Bagian 4: Kejutan

10 2 0
                                    

Segera setelah jam istirahat tiba dan seperginya Doni menuju kantin, aku langsung mencari tempat duduk yang nyaman - bukannya aku tidak nyaman duduk bersebelahan dengan Putri, tapi pikirku lebih baik untuk memberi waktunya sendiri supaya dia bisa lebih leluasa - dan setelah menemukan posisi yang pas, aku langsung membuka kotak bekal makanan yang dimasak oleh ibuku lalu memakannya. Bukan cuma aku dan Putri saja, beberapa siswi lainnya juga membawa bekal makanan dan mereka lebih memilih makan secara bersama-sama membentuk kelompok kecil beranggotakan 3 sampai 4 orang.

Belum genap delapan suapan menyantap bekal makananku, mendadak suasana kelas menjadi kisruh, beberapa orang siswi yang mulanya sedang makan, buru-buru membereskan bekalnya dan pergi keluar kelas. Kecuali Putri, dia tetap stay diposisinya tidak beranjak sedikitpun. Suasananya memang agak aneh, tapi kupikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin ada sesuatu hal yang unik dilapangan, makanya anak-anak pada panik ingin cepat-cepat keluar kelas.

Baru saja aku akan memasukkan suapan yang kesepuluh ke mulut, tiba-tiba suara dentuman seperti bedil (mainan tradisional seperti petasan yang terbuat dari bambu) menghantam pintu kelasku - sengaja ditendang oleh beberapa orang siswi yang semuanya tidak aku kenal -, dan berjalan menghampiri Putri yang tengah makan. Ada tiga orang, ketiga-tiganya merupakan senior dari kelas XI MIPA 1. Aku tak tahu mereka siapa, tapi satu hal yang pasti, mereka datang ke kelasku hanya mau cari ribut sama Putri. Ada apa dengannya?

Suara dentuman itu membuatku terkejut dan makanan disendok yang seharusnya masuk ke mulut, malah meleber tumpah ke lantai. Aku tidak ingin terlalu cepat mengambil keputusan, padahal kalau aku ingin gegabah, aku bisa saja mengusir mereka secara paksa keluar kelas karena orang yang dia usik adalah orang yang memorable buatku. Tapi setelah dipikir-pikir, diam dan mengamati segala tindakannya - selagi tidak menggunakan kekerasan atau tindakan pembulian - dari kejauhan lebih baik, biarkan mereka menyelesaikan urusannya.

Terdengar jelas olehku dari luar kelas sebagian siswi mengatakan nama "Hesti, kak Hesti" secara histeris. Sementara sebagian lain menyebutnya dengan sebutan "Geng kakak kelas". Aku tidak habis pikir disekolah yang selama ini kuanggap damai, ada juga acara geng-gengan dan senioritas. Kak Hesti yang dibilang sama anak-anak, merupakan nama ketua geng mereka, Hesti Destari. Ciri khas yang membedakan mereka dengan anak-anak yang lain terletak dari gaya berpakaian yang stylish, riasan wajah yang nyentrik, dengan rambut hitam terurai mengenakan bandana berwarna merah muda.

Firasatku mulai tidak enak ketika ketua mereka menggebrak meja Putri dengan keras. Sampai mereka melakukan tindakan yang keterlaluan, aku yang sudah bersiap dibelakang tidak akan tinggal diam.

"Brakk!!" suara hentakan keras meja.

"Wah wah wah! Gengs, ada yang lagi ma'em (makan) nih!" ujar kak Hesti dengan songongnya, duduk di atas meja dengan satu kaki berpijak di atas meja Putri.

"Makan gak bagi-bagi, mana sini gua liat!" sambung kak Belinda, teman kak Hesti sambil merampas kotak bekal makan siang Putri.

"Kembaliin kak!" ujar Putri memohon agar kotak makannya yang dirampas bisa dikembalikan.

"Wihh... lauknya nugget ayam sama kroket dong! Gimana kalo kita habisin?" tanya kak Belinda.

"Sabi tuh Bel, mumpung gua belom makan juga, lumayan dapat makanan gratis tis!" ujar kak Wita, teman kak Hesti.

"Kenapa lo ngeliat kita kek gitu? Gak seneng? Hah?" ketus kak Hesti.

"Berkali-kali udah gua bilang, lo nyadar diri curut! lo itu udah ngerampas cowok-cowok kita tau gak? Dan dengan gua ambil bekal makan lo, lo mau marah? Iya? Harusnya gua, kita-kita yang marah sama lo?" sambungnya ngamuk.

"Lo itu gak pantes sekolah di sini tau gak! Nyampah doang!" ketus kak Wita.

"Aku udah bilang berkali-kali ke kakak, kalau aku gak pernah gangguin cowok-cowok kakak! Percaya sama aku kak!" terang Putri.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang