Bagian 19: Fokus

2 1 0
                                    

Masih dikediaman Putri, Pak Suprapto kembali melanjutkan obrolannya bersamaku, berdua saja disofa ruang tamunya. Bu Salamah balik lagi ke dalam setelah menyajikan makanan dan minuman, sementara Putri sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Aku jadi penasaran, sedang apa dia didalam sampai tidak keluar-keluar dari tadi.

“Di makan ya kuenya! Jangan malu-malu, anggap saja rumah orang!” tawarnya padaku.

Aku tanggapi dengan anggukan kecil sedikit tersenyum tanpa berkata-kata. Lalu, aku ambil sebuah pisang goreng yang masih hangat dari piring saji dan aku cicipi untuk menghargai beliau sebagai tuan rumah.

“Berarti kamu temenan sama Putri sejak pindah sekolah ke sini?” tanya Pak Suprapto memastikan.

“Betul Om!” jawabku singkat.

“Tapi gak biasa-biasanya loh ada temen cowoknya yang dateng ke rumah, apalagi dimalam minggu gini!” ujar Pak Suprapto, mulai menaruh curiga padaku, sambil menuang es jeruk ke cangkirnya.

“Kamu tidak sedang menjalin hubungan apa-apa kan sama anak saya?” tanyanya mendekatkan wajahnya ke arahku dengan tatapan serius.

Pertanyaannya itu sontak membuatku terkejut, hanya sebatas terkejut. Namun, semakin membuatku tertekan ketika mimik wajah Pak Suprapto padaku yang sangat serius dan sepertinya tidak akan senang kalau sampai melihatku menjalin hubungan dengan anaknya - Putri - yang lantas membuatku agak mangkel padanya.

“Saya cuma temen dekatnya Putri Om, kebetulan kami sekelas juga sebangku!” ujarku spontan.

Tanpa sadar, aku salah berucap kalau aku cuma temen dekatnya Putri. Awalnya aku ingin berterus terang tentang hubungan kami, tapi karena beliau - Pak Suprapto - secara tidak langsung berhasil menguasai keadaan dan emosionalku melalui bahasa tubuhnya, aku jadi terbawa suasana.

“Bagus kalo gitu!” ujar Pak Suprapto.

“Karena saya temenan sama Putri?” tanyaku memastikan ucapannya.

“Ya! Karena saya belum akan mengizinkan anak saya pacaran! Saya ingin Putri fokus dulu sama pendidikannya!” jelas Pak Suprapto.

Hal itu seketika membuat aku yang mendengarnya lumayan nyesek. Untung tadi aku tidak gegabah dengan langsung berterus terang mengatakan kalau aku pacarnya. Coba kalau aku bilang, bisa jadi jalan ceritanya akan berbeda.

Ditengah obrolan, tiba-tiba ponselnya berdering. Pak Suprapto memeriksa ponselnya dan ternyata telepon itu dari rekan sesama kerjanya.

“Tunggu ya! Saya angkat telepon dulu!” ujarnya padaku, memegang ponselnya yang berdering, berjalan ke arah pintu luar meninggalkanku sendirian di ruang tamu.

“Ya!” ucapku singkat, memperhatikan pergerakannya menuju pintu luar. 

Ketika Pak Suprapto sedang mengangkat telepon diluar, dari dalam ruangan Bu Salamah menghampiriku, berdiri persis disebelah tembok antara ruang tamu dan ruang tengah. Dari raut wajahnya, sepertinya Bu Salamah ingin memberitahu sesuatu padaku.

“Nak Andre, tunggu sebentar ya! Putrinya lagi nyetrika baju dulu!” ucapnya.

“Oh? Iya Tante!” jawabku.

Setelah itu, Bu Salamah kembali masuk ke ruangan, menyelesaikan beberapa pekerjaan dapur yang masih tersisa.

Ternyata Putri sedang menyetrika baju di dalam, pantas saja dari tadi dirinya tidak keluar-keluar menemuiku. Mengetahui hal itu, aku tidak ambil pusing dan masih setia menunggu hingga pekerjaannya selesai. Sembari menunggu, aku mengisi waktu dengan melanjutkan menulis catatan harian diponselku.

Sehabis berbicara dengan temannya lewat telepon, Pak Suprapto langsung berjalan ke dalam dengan terburu-buru. Belum sampai tiga puluh detik dari dalam, dirinya sudah mengenakan jaket kulit biru dan celana cargo hijau, berjalan kembali ke depan. Untuk sesaat, dirinya berpamitan padaku.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang