4. Poor Elephant

11 2 0
                                    

Sejak pengungkapan perasaan itu, aku adalah seorang gadis labil yang tak bisa menahan rasa sabarnya. Penasaran, apa jawabannya setelah insiden cokelat pita pink.

"Lily..."

Aku terburu-buru memasukkan semua buku pelajaran dan peralatan ke dalam tas ranselku yang usang.

"Kamu bilang, kamu tidak pernah makan hamburger, kan?"

Tak peduli dengan mulut Sarah yang mulai mengoceh, membicarakan perihal burger.

"Aku sudah bilang ke Papa, kalau habis ini kita-"

"Sarah, hari ini aku tak bisa main ke rumahmu."

Aku melihat raut wajah yang berubah seketika menjadi sedih.

"Kenapa? Memangnya kamu tidak mau-"

Aku memegang pundaknya, kemudian menatapnya penuh rasa yakin.

"Kau... Mau tau kan, apa jawabannya nanti?"

Matanya langsung berbinar. Mulutnya yang manyun, berubah menjadi senyuman lebar sumringah.

Kepalanya mengangguk cepat, "Kalau sudah ada jawabannya, nanti pulang langsung telfon, ya!?"

Aku mengangguk, dan bergegas pergi keluar dari kelas.

Seperti kejadian istirahat tadi, ibarat mendaki dan menuruni gunung, aku berlari menuju koridor kelas 1. Sampai tak sadar kalau, semakin banyak aku berlari semakin banyak pula benang-benang yang menghubungkan robekan sepatuku, putus satu sama lain. Sepatu rusak hanyalah hal biasa yang terlalu wajar untuk aku maklumi. Karena faktanya, aku sudah terbiasa sejak TK hingga saat itu, SMP. Jadi, bukan masalah besar kalau sepatuku mulai robek lagi.

Aku, sudah berada di fase I Don't Care What They Say.

Seperti...

"Hey anak kelas 1! Minggir!"

"Gajah kelas 2 sedang berlari! Beri dia jalan!"

"Hey, kau lihat sepatunya?"

"Wah! Kali ini dia mungut dari tempat sampah mana, ya?"

"Lihat sepatunya, bukannya terlihat seperti mulut Kuchisake-onna?"

"Kuchisake-onna? Apa itu?"

"Bodoh! Hantu yang mulutnya robek sampai telinga."

"Hey jangan sebut nama itu! Dia bisa datang, tau!"

"Bahkan sepatunya lebih menyeramkan daripada hantu Kuchisake-onna... Miskin yang menyedihkan."

"Lihat sepatunya. Bisa mangap begitu."

"Ku rasa dia tidak perlu lagi membawa bekal ke sekolah..."

"Kenapa?"

"Ya apa lagi... Sepatunya kan bisa dijadikan tempat makanan."

"Hahahahaha!"

"Dasar miskin tak berguna..."

Ya, di fase kehidupanku untuk kali ini, aku sudah berhasil mencapai puncak dari bersikap masa bodoh. Tak peduli, bagaimana mulut-mulut anak kelas 3 memperlakukan diriku layaknya kasta terendah dari sampah...

Yang harus disingkirkan sejauh mungkin. Sebenarnya bagiku, itu sangat menyedihkan.

Tetapi begitulah faktanya.

Mau tidak mau aku harus hidup bersama anak-anak labil yang menganggap kalau,

Miskin adalah sampah menjijikkan yang harus dibuang.

From Walkman To SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang