22. Lily Of The Valley

4 1 0
                                    

(18+)

Suara jangkrik meraung-raung dari kejauhan. Aku menemui satu bunga yang sangat langka di sana. Ditemani sang pemilik yang berdiri menjaga, memegang satu botol anggur.

"Lily Of The Valley."

Tangan kanan memegang gelas berisi anggur, tangan kiri membelai tiap-tiap kelopak Lily Of The Valley dengan sentuhan halus. Bunga bakung yang paling aku suka dari setiap bunga bakung lainnya. Di dalam taman kecil di luar ruangan, dia memang sengaja membuat taman kecil di bagian belakang untuk singgasana khusus bagi setiap bunga bakung.

Benar, dia memang mencintai bunga bakung. Namun, ada satu hal yang ingin kutanyakan.

"Dari mana kau dapatkan ini semua?"

Terutama Lily Of The Valley. Ia hanya bisa didapatkan ketika menjalani perjalanan panjang ke sebuah lembah-lembah yang dingin. Mungkin, menempuh bumi bagian utara sudah terasa cukup sulit sebelum menjelajah lebih jauh ke habitat aslinya.

Ragu-ragu ia menatapku."Ah itu, aku menggunakan waktuku pergi ke hutan pedalaman di Inggris."

Sudah kuduga. Aku menyodorkan gelasku kepadanya, meminta tuangkan anggur satu gelas lagi tanpa berbicara. Tapi dia mendadak diam. Sebuah cara menolak yang halus.

"Kau harus istirahat." Katanya. "Maaf," lanjutnya.

~

Aku duduk di kursi yang menghadap jendela. Di depannya ada sebuah meja kayu yang berisikan rangkaian pernak-pernik aksesoris. Aksesoris seorang wanita. Kubuka jendela kayu agar asap rokok tidak melingkup setiap sudut kamarnya. Membiarkan angin yang bertiup menyentuh kulitku yang hanya dilapisi kaus tanpa lengan, juga shorts pants ketat yang hampir membuat angin sepenuhnya menyentuh kaki.

Lagipula, kamarnya cukup pengap dan gelap. Hanya disinari lampu pijar bercahaya remang beserta lampu meja.

Jika orang-orang melihat dari kejauhan, mungkin aku akan tampak terlihat seperti wanita bayaran yang akan memuaskan pria pemilik rumah kecil ini. Sayangnya, tidak akan ada seorangpun yang melihat selain semak-semak belukar dan pohon-pohon tinggi yang menyaksikan.

Jendelanya tidak menghadap kedai secara langsung. Melainkan, menampakkan kebun-kebun kecil yang memiliki semak belukar dan pohon.

Ketukan pintu membuatku menoleh ke arahnya. Menunggu apa maksudnya menganggu kebiasaanku sebelum tidur. Dia muncul dengan membawa sebuah kotak kecil di tangannya. Raut wajahnya terkesiap, aku tahu apa alasannya.

"M-Maaf... Aku tidak bermaksud-"

"Masuk lah. Kau mungkin adalah pria sejati yang tidak akan tertarik denganku."

Dia berusaha menjelaskan, tetapi akhirnya tetap kalah yang mengakhirinya dengan helaan.

Aku mengikuti kemana alurnya melangkah. Langkahnya berhenti tepat di hadapanku. Aku melenggak ke atas melihatnya, dalam artian bertanya apa maksudnya.

Dia melihat ke bawah, mengarahkan pandangannya terhadap luka robek di kedua lututku. "Lukamu, harus diobati."

"Tidak perlu." Aku langsung menolak, membuang puntung rokok ke luar jendela.

Walaupun aku menolak, dia bersikeras melakukannya. Dia berjongkok dan mulai mengeluarkan seluruh benda dari dalam kotak itu.

"Kau ternyata keras kepala-"

From Walkman To SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang