku ragu ingin terjun kembali ke dunia bela diri, tapi aku pikir aku tidak boleh berhenti, dan ilmu yang sudah aku dapatkan harus aku wariskan. Lagipula aku terbentuk dari karate aliran gojukai, aliran yang sama dengan yang sekarang, dan sudah sabuk hitam DAN 1. Jadinya aku tinggal mengurus berkas dan izin melatih dari badan pengurus, sampai akhirnya aku bisa bergabung kembali menjadi keluarga karate gojukai.

Aku briefing bersama pelatih karate lain yang usianya jauh di atasku secara melingkar, memisahkan diri dari kerumunan. Sementara karateka - orang yang mengikuti karate - yang telah hadir, langsung berbaris dengan dipimpin seorang pelatih.

Tak lama setelahnya, kegiatan perkaratean di dalam dojo itu dimulai. Kesemua karateka yang ada memerhatikanku dengan tidak biasa ketika aku mendampingi pelatih utama membuka latihan.

Para karateka itu, tanpa diberikan aba-aba langsung membuat barisan baru sesuai dengan tingkatan sabuk yang mereka kenakan. Lalu, sesuai briefing di awal, setiap satu pelatih bertanggungjawab untuk satu grup sabuk karateka. Sementara aku, ditempatkan untuk melatih karateka sabuk putih yang jumlahnya lebih dominan dibanding sabuk-sabuk yang lain. Karateka yang berada di grup sabuk putih, rata-rata adalah karateka berusia SD hingga SMP yang masih sangat polos dan labil, sehingga sebisa mungkin aku harus sabar dalam menghadapi setiap tingkah mereka.

Meskipun aku baru mengenal mereka dan mereka juga baru mengenalku, tetapi mereka tidak segan untuk bertanya apabila ada gerakan yang belum dipahami. Sebagai guru, sudah menjadi kewajibanku untuk mengajarkannya. Latihan yang aku berikan kepada karateka sabuk awal itu kurang lebih selama hampir satu jam, sebelum akhirnya aku mengistirahatkan mereka dengan melakukan pemusatan pikiran, meditasi, duduk dengan mata tertutup.

"Duduk!" perintahku duduk, sambil memperagakan cara duduk - duduk persiapan meditasi -.

Para karateka sabuk putih mengikuti perintahku, serempak duduk di lantai dojo.

"Mokuso!" perintahku. Mokuso adalah aba-aba untuk menutup mata, memulai meditasi.

"Dengar intruksi dari saya! Tarik nafas perlahan dari hidung, hembuskan perlahan dari mulut! Lakukan secara berulang! Fokus dan buat pikiran setenang mungkin, jangan buka mata sampai saya perintahkan! Paham!" ucapku.

"Paham sensei!" ucap mereka serempak.

Sembari mereka masih melakukan meditasi, aku berjalan sebentar melihat-lihat ke grup sabuk karateka lain yang lebih tinggi. Beberapa grup terlihat sedang melakukan pemantapan gerakan kihon dan kata (kihon = gerakan dasar, kata = pola gerakan), dan grup sabuk yang lebih tinggi seperti sabuk biru dan sabuk coklat, melakukan kumite antar sesama karateka (kumite = latih tanding).

Aku cukup takjub melihat karateka yang sedang melakukan kumite, terutama untuk para karateka di grup sabuk biru. Mereka tampak bersemangat dan sportif satu sama lain, sehingga pelatih tidak perlu mengeluarkan energi yang berlebihan. Aku perhatikan pasang demi pasang karateka yang kelihatannya hampir seusia denganku.

Dan ternyata, dari sekian banyak karateka sabuk biru yang ada, aku tanpa sengaja melihat seorang karateka yang wajahnya sangat tidak asing bagiku. Aku merasa sebelumnya kami pernah bertemu, tapi aku lupa persisnya dimana. Sambil memerhatikannya, aku mencoba mengingat-ngingatnya.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang