Sembilan bulan usai aku mengusirnya, aku benar-benar tidak melihatnya. Aku pikir dia telah menaati perintahku sebagai seorang pegawai yang tunduk pada atasannya. Akan tetapi, ini semua jauh dari yang kuduga. Dia benar-benar menghilang dari pandanganku. Seakan sengaja menghilangkan jejaknya. Rentang waktunya bahkan setelah keponakanku lahir dari Rinata.
Tidak, bahkan saat putranya berada di gendongan selayaknya anakku.
Di ruangan hanya ada aku dan Bora yang menemani Rinata. Aku sibuk membelai rambutnya, sementara Bora, sibuk memotong buah pir di samping Rinata yang sedang terkulai lemas di atas ranjang.
Aku mulai bersenandung halus sambil berjalan-jalan sesekali mengayun-ayunkan gerak tubuhku. Menyaksikan sedikit tangisan yang mengerang di tidurnya.
"Twinkle, twinkle, little star."
"How I wonder what you are..."
"Up above the world so high, like a diamond in the sky."
"Sebentar lagi umurmu memasuki kepala empat. Menikahlah. Dari dulu kan, kau sangat ingin memiliki seorang anak." Bahkan saat tubuhnya masih melemah pun, dia masih bisa mengomentari hidupku.
Namun aku tak peduli dan terus bersenandung.
"Twinkle, twinkle, little star."
"How I wonder what you are..."
"Aku punya kenalan seorang anak jenderal angkatan udara. Yah, bisa dibilang dia adalah senior Jo San, kalau kau mau, Jo San bisa mengatur jadwal kencan buta dengannya. Bagaimana?"
"Tidak."
"Kenapa? Hei, kau jangan meremehkan pria itu. Bahkan keluarganya sangat terpandang di negara ini. Pria itu seorang Marsma... Ah, kau pasti tidak akan mengerti. Gampangnya, pangkatnya adalah Brigadir Jenderal."
"Tidak."
"Wah, aku memang tidak mengerti dengan jalan pikiranmu. Tapi, kenapa?"
Pintu ruangan terbuka, mengalihkan perhatian kami kepada Ayah dan Ibu yang tergesa-gesa memasuki ruangan.
"Selamat datang, Pak, Bu!" Bora turut menyambut mereka.
"Ah, iya terima kasih."
"Ibuu!" Rinata merentangkan kedua tangannya. Matanya berbinar saat melihat Ibu di depanku.
Bahkan ketika sudah menjadi seorang Ibu pun, seorang Ibu masih bisa bermanja dengan Ibunya.
"Iya, Ibu di sini."
"Kamu tidak apa-apa? Jo San di mana? "
"Aku tidak apa-apa."
"Jo San masih bertugas, kira-kira besok dia akan sampai. Tapi aku tidak apa-apa."
Ibu beralih pada Bora agar menggantikannya memotong buah-buahan. "Biar aku saja, kau pasti sangat lelah."
"Iya, Bu. Terima kasih."
Sedangkan Ayah, aku bahkan tidak percaya ini terjadi. Dia terlihat sangat ingin melihat cucunya dari dekat, namun karena masih berada di dekapan ku, matanya hanya bisa ragu-ragu menatap. Aku merasakannya.
"Kau mau menggendong cucumu? Kalau mau bilang saja. Jangan hanya berdiam diri."
Rinata, Ibu, dan juga Bora melihatku seakan tidak percaya. Sedangkan bayinya sudah berada di tangan Ayah.
Rinata mengecam. "Hei kau, kasar sekali."
Aku tidak menggubris. "Tugasku dan Bora menemanimu sudah selesai, kan? Baiklah, aku pamit. Tolong sampaikan salamku kepada Jo San dan mertuamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...