2011, Australia.
Aku tidak mengingkari janji. Menghabiskan seluruh hidupku terombang-ambing di negeri Kanguru, adalah tujuan utama mengapa aku harus memilih keluar dari zona kemiskinan. Tidak ada yang bisa diharapkan waktu itu. Kehidupan ku hanyalah sebatas bekerja, menulis, bekerja, bekerja, bekerja, dan menulis.
Tidur? Bahkan aku sendiri sering merasa bersalah, kenapa aku harus tidur lebih dari satu jam.
Mengantar pizza, mengantar koran, mencuci piring-piring kotor dengan imbalan bentakan dan kekerasan, semua itu teman seperjuangan ku. Kadang kala aku berpikir, apa kehidupan di desa lebih baik daripada ini semua? Terlihat sama saja, dan terlihat semua ini akan berakhir dengan kehidupan yang perlahan membunuhku. Berulang kali aku mencoba untuk bertahan. Tiada teman, sendirian, tidak pernah sekalipun tersirat untuk bahagia...
Akankah, ini semua akan berakhir dengan diriku yang mati tanpa diketahui?
Atau, aku yang mengakhirinya.
Jika mengingatnya kembali, itu merupakan sejarah yang sepertinya harus disimpan sedalam mungkin di dalam memori. Apalagi, sebuah kenangan ketika aku selalu menghabiskan waktu di toko buku bekas. Berharap, hanya dengan membaca banyak buku usang karena aku masih terlalu miskin membeli buku-buku baru, bisa merubah nasibku di kemudian hari nanti.
Ruangnya kecil, bersemayam di bawah tanah, dikelilingi oleh pemukiman tinggi, dan bau air seni yang siap menusuk hidungmu. Aku juga tidak lupa, akan ada begitu banyak hewan-hewan liar yang menyambut ku, ketika datang.
Namun berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalamnya.
Ketika musim dingin tiba, kehangatan yang ku butuhkan adalah toko buku tanpa nama ini. Cokelat panas, perapian, duduk di atas karpet merah khas timur tengah, biasanya aku akan menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini sampai jam kerja datang. Lebih dari tempat tinggal ku yang ruangnya hanya diberi seukuran kamar mandi, aku menganggap ini adalah harta karun yang harus dijaga dari para perompak, sekalipun dia adalah orang Australia.
Tempatnya sangat nyaman. Hanya diterangi lampu pijar kuning, tiada alasan bagiku untuk malas membaca buku. Buku-buku usang nan bekas yang tertata sangat rapi pada raknya, melihat ada begitu banyak komik kesukaannya, tanpa sadar—ternyata aku masih merindukannya.
Di sini, kalian tidak akan merasa digerayangi oleh kesepian walau memang dalam kesendirian.
Selalu merebahkan tubuh di atas sofa tua yang terkadang ada banyak debu menempel, aku tidak pernah merasa kelelahan. Hanya saja, perasaan rindu yang membuatku menjadi kelelahan.Merindukan semuanya.
Sarah, Bora, Rinata...
Ayah, dan Ibu.
Lalu, merindukan cinta pertama yang ku benci.
Lima tahun sudah aku menghilangkan diri dari mereka. Tidak mengetahui apa mereka masih hidup, tidak mengetahui bagaimana kehidupan mereka sekarang, dan tidak mengetahui... Apakah Ibu menangis, kala anaknya menghilang(?)
Ibu,
Ketika rasa itu kembali menemani kesunyian ku, aku selalu melibatkan Walkman ayah sebagai pengusirannya. Tapi aku tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, hanya karena membawa kembali perasaan itu. Jadi aku mohon bu, tolong sesekali hadir di mimpi ku sebagai penenang.
"Tonight, what time are you finishing work, Lily?" Datang seorang Nenek tua dari balik rak buku, membawa bingkisan.
Jika kamu berpikir hidupku selalu kesepian, jangan khawatir, bu. Tidak sepenuhnya aku hidup sendirian. Aku disini bersama seseorang yang hidupnya juga kesepian. Seorang wanita tua berumur 70 tahun, telah ditinggal bersama kesendiriannya oleh suami yang telah tiada 8 tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...