Bagian 18: Malam Orientasi

3 2 0
                                    

Malam hari masih di hari yang sama, bertepatan dengan malam minggu, untuk pertama kalinya setelah selama berbulan-bulan pacaran, aku berkunjung ke rumahnya untuk menjalin silaturrahmi dengan keluarganya. Setelah shalat isya dan mengenakan pakaian kasual, aku bergerak menuju rumahnya, menyusuri jalan perkotaan yang dipadati pengendara roda dua yang mayoritas adalah pasangan muda-mudi yang sedang malam mingguan.

Setelah melalui penantian yang cukup panjang - kemacetan parah di jalan - akhirnya aku sampai juga di kediaman Putri. Terlihat pagar depan rumahnya terbuka, segera setelah aku menghentikan lalu memarkirkan sepeda motorku ditepi jalan depan rumahnya, aku langsung berjalan masuk menuju depan pintu rumahnya.

Pertama-tama yang aku lakukan adalah mengetuk-ngetuk pintunya sambil mengucap salam. Ketukan pertama, kedua, dan ketiga, tidak seorangpun di dalam rumahnya yang menanggapi. Namun ternyata aku baru sadar kalau rumahnya menggunakan sistem bel, ada sebuah tombol bel kecil dipojok kiri atas yang luput dari pandanganku. Tanpa pikir panjang, langsung saja aku tekan tombol bel itu sebanyak dua kali.

Benar saja, tak lama setelah itu gagang pintu depan rumahnya bergerak, seperti ada seseorang yang membukanya dari dalam. Pikirku orang itu adalah Putri, namun ternyata seorang laki-laki dengan rambut lebat setinggi 140 sentimeter, adiknya.

“Assalamualaikum!” ucapku sopan.

“Wa’alaikumussalam!” jawab Bintang, nama adik laki-lakinya.

Melihat wajahku, adiknya terkejut bukan main. Pikirnya aku adalah Dimas, pacar kakaknya dulu yang kembali lagi.

“Kak, kak Dimas?” ujar laki-laki berusia 10 tahun itu terkejut, badannya mendadak gemetar karena tidak yakin sama apa yang dilihatnya.

“Bukan dek, kakak..” ucapku hendak menjelaskan kesalahpahamannya.

Belum selesai ngomong, aku sudah ditinggal pergi sama Bintang. Bintang berlari ke dalam, lalu berteriak memanggil ayahnya karena panik.

Dari sudut pandang keluarga Putri.

Malam itu, Putri sekeluarga sedang makan malam. Mendengar suara bel pintu berbunyi, awalnya Pak Suprapto - ayahnya Putri - yang akan membukakan pintu, tapi Bintang - adik Putri yang nomor dua - menawarkan diri untuk dirinya saja yang membuka pintu. Sesaat setelah pintu dibuka, kejadian tak terduga menimpanya yang salah mengira kalau aku adalah Dimas. Sontak saja dirinya berlari ketakutan menuju ruang makan, menghampiri ayahnya untuk menemuiku.

“Pa! Kak Dimas Pa! Kak Dimas ada di depan!” ucap Bintang panik kepada ayahnya.

Mendengar hal itu, ayahnya yang tengah makan, seketika berhenti. Bukan cuma ayahnya, namun ibunya dan Putri juga melakukan hal yang sama. Pak Suprapto mengira kalau Bintang anaknya itu salah lihat, karena tidak mungkin Dimas yang sudah meninggal bisa hidup kembali

“Kamu ini ada-ada aja! Masa Dimas!” ucap Pak Suprapto tidak percaya.

“Betul Pa! Bintang gak boong! Papa cek aja sendiri! Orangnya masih ada di depan!” ujar Bintang meyakinkan.

Karena penasaran, ayahnya segera bangkit dari meja makan lalu memeriksanya sendiri keluar. Sementara Putri dan ibunya mengikuti ayahnya dari belakang. Putri berprasangka kalau orang yang dimaksud adiknya Bintang itu Dimas adalah aku, Andrean Cakrabuwana. 

Ayahnya berjalan dengan gagahnya - bak preman - menuju pintu depan, diikuti ibunya, dirinya, dan kedua adiknya. Aku yang berdiri tepat di depan luar pintu rumahnya, melihat ayah dan keluarganya keluar menemuiku, merasa senang.

Ketika ayahnya sudah berada di hadapanku, dia terkejut karena yang dikatakan anaknya itu benar - tentang Dimas -. Wajah santainya mendadak berubah menjadi sangat menyeramkan. 

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang