Bagian 2: Kecelakaan

9 2 0
                                    

Tanpa terasa, sudah tiga hari semenjak aku menginjakkan kaki di Belitung, semuanya tampak normal dengan aku yang menjalani rutinitas harian layaknya remaja seusiaku, sekolah, olahraga, dll. Kalau ditanya soal lingkungan, aku lebih prefer ke Belitung dibanding Jakarta karena di sini lebih sejuk dan minim polusi. Satu hal yang tidak bisa aku dapatkan di Jakarta tapi ada di sini, ketenangan dan keamanannya. Sejauh yang aku rasakan, di sini nuansanya tenang dan damai, hal yang sudah kunantikan sejak lama.

Masih banyak hal yang ingin aku eksplor di Belitung, khususnya di tempatku berdiam sekarang yakni di Tanjungpandan. Maka dari itu siang menjelang sore sepulang sekolah di hari selasa itu, aku akan melakukan perjalanan mengitari kota Tanjungpandan dengan bersepeda.

Tapi, gimana caranya? Kan aku masih baru dan belum terlalu hafal sama jalan-jalannya?

Aku tidak kehabisan ide, caranya dengan menempelkan gadget yang aku sambungkan dengan GPS, lalu aku tempelkan di sepedaku. Dengan begitu, aku tidak perlu khawatir akan tersesat.

Setelah semuanya siap, langkah terakhir yakni meminta izin dari ibuku.

"Ma, Andre izin keluar sebentar ya!" pintaku menghampiri ibuku di dapur.

"Mau kemana kamu panas-panas begini?" tanya ibuku sedikit khawatir.

"Nggak, Andre cuma mau keliling-keliling bentar pake sepeda kok, nggak lama Ma! Sebelum jam empat sore Andre pastikan udah balik!" ujarku meyakinkan.

"Udah sholat zuhur belum?" tanya ibuku.

"Sudah dong!" jawabku.

"Ya sudah, kalau gitu hati-hati, jangan kesorean pulangnya!" pinta ibuku.

"Siap Ma!" ujarku mengiyakan.

Kalau sama ibuku, aku berani minta izin buat pergi keluar, coba kalau sama ayahku, beuhhh... mana berani aku! Yang ada malah jadi bulan-bulanan di rumah! Paling gak bisa aku kalau ngeliat ayahku marah, asli seremnya sampai ke lambung!

***

Perlahan namun pasti, aku mengendarai sepeda sambil menyinkronkan mata melihat jalanan dan GPS. Sejauh mata memandang, aku sangat terpesona melihat susunan tata kota Tanjungpandan yang sangat simetris dan penuh warna, dengan pepohonan yang bersusun rapi di sisi jalan dan bangunan pemerintah yang megah, seakan mengatakan "welcome to Belitung" kepadaku. Sesekali aku berhenti (tidak sampai turun dari sepeda) untuk menjepret foto-foto dari hal-hal yang menurutku unik dan perlu untuk diabadikan.

Setengah jalan berlalu, dan aku sampai disuatu kawasan yang sekilas mirip seperti perumahan, namun setelah aku teliti dan telusuri ternyata bukan, melainkan sebuah kawasan di tepian kota Tanjungpandan dengan susunan rumah-rumah berukuran besar dan berhalaman luas, bagian dari Desa Air Rayak yang juga masih merupakan bagian dari kota Tanjungpandan.

Namun, dikawasan itulah insiden tak terduga menimpaku. Di saat aku masih dengan santainya mengendarai sepeda menyusuri jalan ditengah pedesaan modern tersebut, tiba-tiba dari arah berlawanan muncul dua orang pengendara sepeda motor modifikasi melaju dengan kecepatan tinggi dengan keseimbangan yang tidak stabil, menuju ke arahku.

Aku yang panik, mencoba mengelak dengan membanting setang sepedaku ke arah kanan atau kiri dengan harapan agar tidak tertabrak. Namun, karena jarak kedua pengendara dariku hanya enam puluh kaki, aku tidak bisa melakukan suatu selain berteriak panik dan...

Glarrr!

Mereka menabrakku dengan kerasnya, hingga membuat sepedaku hancur. Sejak kejadian itu, aku langsung pingsan dan tidak sadarkan diri.

***

Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit dengan tubuh yang penuh perban. Kepalaku terasa sangat sakit, namun tangan dan kakiku seakan mati rasa, aku tidak mampu menggerakkannya. Bahkan kepekaan indera pendengarku sangat lemah untuk bisa menangkap suara pembicaraan orang-orang disekitarku.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang