Bagian 13: Saksi

6 2 0
                                    

Di hari yang berbeda sepulang sekolah, Putri menemuiku yang sudah menunggunya lumayan lama di halte bus sekolah. Sesuai dengan permintaannya sewaktu jam istirahat kedua di pelataran lapangan basket, dirinya ingin mengajakku ke suatu tempat yang dirinya sendiri tidak menyebutkan dengan jelas nama tempat tujuan yang dia maksud kepadaku, sepulang sekolah.

Awalnya aku menduga Putri ingin mengajakku menemaninya ke toko buku, namun setelah menempuh perjalanan panjang hampir setengah jam, dugaanku ternyata salah. Putri mengajakku ke sebuah lokasi antah-berantah yang didominasi oleh bangunan tua yang sudah ditumbuhi benalu dan tanaman liar. Suasananya lumayan angker, beberapa tanaman liar menyerumpun membentuk hutan kecil dan rumput ilalang tumbuh disetiap sisi. Pagar beton yang sudah rapuh terlihat seperti pembatas antara beberapa bangunan tua dengan hutan, seakan berbicara kalau dahulu tempat ini merupakan sebuah kawasan perumahan pekerja.

Kami turun dan memarkirkan sepeda di depan, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri jalan bertanah yang alurnya kelihatan kurang begitu jelas karena tertutupi rumput liar dan dedaunan basah. Dirinya mengajakku memasuki salah satu bangunan tua di antara beberapa bangunan yang ada. 

Kami melangkah menuju pintu depan. Salah satu tanganku bersandar di tiang penyangga teras depan bangunan tua itu. Aku pikir tiang itu kuat, ternyata baru disentuh sedikit sudah ambruk. Sontak hal itu membuat dek depan dan atap bangunan tua itu roboh dan menjatuhkan beberapa kayu balok penyusun rangka atap yang rekatan pakunya sudah tidak lagi kuat, ke arah kami.

“Putri! Awas!!” teriakku ke Putri karena dek di atas kepalanya akan jatuh.

Buru-buru aku melindungi Putri yang berada di dekatku dengan badanku, sementara punggung belakangku aku jadikan tameng untuk menghadang balok-balok yang berjatuhan itu. Menahan hantaman balok seberat sekitar dua puluh pon yang jatuh bebas dari ketinggian dua meter ternyata lumayan membuat rasa punggungku seperti dihantam sepeda motor berkecepatan dua puluh kilometer per jam dari jarak dua puluh meter.

“Arrggh!” luapku sedikit kesakitan, melindungi tubuhnya dari kejatuhan kayu-kayu balok yang sudah lapuk dengan mengorbankan tubuhku.

Dirinya terdiam cukup lama di dekapanku, begitupun denganku, saling menatap satu sama lain dengan jarak hidung yang sudah sangat dekat. Hampir saja kami terlarut dalam nafsu seksual, dirinya langsung sadar dan diikuti denganku yang melepaskan dekapanku kepadanya secara perlahan.

“Maaf maaf! Aku gak ada maksud buat ngapa-ngapain kamu! Kamu gak apa-apa kan tapi?” ucapku.

“Gak, aku gak apa-apa!” ujarnya merasa malu.

Dan ketika aku bangun, punggungku terasa sangat ngilu sehabis kejatuhan beberapa balok kayu, hingga tanpa sadar aku meringis kesakitan. Hal itu sontak membuat Putri khawatir.

“Aww!!” sedikit teriakku.

“Kakak kenapa? Ada yang sakit? Dimana bagian yang sakit?” tanya khawatir.

“Gak ada, gak ada yang sakit! Cuman ini… kakiku kesemutan dikit, biasalah!” jawabku beralasan, yang padahal sebenarnya memang punggungku yang sakit.

“Serius aku kak!” ujarnya.

“Ya! Aku serius! Cuman kesemutan kaki doang! Bentar lagi kesemutannya juga ilang!” ujarku menyakinkannya sambil sebisa mungkin menahan rasa sakit agar dirinya tidak khawatir.

“Serius?” tanya memastikan.

“Serius Putri,” jawabku lemah lembut.

Aku memaksa diriku untuk bangun sendiri. Tak lama setelah itu, dirinya memasuki ruangan, diikuti olehku dibelakangnya yang menampakkan kesakitan tanpa bersuara, memegang sendiri punggung belakangku hanya untuk memastikan tidak ada luka atau cedera yang serius.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang