Bagian 11: Tembak

6 2 0
                                    

Aku membawanya ke suatu daerah perbukitan yang berada di Kecamatan Badau. Dari beberapa barisan bukit yang ada, aku mengajak Putri mendaki salah satu bukit yang dipuncaknya terdapat sebuah makam yang diyakini merupakan makam Raja Badau. Bukit yang aku maksud tersebut adalah Bukit Lilangan, atau masyarakat setempat menyebutnya Situs Gunung Lilangan (Bukit = Gunung, sebutan masyarakat Belitung). 

Sejujurnya aku baru mengenal bukit ini sekitar sebulan terakhir dari informasi yang kudengar dari masyarakat sekitar, dan aku pikir tempat ini bisa menjadi lokasi yang pas buatku memulai semuanya.

Setelah melalui pendakian yang cukup melelahkan, akhirnya kami sampai di puncak Situs Gunung Lilangan. Setibanya kami di puncak, kami sesaat melakukan ziarah ke makam Raja Badau, yang pada makamnya tertulis jelas nama sang raja, yakni Datuk Mayang Gersik.

Putri yang kebetulan orang lama di Belitung, meskipun dirinya kelahiran Bandung, selesai melakukan ziarah makam, sekilas menceritakan kisah kerajaan Badau kepadaku. Dirinya menceritakan kisah itu saat kami sudah menemukan tempat duduk yang pas, menghadap ke barat persis ke arah hamparan perbukitan dan hutan lindung Badau.

“Menurut sejarahnya, Datuk Mayang Gersik atau yang lebih dikenal dengan Raja Badau, mulanya adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang datang ke Belitung pada sekitar Abad ke-15 untuk mencari obat atas sakit yang dideritanya,” ceritanya kepadaku dengan nada bicara formal.

“Setelah obat yang dia cari berhasil ditemukan, dirinya menetap di kaki gunung Badau, lalu menikah dengan penduduk setempat. Setelah menikah dan mempunyai anak, Datuk Mayang kemudian melakukan ekspansi dengan menaklukan daerah-daerah disekitarnya. Daerah yang berhasil ditaklukannya, kemudian dikembangkannya menjadi sebuah wilayah kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Badau, dengan raja pertamanya adalah dirinya sendiri, Datuk Mayang Gersik atau Raja Badau I,” sambungnya.

“Aku gak nyangka loh kalo kamu tau banyak soal sejarah-sejarah gini! Thanks ya karena udah mau sharing ilmu ke aku!” ujarku.

“Tapi ngomongnya jangan kaku kaku amat kali, Cil (bocil)!” ledekku sambil mencabik kedua pipinya karena gemas.

“Ihh, apaan sih kak! Gak lucu tau!” ujarnya sedikit risih.

“Intermezzo doang! Hidup terlalu serius itu gak baik loh buat kesehatan, kamu tau kenapa?” tanyaku.

“Kenapa?” tanyanya penasaran.

“Sebab entar gak ada waktu buat mikirin perasaanku lagi!” jawabku.

“Kenapa begitu?” tanyanya semakin dibuat penasaran.

“Karena perasaanku sebagian dari kesehatanmu!” jawabku.

Mendengar pengakuan dariku, dirinya seketika tidak lagi mengeluarkan pertanyaan sepatah katapun. Dirinya sesekali melihat ke arahku yang sedang memandangi alam dengan takjub. Menyadari hal itu, aku balik melihat ke arahnya, membuat menjadi salah tingkah.

“Kenapa salting gitu? Kaget ya sama kegantenganku?” tanyaku.

Ekspresi salah tingkahnya mendadak sirna ketika aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta pengakuan berlebihan darinya terhadapku. Melihat tindakanku yang sedikit kepedean, dirinya hanya bisa geleng-geleng kepala tanpa mengeluarkan sepatah katapun kepadaku.

Mungkin sekarang sudah saatnya buatku mengutarakan perasaan yang sudah dipendam cukup lama ini kepadanya.

“Terkadang, pengalaman itu menjadi baik karena membentuk manusia menjadi pribadi yang lebih kuat. Tapi kalo gak dibarengi sama pola pikir yang baik, pengalaman yang ada hanya akan menjadi masa lalu yang gak ada artinya sama sekali!” ujarku.

“??” dirinya sedikit bingung mendengar ucapanku.

Putri hanya diam dan mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulutku sambil berpikir. 

“Gini, kalo kita terus-terusan jadi orang lain dan selalu mikirin orang lain, lalu kapan kita punya waktu buat mikirin diri kita sendiri? Hidup harus terus berjalan Put, gak bisa kita terus-terusan membohongi perasaan kita sendiri!” ucapku.

“Sederhananya, kalo kamu bisa ngembuat orang lain berubah menjadi lebih baik, kenapa kamu gak bisa nerapin itu ke diri kamu sendiri?” tanyaku.

“Dulu aku juga sama seperti kamu, punya masa lalu yang amat menyakitkan, cuma bedanya aku gak bisa ngelakuin hal-hal baik seperti yang udah kamu lakuin buat orang lain Put!” terangku.

“Kalo aja dulu gak orang yang narik tanganku keluar dari kegelapan, mungkin sekarang aku gak akan ada di sini, bersamamu,” jelasku.

Dirinya menoleh ke arahku, menunjukkan rasa empatinya.

“Dan sejak hari itu aku berjanji pada diriku untuk membalas perbuatan baiknya dengan melakukan hal yang sama kepadanya, juga kepada orang lain! Dan karenanya juga aku sadar, kalo hidup itu bukan tentang siapa yang paling banyak menerima, melainkan tentang seberapa banyak kita telah memberi untuk orang lain,” beberku.

“Orang yang aku maksud itu adalah kamu, Putri Shereen Aulia!” ucapku.

Seketika keheningan di tempat itu pecah menjadi haru. Putri tidak menyangka sama sekali kalau tindakannya sudah bisa merubah seseorang jadi sejauh itu. Dan untuk pertama kalinya sejak dua tahun terakhir, dirinya kembali merasakan apa yang disebut sebagai perhatian. 

Secara tiba-tiba, dirinya meneteskan air mata menandakan suasana sakit dan haru bercampur jadi satu; sakit karena selama ini dirinya menyadari telah memikul beban berat sendirian, dan haru karena akhirnya dirinya menemukan orang yang bisa peduli dan memahami penderitaannya.

“Kenapa kamu sepeduli itu sama aku?” tanyanya.

“Gak ada alasan buatku gak peduli sama kamu. Ketika orang lain memandangku dari penampilan, kamu memandangku dari hati Put!” jelasku menatapnya.

Untuk sesaat aku mengeluarkan sebuah cincin perak polos yang sudah aku siapkan sebelumnya, karena maksud tujuanku mengajaknya ke tempat ini - Situs Gunung Lilangan - adalah untuk menembaknya. 

Cincin perak tersebut sebenarnya merupakan pemberian dari almarhum kakekku dan sebelum meninggal beliau berpesan agar aku bisa menjaga cincin itu dengan baik. Kakek juga berpesan kalau aku boleh mempercayakan cincin itu kepada orang yang benar-benar aku cintai, karena belakangan diketahui kalau cincin itu bukan sepenuhnya miliknya, melainkan merupakan pemberian dari istrinya - almarhum nenekku - kepadanya - almarhum kakekku - ketika masih muda dulu.

Lalu, aku perlihatkan cincin perak yang masih kupegang kehadapannya, membuatnya sekali lagi dilema; harus senang atau bingung. Namun, otaknya dengan cepat merespon maksudku, yang tidak lain adalah ingin menembaknya.

“Jadi?” tanyaku sambil menunjukkan cincin perak kehadapannya.

“Kamu mau menjadi teman perjalananku?” tanyaku sekali lagi.

Putri diam membisu, sedikit senyuman merona di wajahnya. Lalu, untuk kesekian kalinya dirinya menatapku, namun tatapannya kali ini malu-malu. Sambil memainkan kuku jari tangannya sesekali menundukkan pandangan secara berulang selepas menatapku, dirinya mengungkapkan jawabannya.

“Jika mengenalmu adalah anugerah, maka izinkan aku menjadi sepasang bola mata yang selalu mengiringi perjalananmu. Dan jika mencintaimu adalah takdir, maka aku siap menjalani kepastian dikala batasan-batasan menantikan jawaban,” katanya.

“Jadi?” tanyaku memperjelas.

“Ya! Aku mau!” ucapnya malu-malu.

Putri menerimaku menjadi pacarnya, walau dengan pengakuan yang masih malu-malu, maklum saja karena masih baru. Segera setelah dirinya menerimaku, aku pasangkan cincin perak yang kuperlihatkan padanya sebelumnya ke jari manis tangan kanannya.

Begitu juga dengan yang aku alami, dengan pembawaan yang masih sangat canggung, aku pegang tangan kanannya perlahan sembari tersenyum tipis menghadap ke arahnya. Dirinya juga sama sekali tidak berusaha melepaskan tanganku dari tangannya, karena dirinya merasa sudah nyaman setiap kali berada di dekatku. Kami saling bertatapan dan tersenyum satu sama lain, dengan pemandangan alam Desa Badau dan Situs Gunung Lilangan menjadi saksi akan berseminya cinta kami.

Akhirnya tujuanku untuk membuatnya kembali tersenyum dan bahagia sudah terbayarkan. Namun tidak hanya berhenti sampai di sini saja, seterusnya akan aku pastikan dirinya bahagia dan tidak akan aku biarkan dirinya sampai terjatuh ke lubang yang sama.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang