Bagian 14: Tugas Baru

5 2 0
                                    

Memasuki semester dua kelas sepuluh, aku semakin memiliki banyak teman. Tidak hanya teman sekelas, melainkan ada beberapa teman dari kelas yang berbeda dan beberapa kakak kelas. Persepsiku terhadap pertemanan yang selama ini menjadi kekhawatiran terbesarku ternyata salah! Semakin lama aku beradaptasi dan mengenali sifat-sifat mereka, semakin aku tahu kalau pada dasarnya anak-anak ini baik! Hanya ada beberapa anak yang aku lihat mungkin karena salah pergaulan dan circle pertemanan yang toxic, yang awalnya baik berubah menjadi pembangkang, sudah itu merasa sok paling jagoan di antara yang lainnya.

Seperti kejadian di kantin sekolah siang hari itu. Ketika aku dan beberapa orang temanku sedang bersantai sambil menikmati makan siang bersama, tiba-tiba dari samping kantin terdengar suara teriakan dan baku hantam yang cukup keras. Sontak hal itu mengundang rasa penasaran anak-anak kantin, setelah seseorang siswa yang pertama kali melihat kejadian itu berteriak “Woy Woy! Ada yang berantem! Ada yang berantem!”. Termasuklah aku dan teman-temanku.

“Ada yang berantem lagi? Perasaan sejak awal semester gazal ada aja yang berantem! Heran dah gua!” ucap Cakra, temanku dari kelas X IPS 1

“Yuk! Liat yuk!” ajak Danendra, temanku dari kelas yang sama dengan Cakra. 

Sejak pergantian semester genap ke semester gazal, bibit-bibit preman disekolah seakan bermunculan. Terutama bagi anak kelas dua, mereka mulai menampakkan sisi arogan dan senioritas kepada adik kelas, atau kepada orang yang lemah. Mereka menindas, membuli, bahkan jika ada orang yang tidak sejalan dengan pikirannya, mereka tidak segan menghajarmya habis-habisan, meskipun itu teman sebaya atau kakak kelasnya.

Kadang aku suka merasa kasihan dengan guru BK, karena sejak semester gazal, setiap minggu harus menghadapi anak-anak seperti itu. Meskipun sudah berulang kali diperingatkan, namun hanya sedikit dari mereka yang benar-benar sadar. Sisanya? Masih tetap berulah bahkan tak jarang sekolah mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan anak yang bersangkutan jika tindakannya sudah melampaui batas yang tidak bisa ditolerir.

Mungkin sekali dua kali aku masih bisa menahan diri karena aku percaya mereka bisa mengatasi masalahnya sendiri dan aku tidak ingin mencampuri. Tetapi kalau sudah sering terjadi seperti ini, naluri kemanusiaanku seakan terketuk untuk melerai mereka. 

Seperti kejadian dibelakang kantin sekolah hari itu, yang merupakan tindakan buliying yang dilakukan anak kelas dua terhadap anak kelas satu. Otakku seakan mendidih saat baru menyaksikannya, karena aku paling benci orang-orang yang arogan, apalagi sampai main kekerasan untuk memuaskan nafsu pribadi.

Aku langsung menyerobot masuk di antara anak-anak yang hanya menontoni perkelahian itu.

“Ndre! Lo mau kemana?” ujar Doni menahan tubuhku.

“Gua mau ngasih pelajaran sama dia!” tukasku menunjuk ke arah kakak kelas.

“Jangan Ndre! Bahaya! Dia itu kak Leo, anak kelas sebelas MIPA si juara tinju bebas!” Devon memperingatkanku.

“Emangnya kenapa kalo dia juara tinju bebas? Gua gak takut!” ujarku, melepaskan tangan teman-temanku yang menahan tubuhku lalu dengan cepat menghampirinya setelah berhasil menyerobot di antara anak-anak.

Di sini sangat terlihat jelas perbandingan kekuatannya, karena perbedaan itu aku dengan cepat menghentikam aksinya - Kak Leo - kepada anak kelas satu yang sangat-sangat tidak manusiawi itu. Meskipun anak kelas satu itu sesekali berusaha, tetapi dirinya yang kelewat brutal - notabene juara tinju bebas - terus menghajarnya, bahkan ketika korban buli itu terlihat sudah menyerah. Anak-anak disekitar hanya bisa menyaksikan dan beberapa dari mereka sebenarnya ingin membantu, tetapi karena tahu Kak Leo itu siapa, jadi mereka tidak ingin ambil resikl besar.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang