Bagian 22: Langkah Pertama

1 0 0
                                    

Keesokan paginya, aku bersama dengan sepupuku - Cahaya - baru saja tiba di Pantai Tanjung Tinggi, karena semalam dirumahku kami sudah berjanji akan jalan-jalan bareng. Lagipula minggu itu aku free dan sedang tidak ada janji dengan Putri, karena semalam dirinya mengabariku kalau dirinya ada kesibukan lain. Kesibukan lain yang dimaksudnya itu adalah kesibukan di komunitas, untuk persiapan acara sosial minggu depan.

Jujur, itu merupakan kali pertamaku mengunjungi pantai pasir putih di Belitung selain Pantai Tanjung Pendam yang sudah sangat sering aku kunjungi. Pantai Tanjung Tinggi yang aku dan Cahaya kunjungi saat itu lumayan dipadati oleh pengunjung, sehingga dirinya mengajakku ke suatu tempat masih di area pantai yang lumayan tenang dan jauh dari keramaian.

Aku sangat takjub melihat keindahan pantai tersebut, karena sepanjang perjalananku di area pantai dengan berjalan kaki bersama Cahaya, sejauh mata memandang aku menemukan banyak sekali susunan batuan granit raksasa yang terhampar di pesisir pantainya, berbeda dengan kebanyakan pantai yang selama ini pernah aku kunjungi. Selain itu, dipantai tersebut juga banyak ditemui warung-warung makan yang secara jumlah aku tidak bisa menghitungnya karena saking banyaknya. Sesekali aku menjumpai nelayan lokal yang hendak memancing menggunakan sampan yang sengaja dilabuhkan di area pesisir pantai, diluar dari area wisatanya. 

“Gua gak nyangka kalo wisatawannya bakal serame ini!” ucap Cahaya sedikit terkejut.

“Ya, mau gimana! Namanya juga tempat wisata, pasti rame lah! Apalagi ini kan hari minggu!” ujarku.

“Emangnya kenapa kalo rame? Ohh… gua tau! Kebiasaan lo yang dulu, soal lo yang gak suka berada dikeramaian, masih belum ilang juga?” tanyaku memastikannya.

“Ya, begitu deh!” jawabnya, lalu sedikit tertawa polos merasa tidak enak hati sekaligus malu.

“Hem hemm!” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala, karena masih tidak menyangka dengannya.

“Jadi sekarang kita mau kemana?” tanyaku masih sambil berjalan dengan Cahaya.

Cahaya berhenti sesaat, aku pun mengikuti caranya dengan turut berhenti. Dirinya lalu memperhatikan ke sekitar seperti sedang mencari sesuatu. Ternyata dirinya sedang mencari tempat yang pas di sekitar area pantai buat dirinya dan aku bersantai, tenang dan minim dari keramaian.

Dan ketika Cahaya sudah menemukan tempat yang pas, dirinya langsung mengajakku ke tempat tersebut.

“Di sana kayaknya pas deh! Yuk!” ajaknya sembari menunjuk ke arah tempat yang menjadi pilihannya.

“Oke!” ucapku singkat, ikut alur.

Selama di sana, aku tidak terlalu banyak berbicara, dan hanya akan berbicara jika ada sesuatu hal yang membuatku penasaran dan belum aku ketahui.

Kami duduk di sebuah pendopo kayu yang berbatasan langsung dengan pesisir pantai, duduk menghadap ke pantai bertumpuan dengan kedua tangan sambil mengayunkan kaki di pendopo yang merupakan bangunan panggung. Saat kami kesana, airnya lumayan pasang dengan gelombang yang cukup kuat. Angin darat berhembus menerpa wajah kami dengan lembut.

“Dari tadi gua perhatiiin diem mulu nih Si Ganteng! Kenapa? Ada masalah?” tanya Cahaya padaku peduli setelah melihat sikapku yang diam.

Ucapan Pak Suprapto malam itu tentang larangan anaknya - Putri - berpacaran, masih belum bisa lepas dari ingatanku. Setiap kali aku mengingat-ingat tentang Putri, ingatan itu selalu saja turut. Bahkan sampai di Pantai Tanjung Tinggi pun, masih saja teringat. Dilema aku dibuatnya.

Dan apa yang Cahaya lihat dariku, merupakan cerminan dari apa yang aku rasakan di atas. Namun, aku tidak ingin sampai ada orang lain tahu tentang masalah ini selain aku, Putri, dan Pak Suprapto.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang