Pintu itu kembali terbuka. Membawa dua orang wanita di hadapanku dari jarak yang cukup jauh. Sebelum Bora pergi meninggalkan ruangan usai membungkuk sebagai tanda izin. Membiarkan seorang wanita berambut panjang bergelombang, memakai setelan Dior dari ujung kepala hingga kaki, lengkap dengan Tiffany & Co. yang juga menghiasi tubuhnya yang indah dengan krystal-krystal mengkilap.
Hal pertama yang aku dapatkan darinya adalah, senyuman lebar yang tak lekang dari kelicikan dirinya. Akan tetapi, bukankah kehidupanku yang sekarang jauh berbeda darinya? Untuk apa aku terlalu khawatir? Kalau sekarang, bisa saja aku yang membuatnya khawatir?
Berdiri pada jarak jauh, aku membalas sumringah itu dengan seringai licik juga.
"Viona Lim." Namanya ku panggil secara lembut, sesekali berjalan perlahan demi perlahan menghampiri 'Teman Lama' dibalik musuh dalam selimut, kala itu.
Tepat dihadapannya, aku berhenti. "Sudah lama, tidak bertemu."
Melekatkan mata yang tajam pada semburat wajah rupawan yang tak sirna dari dahulu kala.
"Tidak ku sangka, setelah bertahun-tahun penantian, akhirnya aku bertemu denganmu."
Dan tidak ku sangka pula, aku bisa membaca begitu jelas apa yang ia rasakan sekarang selain menahan rasa gugup yang begitu mendalam. Melepaskan tawa campur aduk sebatas menghilangkan rasa canggung, dia merayu usai tawanya sengaja terlepas.
Dia meraih pergelangan tanganku, "Kau menungguku?"
Aku melirik. Mengikuti semua alur pergerakan tangannya yang mengayunkan pergelangan tanganku sesuai dengan irama yang bersenandung di dalam benaknya. Aku tidak tahu apakah ini sebuah karya seni yang ia ciptakan, atau memang hasratnya yang aneh. Karena sebelumnya, aku tidak melihat hal ini padanya. Namun entah mengapa, aku menyukai karya seni ini.
"Menungguku..."
"Atau, cinta pertamamu yang menyedihkan?"
Dia melepas genggamannya, berbalik menatap diriku yang masih setia dengan tatapan kosongnya.
"Oh ayolah!" Dia mengeraskan suaranya, diikuti tawa yang terpingkal.
"Sampai kapan hubungan kita tegang seperti ini, hanya karena seorang pria yang hidupnya tidak pernah berguna?" Pungkasnya, menggigit kukunya lalu berputar satu kali mencari sebuah tempat di mana, ia akan melemparkan seluruh rasa penatnya di atas sofa.
Bisa dibilang tidak atau iya, jika ditanya apakah aku tersinggung atas tamu yang memintaku untuk bertemu dengannya. Tetapi, semakin lama aku mengikuti semua alurnya, dia semakin menarik di mataku. Adalah benar, sikapnya yang dulu tidak pernah berubah. Dan itu yang membuatku tertarik.
"Terus terang saja, aku bertemu denganmu..."
Sejenak ia menghentikan kalimatnya.
"Hanya karena menuruti tua renta yang masih berharap, anaknya bekerja di perusahaanmu."
Aku masih setia berdiri seperti patung pajangan di hadapannya. Menangkap wajah yang penuh frustrasi dan putus asa, entah mengapa, aku sedikit merasa puas. Karena sekian lama waktu berlalu, ini kali pertama aku melihat bagaimana ia menghadapi situasi yang selalu aku rasakan sejak dulu. Tanganku kembali menggerayangi saku. Menarik satu batang rokok dari tempatnya berhinggap, siap mengasapi kembali seluruh sudut ruangan ini. Itu aku lakukan, demi memudarkan lamunanku yang masih kurang mengerti apa yang sedang ia butuhkan.
Dengan halus kukatakan, "Aku bukan tipe orang yang suka bertele-tele. Dan kau tahu, kau adalah wanita yang juga tidak suka akan bertele-tele."
"Dan kau tidak akan mungkin lupa, kenangan yang sama-sama kita lewati."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Storie d'amore(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...