Bagian 8: Bencana

7 2 0
                                    

Pagi itu hujan turun dengan derasnya, membuat para penggiat ilmu yang biasanya datang ke sekolah agak siang, menjadi pagi-pagi sekali. Termasuk aku, hujan deras dan angin kencang yang mengguyur Tanjungpandan sejak subuh dinihari, memaksaku untuk berangkat sekolah bareng ayahku yang juga hendak berangkat kerja dengan mengendarai mobil, lebih awal dari biasanya. Kalau saja hujannya tidak separah itu, mungkin aku bisa saja berangkat sekolah bersama Si Jargon berbalutkan jas hujan.

Sesaat sebelum aku turun dari mobil dan menyiapkan payungku agar tidak kehujanan seperjalanan ke kelas, aku tanpa sengaja melihat Putri yang turun dari sebuah mobil yang berada tepat di depan mobil dinas ayahku. Aku turun, aku berdiri dan untuk sejenak memerhatikan mobilnya dan ketika menyadari kalau mobil yang ditumpanginya adalah mobil dinas polisi, pkiranku langsung mengarah ke ayahnya, karena menurutku yang paling mungkin adalah ayahnya. Tidak tahu juga kalau misalkan kakaknya, saudaranya, atau anggota keluarganya yang lain.

Payung kukembangkan, mobil dinas ayahku dan mobil yang semula ditumpanginya beranjak dari depan sekolahku. Seturunnya dari mobil, Putri langsung berlari menepi ke pos satpam demi menghindari hujan. Melihatnya - kedinginan, sedikit basah kuyup terkena cipratan air hujan - risih, raut wajahnya seakan mengatakan mau ke kelas tapi tidak tahu bagaimana caranya karena hujan yang tak kunjung reda, akhirnya aku menawarkan diri. Sesaat aku menepi di sampingnya di pos satpam, berniat mengajaknya ke kelas sepayung denganku.

"Tangisan di pagi hari kupikir lebih baik ketimbang tangisan di pelataran sempit," sindirku meliriknya.

Putri menyadari sindiranku yang memang ditujukan untuknya. Tak tinggal diam, dia balik menyerangku.

"Tapi setidaknya tangisan di pelataran sempit jauh lebih baik ketimbang kura-kura dalam selokan sempit!" sindirnya melirikku.

Mak jlebb! Seketika aku terdiam, tidak bisa menyerangnya balik karena langsung ulti! Hujan perlahan mereda, dan saatku menawarkan jasa ojek payung padanya.

"Mau ke kelas kan?" tawarku padanya.

"Menurutmu?" tanyanya balik.

"Udah ayok!" ujarku mengajaknya.

Padahal aku sudah mengajaknya secara terang-terangan, tapi dia sama sekali tidak merespon ajakanku. Namun dari raut wajahnya aku bisa merasakan kalau sebenarnya dia mau ikut, cuma jual mahal saja.

"Gak usah kebanyakan mikir, udah ayok!" ajakku menarik paksa tangannya ke payungku.

Aku memegang erat tangannya secara tak sadar sampai ke lorong kelas, hingga disaat anak-anak terus memerhatikanku dan Putri, saat itu juga aku baru sadar kalau sedari tadi tanganku dan tangannya masih menyatu. Segera aku melepasnya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Umm, sorry! Gua gak ada maksud apa-apa!" terangku melepaskan tangannya, masih sambil berjalan beriringan.

Putri yang juga baru menyadari hal itu, merasa tidak enakan dan sedikit tertunduk malu.

Sesaat sebelum aku dan Putri sampai ke kelas, aku merasakan ada sesuatu yang aneh dari sikap teman-teman sekelasku kepadaku. Masing-masing dari mereka seperti sedang menonton video pendek dari ponselnya, dan saat aku lewat didepan mereka, beberapa di antaranya yang menyadari, membicarakanku secara terang-terangan sambil menatapku dengan sinis, tatapan yang sama dengan yang pernah aku alami di tahun 2009 lalu.

Penasaran bercampur khawatir, aku buru-buru lari ke kursiku, meletakkan tas sekolahku di atas meja, lalu membuka ponsel yang setelah aku cek, ternyata isinya membuatku sangat terkejut. Rekaman video pendek yang berisi perkelahianku dengan beberapa orang anak ketika masih SMP, tersebar dikalangan anak-anak kelas! Aku sama sekali tidak tahu kalau perbuatanku dulu, ada yang sengaja merekamnya.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang