Musim Gugur, akhir kelas 3 SMA, 2005
Ada perasaan lega saat kehidupanku memasuki jenjang SMA.
Yang akan berakhir beberapa bulan lagi.
Di bawah sinar matahari, berlindung dari balik kelas dan berdiri seorang diri di hadapan jendela, menatap lambaian awan putih di atas sana.
Seperti embun yang meresap ke dalam bunga, perasaanku terhampar lembut, merangkul ketenangan di antara jalinan waktu. Tak menyangka, bahwa hidupku sebentar lagi tergantung dengan apa yang ku pilih.
Ku tarik kembali udara yang sejuk. Menatap waktu yang menunjukkan pukul 12.00 siang.
Sekarang saatnya, memutar Clair de lune dari Walkman tua yang sudah lama telah usang.
Bersedia merasakan apa yang ku pandangi.
"Daun." Gumamku.
Seperti daun yang akan jatuh dari pohon di musim gugur, aku bertanya pada jiwanya. Akankah aku jatuh? Atau memilih bertahan pada ranting yang memaksanya untuk jatuh? Karena hidup adalah ungkapan daun kepada musim gugur yang bisa memilih jatuh atau tidaknya, sampai pada batas sejauh mana ia akan bergantung dengan rantingnya.
Aku lupa mengatakannya.
Bahwa aku menghabiskan masa SMA dilingkungan yang akrab dengan ketenangan. Jauh dari riuh kendaraan. Jauh dari udara kotor yang bisa merusak pernapasan. Namun, tak sadar diri kalau beberapa bulan pula, aku akan kembali seperti sedia kala.
Semenjak kelulusan SMP, aku bertekad untuk tinggal di desa. Tinggal bersama Kakek yang sebatang kara menjalani sisa hidupnya. Tetapi sekarang, aku lah bergantian menjalani hidupnya sebatang kara, di desa ini.
Dia sudah tiada...
Sebulan yang lalu.
Jangan pikir, kalau perjuangan ku ke sini adalah hal yang sangat mudah. Berdebat dengan Ibu, meminta izin kepada Ayah, serta... Berdebat dengan Rinata, adalah sebuah kejadian yang aku masukkan ke dalam Memori Rumah Sunyi Yang Takkan Ku Lupakan. Momen di mana, pertama kalinya rumah berisikan keluarga bermulut senyap, bertengkar hebat dengan ku.
"Intinya aku tidak peduli! Winata mau tinggal dengan Kakek saja!"
"Aku janji, aku akan giat belajar dan masuk ke perguruan tinggi!"
"Untuk apa kamu tinggal di sana!? Ada apa memangnya!?" Ibu membentak diriku waktu itu. Sudah jelas ku lihat murka dari wajahnya.
Sementara Ayah... Masih diam memperhatikan ku, duduk tenang di sofa tua.
"Kak! Kakak sudah gila ya!? Kakek kan sudah tua, dia hidup sendirian, pasti tidak sanggup lagi mengurus kamu." Kata Rinata, menimpali.
"Ya itu alasannya! Aku mau menemani Kakek! Aku tidak mau Kakek hidup sendirian di sana."
"Apa Ibu dan Rinata tidak punya rasa kasihan pada Kakek!? Kalian tidak peduli dengannya!? Kakek selalu menghubungiku, dan selalu mengeluh kesepian!"
Karena Ayah yang memang tidak suka dengan keributan antar keluarga, pertengkaran ku dengan Ibu dan Rinata, diakhiri secara mendesak olehnya.
"Kamu Ayah izinkan!"
Aku tercengang sekaligus senang.
Sedangkan Ibu dan Rinata, terkejut tak berkutik menatap Ayah yang merubah posisi kakinya.
"Besok pagi kamu berangkat. Dan jangan merepotkan Kakekmu di sana. Mengerti?"
"YEEEEEEYYYYY! AKU TINGGAL BERSAMA KAKEK!!
YEE YEYYY!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...